Seperti halnya hendak berjalan dalam, dan di tengah-tengah lorong kegelapan, kita sama sekali membutuhkan keberadaan cahaya sebagai sebuah penerangan. Begitu pulalah keadaan dunia yang merupakan sebuah lorong kegelapan hidup. Untuk berjalan dan berada di dalamnya, kita memerlukan adanya sebuah cahaya penerangan.
Kehidupan dunia adalah simbol dari sebuah keadaan gelap itu sendiri. Sebagaimana Tuhan sendiri juga telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam (Al-Isra’: 1). Hal ini merupakan amtsal hidup yang harus dipahami seluruh makhluk. Lantaran seluruh makhluk, tak terkecuali manusia adalah hamba-hamba ciptaan-Nya, yang pada dasarnya mereka hidup (baca: dihidupkan) di dalam sebuah lorong kegelapan.
Toh, dalam keberlangsungan hidup yang ditempuh oleh manusia di dunia ini, memang sesak dengan yang namanya kegelapan. Bagaimana tidak, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok, bahkan satu jam di hitungan waktu selanjutnya, kita sama sekali tak bisa tahu kejadian apa yang bakal menimpa. Apalagi tentang masa depan. Seperti halnya seekor induk ayam yang tak akan pernah bisa tahu telur yang baru ia keluarkan akan menetas atau pecah, atau apakah akan menjadi anak ayam atau menjadi telur dadar, bukan?
Dengan demikian, keadaan gelap atau yang dimaksud dengan kegelapan tidak lain adalah nama lain dari kehidupan itu sendiri. Apa yang tak bisa kita ketahui merupakan keadaan gelap bagi kita. Betapa lebih banyak hal-hal dalam kehidupan ini yang sama sekali tidak kita ketahui ketimbang yang kita ketahui. Sedangkan, tidak tahu berarti sama dengan gelap. Oleh karenanya, kita membutuhkan sebuah penerangan dalam hidup. Penerangan tersebut adalah sebuah pengetahuan yang bisa membawa kita mengarungi dan melewati sebuah lorong kegelapan hidup. Agar kita tak semakin terjebak dalam kondisi gelap (baca: bodoh, dungu).
Secara hakikat kemakhlukan pun, seluruh makhluk ciptaan Tuhan sangat membutuhkan cahaya, dan mau tidak mau atau sadar tidak sadar, mereka akan senantiasa bergerak mencari dan berjalan menuju sumber cahaya. Itu sudah sebuah kodrat alamiah setiap makhluk hidup. Tak ada satu pun makhluk yang betah berada dalam kegelapan. Sedang Iblis atau setan pun diciptakan dari bahan yang bercahaya pula, yakni api.
Lantaran rumus sekaligus hakikat prinsip setiap makhluk amat membutuhkan cahaya, yakni pancaran pengetahuan, khususnya untuk manusia. Maka, commandment pertama kali yang diperintahkan Tuhan kepada hamba-Nya adalah iqra’, yakni perintah membaca. Membaca sendiri merupakan suatu alat utama yang harus digunakan seorang hamba untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Sekaligus dalam pandangan keilmuan akademis misalnya, membaca juga merupakan sarana intelektual yang digunakan untuk mengkaji sesuatu hal sehingga darinya buah pengetahuan berhasil didapatkan.
Ketika peradaban dunia sudah berkembang sedemikian rupa dibuatkanlah sebuah lembaga sebagai tempat menimba pengetahuan dengan berbagai macam dan bentuk intitusionalisasi pendidikan. Dengan demikian, tujuan dari adanya proses intitusionalisasi pendidikan disini untuk merawat, menumbuhkan, dan meningkatkan pengetahuan supaya semakin bertambah banyak (baca: lengkap) terkhusus bagi para manusia.
Pengetahuan atau Bisnis?
Institusionalisasi pendidikan itu demikian masif dilakukan sebagai sebuah wadah serta ruang bagi para manusia untuk mendapat sebuah pengetahuan. Bila diperhatikan lembaga-lembaga pendidikan hari ini, mungkin sudah tak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya, lantaran saking banyaknya. Dari mulai yang berbasis umum, swasta, ataupun yang bernuansa Islami. Baik yang formal maupun yang semi-formal. Dari jenjang paling dasar sampai tingkat lanjutan sudah ada stratanya masing-masing.
Memang benar, apabila dikatakan bahwa adanya lembaga pendidikan adalah tempat untuk orang-orang mendapat sebuah pengetahuan ilmu. Sampai-sampai, lembaga pendidikan tersebut bagi pikiran dan pandangan banyak orang menjadi satu-satunya tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa sadar, tatkala kebanyakan orang sudah menginstitusionalisasi pula pikirannya terhadap pemahaman atas lembaga pendidikan, justru kondisi tersebut akan mempersempit, bahkan menjadikan timbulnya bias makna dari apa yang dinamakan dengan pendidikan itu sendiri. Memang, pendidikan adalah sarana dalam rangka mendapatkan sebuah pengetahuan dan lembaga pendidikan adalah tempat yang digunakan untuk merealisasikan hal tersebut.
Namun demikian, pengetahuan tidaklah sama dengan Pendidikan, apalagi lembaga pendidikan. Pendidikan ataupun lembaga pendidikan sebenarnya hanya salah satu nomenklatur nilai dan tempat di mana ketika kita masuk ke dalamnya, kita akan mendapatkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, itu hanya salah satu ruang saja. Sedangkan masih banyak lagi ruang-ruang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di luar lembaga pendidikan.
Saya tidak mengatakan bahwa institusi pendidikan adalah sesuatu hal yang buruk, tidak demikian. Sepanjang ia benar-benar taat terhadap nilai dan tujuan dari pada maksud pendidikan itu sendiri, maka eksistensinya tetap harus ditampilkan. Hanya saja, akan menjadi problem ketika pada akhirnya nilai dan maksud tujuan institusi pendidikan tersebut dicederai. Hal demikianlah yang banyak terjadi saat ini, yaitu ketika pendidikan sudah menginstitusi dengan sedemikian rupa dalam benak kesadaran kita, tanpa pemahaman berarti. Lantas malah menjadikan keadaan semacam itu menjadi sebuah bias pemahaman terhadap makna esensinya.
Lembaga pendidikan hari ini seperti sudah tak berkomitmen lagi terhadap sebuah perilaku pendidikan. Orientasi nilainya nampak telah bergeser. Jika ditanya, apa latar belakang masalah dibangunkannya lembaga pendidikan saat ini? apa tujuan diberlangsungkannya pendidikan hari ini? Apakah benar pendidikan hari ini dimaksudkan sebagaimana Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah sebuah proses penguasaan diri, sehingga anak didik dididik untuk menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia? Semoga saja masih demikian adanya.
Akan tetapi, melihat fenomenanya, kurang pas kiranya kalau lembaga pendidikan malah bersaing dengan hal-hal yang harusnya tidak perlu dipersaingkan. Sebab, pada dasarnya memang tidak ada persaingan dalam prinsip pendidikan, apalagi dalam perjalanan seseorang mencari ilmu pengetahuan. Pun, prestasi juga bukan harga mati dalam sebuah pendidikan.
Kalau tujuan utamanya adalah untuk mendidik manusia agar menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia, Apa artinya prestasi, kalau ujung-ujungnya itu hanyalah dalih untuk menjadikan dirinya unggul dari orang lain? Mana ada orang itu unggul atas orang lain? Toh, pendidikan bukanlah sebuah ajang perlombaan untuk memenangkan dirinya atas orang lain, juga bukan sebuah pertunjukan sirkus yang lantas dengan semena-mena menjadikan anak didik sebagai sebatas aktor untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Harga mati sebuah pendidikan tidak terletak pada banyak tidaknya anak didik, bukan? Kecuali kalau pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis, sehingga untung tidaknya sebuah pendidikan yang diberlangsungkan bergantung mutlak di genggaman tangan kepandaian olah birokrasi.
Dewasa ini, kita justru terlihat amat disibukkan dengan pertanyaan “bagaimana cara mendapatkan anak-anak didik?”, ketimbang sibuk dengan pertanyaan “bagaimana cara meningkatkan kualitas pendidikan kita?” sehingga secara otomatis anak didik bisa kita dapatkan tanpa harus melakukan retorika mobilisasi akademik ketika kualitas pendidikan sangatlah baik. Akan tetapi, kalau sebuah pendidikan adalah sebuah persaingan dan sebatas kunci sebagai alat untuk membuka pintu keuntungan, pada akhirnya kualitas pendidikan sudah menjadi hal yang tidak penting. Lantaran anak didik telah menjadi barang-barang komoditas—baik yang masih dalam jenjang Sekolah Dasar, sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Kesuksesan atau Skill?
Pada akhirnya, hal yang sama sekali salah dipahami oleh banyak orang adalah bahwa pendidikan merupakan jalan tol untuk bisa cepat sampai pada garis finish keadaan sukses. Sehingga, dalam benak kesadaran kita tatkala awal mula masuk ke dalam sebuah lembaga pendidikan yang pertama kali muncul dan menjadi impian dalam angan-angan kita ialah kesukesan. Sama sekali hanya kesuksesan, kesuksesan dan kesuksesan.
Ironinya, pendidikan sendirilah yang menggiring mindset parsial semacam itu. Ditambah lagi, keberadaan para orang tua yang seringkali dengan penuh rasa ego tega hati membunuh kemampuan sang anak dengan cara meracuninya lewat omongan-omongan perihal kesuksesan yang melangit. Justru, tanpa disadari, itu akan menjadi beban mental ketika anak hanya dipahamkan pada hal-hal demikian saja. Bahwa orang itu harus sukses, harus bisa begini, harus punya ini itu sekaligus harus bisa beli ini itu, dan seterusnya.
Pun, ketika kita benar-benar berada dalam ruang (baca: kelas) Pendidikan, apa yang didapatkan tak lebih hanyalah hal-hal tak jauh berbeda, yaitu hal-hal pemahaman atas sebuah proses-proses untuk menjadi orang sukses. Walhasil, implikasi terburuknya nilai dari sebuah proses pendidikan dan termasuk realisasi pendidikan dalam kehidupan nyata menjadi tidak penting, sebab yang penting hanyalah menjadi orang sukses. Peranan pendidikan pada akhirnya juga tidak lagi menjadi sarana dalam rangka mengasah kemampuan seseorang kaitannya dengan ilmu pengetahuan, tetapi menjadi sarana untuk membuat orang sekadar bisa sukses dalam hidup. Padahal sukses itu masih berupa barang mentah, ia bukan makanan siap santap. Pun, kesuksesan itu hanyalah efek samping ataupun bonus belaka dari proses panjang sebuah perjuangan nilai. Maka dari itu, sukses bukanlah tujuan hidup, apalagi makna kesuksesan hari ini juga sudah demikian memadat menjadi barang keras yang tak lagi sehat.
Bisa dilihat, di abad ini setiap orang sangat mendambakan sebuah kesuksesan tanpa dasar pemahaman yang kuat, atas makna sukses yang sesungguhnya itu seperti apa dan bagaimana. Pada akhirnya, pendidikan yang harusnya dijadikan sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus untuk mengasah kemampuan dasar seorang anak didik, kini sudah tidak lagi demikian. Hal ini berawal dari orientasi pendidikan yang salah merealisasikan epistemologi maksud makna dan tujuannya, yang akhirnya juga mengakibatkan kesalahan orientasi berpikir anak-anak didik dalam merealisasikan dirinya di wilayah dunia pendidikan.
Akhirnya, orang-orang sekarang begitu fokus hanya pada hasil apa yang akan didapatkan sebagai nilai kesuksesannya nanti, bukan pada nilai pengetahuannya. Padahal, kalau kata Sri Krishna, “Seseorang yang mendapatkan pengetahuan dengan mengerti nilainya, pasti hebat dalam bidangnya. Tapi seseorang yang menginginkan pengetahuan untuk mendapatkan sesuatu, akan terus bersaing dalam hidupnya untuk membuktikan dia yang hebat, tetapi dia tidak akan pernah menjadi hebat.” fenomena sekarang ini membuktikan setiap orang amat sibuk bersaing untuk menunjukkan dirinya hebat, unggul dan berprestasi. Padahal kehebatan, keunggulan maupun prestasi sama sekali tidak dimilikinya, dalam arti tak layak dimiliki.
Dalam hal lain, kurikulum pendidikan yang disistemkan juga sama sekali tidak mengutamakan proses berpikir yang cerdas dalam pelaksanaannya. Kurikulum pendidikan justru banyak yang menghambat dan membelenggu daya kritis anak didik, dengan hanya mendidik untuk taat pada apa yang diajarkan oleh lembaga pendidikan—tanpa boleh protes. Ujung-ujungnya kita sebagai anak didik akhirnya hanya pandai dalam urusan menghafal, entah itu teori maupun rumus-rumus baku, tanpa pernah benar-benar memahaminya secara sungguh-sungguh. Kita banyak tertipu oleh ketamakan mendapatkan nilai bagus, sehingga menghafal menjadi metode yang seringkali di“dewa-dewa”kan. Padahal, menghafal merupakan tingkatan paling rendah dalam dunia intelektual. Dengan menghafal memang kita telah menyelamatkan 4 tahun kehidupan kita ke depannya (dalam institusi pendidikan), akan tetapi itu akan merusak 40 tahun kehidupan kita di masa depan. Percayalah!
Sampai saat ini tahapan dan tingkatan pendidikan kita masih berkutat pada hafalan-hafalan belaka. Kemampuan nalar kita masih terbilang amat rendah sekali. Sebab, sampai sejauh dan selama ini kita belum benar-benar diajarkan cara-cara berpikir kritis untuk meragukan sesuatu hal. Seringkali kita hanya diajari untuk taat penuh atas sesuatu hal, meskipun hal tersebut sebenarnya tak benar-benar perlu ditaati. Padahal, dalam proses intelektual mengharuskan adanya daya nalar kritis yang mumpuni agar nantinya seseorang bisa sampai pada sebuah kebenaran. Sebagaimana perjalanan intelektual Al-Ghazali, ia pernah mengatakan dalam karyanya, bahwa “Keraguanlah yang dapat menyampaikan pada kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, berarti dia tidak bernalar. Seseorang yang tidak bernalar, dia sama sekali tidak dapat melihat (memahami). Seseorang yang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.”
Di wilayah itulah kita banyak ditipu tanpa sadar dan dibunuh kemampuan nalar kritis kita secara halus dan perlahan-lahan. Dunia pendidikan hari ini nampak justru berlaku mempersempit ruang cakrawala ilmu pengetahuan dan sekaligus menghambat proses untuk mengasah mutu kemampuan sesuai potensi-alamiah diri masing-masing peserta didik. Sampai pada akhirnya, kita menjadi kelompok ‘manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu’. Lantas mau apa kita?
Penulis : Ahmad Miftahudin Thohari
Editor : Denies Vey
Redpel : Nurul F.