Ken Arok dan Realitas Sosial yang Kekinian

  • By locus
  • Februari 27, 2018
  • 0
  • 232 Views

Judul Buku      : Republik Ken Arok

Pengarang      : Candra Malik

Penerbit          : Penerbit KPG

Tahun Terbit   : 2016

ISBN                : 978-602-6208-84-2

 

Nama Candra Malik tentu tak asing lagi bagi yang pernah mendengarkan album realigi bertajuk Kidung Sufi “Samudera Cinta”, Kidung Sufi “Doa-Doa”, Extended Play “Energy for Life”. Candra Malik, seorang sastrawan sufi yang produktif melahirkan enam buku berjudul Makrifat Cinta, Menyambut Kematian, Antologi #FatwaRindu Cinta 1001 Rindu, Ikhlaskanlah Allah, Novel Mustika Naga, dan Kumpulan Cerita Pendek Mawar Hitam.

Ketekunan berkarya mengantarkan Candra Malik meraih prestasi dan penghargaan yang kian melejitkan namanya. Pada tahun 2014 ia ditahbiskan sebagai Penata Musik Terbaik Film Televisi (FTV), ditahun yang sama pula ia menerima Piala Vidia dalam Festival Film Indonesia. Kumpulan esai “Republik Ken Arok” merupakan karya ketujuh Candra Malik, seorang sastrawan sufi yang kini mengabdikan diri sebagai Wakil Ketua Lesbumi PBNU (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia-Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Kumpulan tulisan dalam buku ini pernah termuat dalam pelbagai surat kabar dan portal berita.

Realitas sosial dibahas secara menyeluruh dalam buku ini. Kebekuan interaksi masyarakat akibat kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, kepercayaan kepada orang lain, dan kepercayaan dari orang lain dijabarkan dengan berbagai fenomena pagar-pagar rumah yang kian menjulang, dan keakraban salam yang tersubstitusi oleh lonceng mesin suara. Lahirnya tokoh-tokoh sosial pendobrak kebekuan itu sungguh melegakan, dan masyarakat butuh lebih banyak dan lebih banyak lagi tokoh seperti itu. Masyarakat memerlukan terobosan dan kepemimpinan untuk menjaga nyala api gotong royong agar tidak padam.

Esensi “Ken Arok” yang merupakan sentral dari kumpulan esai ini dapat disimak dalam bab permulaan buku. Riwayat Ken Arok bermula dari antah-berantah. Sejarah menulis tidak dengan jelas, anak siapa dia. Namun kemudian dia keluar saat politik menghendakinya. Tentu saja sebagai pemenang, sebagai pahlawan. Padahal, dia tidak diperhitungkan sebelumnya.

Zaman telah mengubah teori silsilah betapa tampak kekuasaan tidak lagi diturunkan layaknya dinasti melainkan pada siapa yang menang sebagai pahlawan. Hal ini mengingatkan saya akan kondisi politik Indonesia saat ini. Pemimpin baru datang dari sudut yang tak terkira, mengalahkan kandidat yang rekam jejaknya tampak dimana-mana.

Kesufian penulisnya terlihat dari pelbagai penggalan ayat-ayat suci Al-Quran yang disematkan dalam pembahasan. Membaca buku ini laksana menyimak ceramah pengajian namun disampaikan dengan bahasa yang lincah mendayu yang membuat saya tak bosan menghabiskan lembar demi lembar untuk melahap makna dalam berbagai fenomena yang penulis paparkan. Pembahasan jadi makin menarik ketika konten sudah merambah pada fenomena realitas sosial yang kekinian. Membaca tulisan Candra Malik membuat saya senyum-senyum sendiri, menyadari berbagai fenomena sosial dimana kita menjadi bagian didalamnya.

Candra Malik sanggup menyajikan sekumpulan fenomena kekinian yang oleh orang lain dianggap angin lalu dan tren sesaat. Pemikiran kritisnya terungkap dalam bahasa sehari-hari yang mudah dipahami dan tentunya mudah dicerna. Kejelian dalam menyikapi banyaknya persoalan masyarakat menjadi poin penting dari buku ini.

Realitas sosial masyarakat Indonesia dijabarkan begitu tajam dan merinci. Seperti tradisi masyarakat yang membicarakan sesuatu atas nama konon, negeri dalil yang asalkan ada dalilnya maka sesuatu dianggap sah, tradisi mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain menjadi pokok bahasan berhari-hari tiap tahun serta kegemaran orang Indonesia membuat meme sebagai humor penyegaran terhadap masalah-masalah yang terjadi.

Belum lagi soal bahasa persatuan yang tergerus bahasa percakapan. Kini, menonjolkan bahasa asing menjadi hal yang lebih penting dalam pergaulan ketimbang kecakapan menggunakan bahasa persatuan negeri sendiri. Orang tua lebih menyuruh anak mengasah kemampuan bahasa asing daripada memperbaiki bahasa sendiri. Anak pun tak cemas bila nilai pelajaran Bahasa Indonesia berada dititik mengkhawatirkan asalkan nilai bahasa asing dibatas mengesankan.

Ia adalah penyair yang berupaya keras menempuh penjelajahan bahasa melalui studi atas karya sastra maupun penciptaan karya-karya baru. Mereka adalah sastrawan yang berdiri tangguh dihempas bahasa sehari-hari yang memojokkan mereka dengan dakwaan sok nyastra karena berbahasa yang baik dan benar.

Perdebatan soal Islam Nusantara yang sedang populer beberapa waktu lalu juga ikut dibahas dalam buku ini. Lewat tulisannya, ia mencoba memberitahu pada pembaca bahwa definisi Islam Nusantara bukan tentang teologi, melainkan lebih tentang sosiologi. Tentang akar tradisi dan kebudayaan kita sebagai bangsa. Sama halnya dengan Islam dan Arab sebagai satu dan lain hal. Islam itu agama dan Arab itu bangsa beserta budaya-nya. Islam tidak selalu Arab dan Arab tidak melulu Islam.

Kelebihan buku tersurat dalam bahasa yang ringan dan kajian fenomena yang “dekat” dengan kehidupan sehari-hari. Kedekatan materi itulah yang membuat saya nyaman menikmati alur bahasan yang penulis rangkai. Membaca buku ini dapat meningkatkan pemahaman sosial dan sebagai refleksi diri dalam berinteraksi sosial.

Penyematan percakapan Gus Mus dan Kang Soleh dapat memberikan motivasi kepada pembaca bahwa realitas yang salah perlu diluruskan adanya. Citarasa humor juga turut hadir dalam percakapan yang sering muncul pada pembahasan. Dalam menjelaskan suatu opini, penulis selalu memaparkan pula mengenai fakta-fakta yang ada dalam masyarakat, membuat saya semakin terkesima dengan logika berpikir penulisnya.

Pengunaan idiom-idiom “pahala = mata uang surga”, “niat baik sudah dihitung sebagai pahala, sementara niat buruk tidak diperhitungkan karena masih sebatas niat” juga turut memperindah isi buku ini. Tak terasa saking banyaknya rentetan kelebihan hingga membuat saya lupa mencari celah kekurangan buku ini. Ada beberapa tulisan yang sama dalam sub tema satu ke sub tema lain, hal ini membuat saya merasa bosan dengan penggalan kalimat yang terjumpai berulang-ulang.

Buku-buku yang mengangkat tema realitas sosial masyarakat rupanya menjadi bahan untuk mencerahkan pemikiran-pemikiran yang kerap tak acuh dengan realitas yang sedang terjadi dimasyarakat. Membaca buku dengan genre semacam ini merupakan rekomendasi penyegaran bagi psikis. (RA.Sinaga)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.