Judul Buku : Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-apa
Pengarang : Alvi Syahrin
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2019
Tebal Halaman: 229 halaman
Alvi Syahrin membuka buku ini dengan sepucuk surat yang ditulisnya untuk dirinya sendiri yang diberi nama Surat dari Masa Depan. Bagi saya itu menjadi nilai plus tersendiri, karena pengantar yang dipilih penulis seakan-akan memberikan gambaran tentang masa depan yang akan diterimanya setelah usaha dan perjuangannya. Bahkan itu menjadi semacam pemantik emosi sebelum memasuki halaman-halaman berikutnya yang pasti lebih wah.
Buku ini menceritakan tentang pengalaman penulis yang pernah mengalami kegagalan semasa hidupnya, namun dia melihat kegagalannya bukan sebagai masalah yang serius tetapi malah menjadikannya titik balik untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
Di dalam buku ini kita diajak menyelami cara pandang penulis untuk melihat sesuatu tidak hanya dari satu arah, tetapi dari berbagai arah. Bagaimana kegagalan yang dialaminya jangan sampai terjadi kepada kita, atau ketika kita telah mengalaminya jangan sampai membuat kita menyerah kepada keadaan.
Tidak seperti motivator-motivator lain, Alvi menulis buku ini bukan bermaksud untuk menggurui tetapi lebih kepada membagi dan berusaha memosisikan dirinya sebagai teman curhat, dengan harapan ia bisa membuat nyaman pembacanya dan sedikit meredakan kegelisahan pembacanya.
Bahasa yang digunakan Alvi pun sederhana, meskipun ada beberapa kalimat yang berbahasa Inggris tanpa ada terjemahannya, sedikit membuat saya kesulitan memahami tulisan tersebut, karena tidak semua pembacanya mahir berbahasa Inggris seperti saya. Tetapi di luar itu saya mampu dibuat terkagum-kagum dengan tulisannya.
Selain memberikan kekuatan yang luar biasa hebat, penulis juga mampu membuat saya untuk berpikir positif, dan menerima segala sesuatu yang sudah digariskan Tuhan. Ada satu bab yang membuat saya merasa “tulisan ini saya banget!”. Bab ini berjudul Susahnya Mencari Pekerjaan.
Saya pernah berada di posisi itu, setelah lulus SMK berjalan kesana-kemari mencari pekerjaan, melamar kesana-kemari tetapi satupun tidak ada yang mau menerima. Akhirnya menganggur selama hampir tiga bulan. Kemudian di dalam buku Alvi dituliskan kegelisahan seseorang dalam mencari, melamar, dan menunggu. Belum lagi rasa malu yang muncul kepada tetangga, apalagi orang tua yang sudah susah payah menyekolahkan, kemudian rasa iri kepada teman-teman yang sudah mendapat pekerjaan yang baik. Tekanan-tekanan itu pernah saya rasakan juga dan hampir-hampir membuat saya ingin mati.
Alvi memilih jalan lain daripada memikirkan tekanan itu, yaitu dia mengubah target hidupnya dengan melamar beasiswa S2 di luar negeri, dia mengambil kursus bahasa Inggris yang lebih intens, dia begitu mempersiapkan dengan matang untuk melamar beasiswa ini sampai-sampai uang tabungannya terkuras habis.
Tak berhenti di situ, dia mempelajari ilmu menulis konten, mencari uang lewat internet. Namun hasilnya adalah gagal total. Tiap kali dia merasa gagal, dia menghibur dirinya sendiri dengan satu kalimat yang magis, “Allah pasti beri balasan yang lebih baik. Allah pasti beri balasan yang lebih baik. Janji Allah benar. Janji Allah benar.”
Dan ini adalah bagian ajaibnya, dia begitu terobsesi dengan kampus sains dan teknologi. Lalu dia menelusuri situsnya sampai ke akar-akarnya, dan menemukan startup yang menarik hatinya yang berkaitan dengan kota suci, Mekkah. Ia mempelajari perusahaan rintisan itu lalu mengunduh aplikasi dari startup tersebut.
Dia menulis pendapat tentang aplikasi tersebut seakan-akan sebagai seorang analis, kemudian dia mengirimkan pendapatnya kepada salah satu CEO lewat e-mail. Beberapa hari kemudian ia mendapat tawaran sebagai seorang penulis konten. Pas sekali, selama satu tahun penuh dia pernah belajar tentang kepenulisan. Mungkin ini balasan yang lebih baik.
Kalimat magis lainnya yang saya temui adalah “semua penolakan yang kuterima tergantikan dengan penerimaan yang jauh lebih baik. Jauh, jauh lebih baik.”
Oleh: Denies Verawaty