Perkembangan bahasa dewasa ini sepertinya sudah tidak dikendalikan lagi, bahkan oleh pusat Lembaga Bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi membentuk dan mengubah dirinya dalam berbagai rupa dan rasa.
Sebuah iklan mengatakan: Free ongkir!!!.
Sekilas penggunaan kalimat tersebut benar atau memang dipaksa benar oleh kita. Namun jika dilihat lebih jauh, akan terasa janggal. Ongkir adalah singkatan dari Ongkos Kirim, tapi kenapa free? Free mewakili kedekatan antara perusahaan sebagai produsen dengan konsumen melalui produk yang ditawarkan.
Di perkantoran atau di sebuah organisasi sering terdapat kalimat atau kata yang menggabungkan dua unsur bahasa dalam penggunaannya: “Nanti sore kita akan mengadakan meeting”. Kalimat ini merupakan kalimat yang lumrah terdengar di telinga kita ketika hendak mengadakan suatu pertemuan. Kenapa kita tidak menggunakan kata ‘rapat’ atau ‘pertemuan’ saja?
Hal ini menjadi kebiasaan bahasa lisan kita untuk (memudahkan) komunikasi. Namun hal tersebut menghilangkan atau menghalangi upaya untuk menggunakan kaidah atau semantik bahasa yang baik dan benar. Dari hal ini maka perlulah adanya hari untuk memperingati bahasa dan juga perlu diadakan kongres bahasa untuk tetap menegakkan kaidah yang benar dalam berbahasa.
Konsumerisme bahasa kita mungkin juga sudah sangat tinggi seperti konsumsi kita atas produk-produk modern yang lain. Sehingga gagasan cinta terhadap bahasa sendiri menjadi kesia-siaan belaka.
Kita mencoba menggabungkannya dengan bahasa-bahasa global (Inggris) tersebut sebagai pernyataan identitas diri. Sikap percaya diri yang kita bangun dengan mencoba menampilkan tradisi lokal hancur karena bahasa yang kita gunakan adalah bahasa yang kita serap secara serampangan (ngawur).
Sehingga muncullah aliran-aliran dalam bahasa Indonesia sehari-hari seperti munculnya ‘bahasa gaul’ yang telah memiliki kitab dan konsumennya sendiri. Juga adanya bahasa ‘alay’ yang begitu digandrungi remaja Indonesia saat ini. Hal ini belum termasuk dalam bahasa yang muncul dalam WA atau status twitter dari para remaja.
Panggilan dengan gan, sista, atau bro hari ini dirasakan lebih akrab dan lebih enak terdengar daripada kita mendengar kata kakak, mas, bung atau yang lainnya. Dengan menggunakan kata Inggris tersebut sepertinya kita sudah menjadi bagian yang sah dari masyarakat global. Namun kita tidak menyadari bahwa kita sebenarnya terasing dari masyarakat tersebut.
Secara de jure pengakuan terhadap bahasa sepertinya tidak ada dari Lembaga Bahasa, meski secara de facto hal tersebut ada bersama bahasa yang lain. Bahkan kita mungkin juga gagap untuk menanyakan, apakah dalam tata bahasa Inggris ada penggabungan seperti itu atau yang menyerupainya?
Tanpa sadar, penggunaan bahasa tersebut telah mengaburkan identitas sebagai bangsa yang memiliki bahasa dan budayanya sendiri. Sehingga penggunaan pencampuran bahasa (Indonesia-Inggris) melahirkan bahasa lokal dengan rasa global (Indonesia rasa Inggris) atau sebaliknya.
Bahasa sebagai sebuah budaya dalam tradisi Jawa juga mengedepankan rasa dalam bertutur. Seorang anak pada orang tua, murid terhadap guru, dan sebagainya. Ada etika moral yang dibawa dalam bahasa yang digunakan itu. Ini menunjukkan bahwa rasa menjadi prioritas dalam kehidupan sehari-hari dalam perilaku orang jawa.
Namun demikian arus informasi dan globalisasi yang tak terbendung men-sahkan semuanya terjadi. Dualisme bahasa yang terjadi berjalan dengan wajar dan sah-sah saja. Orang juga sepertinya sudah tidak peduli lagi dengan rasa bahasa tersebut. Bahasa diperlukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pragmatis dalam komunikasi saja. Sehingga petuah Jawa Ajining Diri Gumantung Ing Lathi, hanya menjadi simbol bagi budaya masa lalu yang layak dikenang dalam museum pustaka saja.
Oleh : Rois