Sumber : https://www.artstation.com/artwork/WBGPR3
Demokrasi sering kali disalahpahami hanya sebatas “suara mayoritas”. Padahal, esensi sejati demokrasi terletak pada perlindungan terhadap hak minoritas dan keberadaan kritik. Ketika sebuah negara demokrasi mulai mempersempit ruang bagi oposisi, baik melalui koalisi gemuk yang merangkul semua partai maupun melalui kriminalisasi kritik, negara tersebut sedang berjalan menuju “Demokrasi Liberal” atau bahkan otoritarianisme.
Munculnya “Tyranny of the Majority” tanpa oposisi memberi pemerintah kekuatan tanpa batas untuk mengubah konstitusi demi kepentingan kelompoknya. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku mereka How Democracies Die menjelaskan bahwa demokrasi saat ini tidak mati melalui kudeta militer, melainkan melalui pelemahan institusi secara perlahan oleh pemimpin terpilih yang membungkam lawan politiknya.
Kita bisa melihat fenomena di Hongaria di bawah Viktor Orbán atau Turki di bawah Erdoğan, di mana pelemahan oposisi dan kontrol terhadap media menyebabkan penurunan kualitas demokrasi secara drastis dalam satu dekade terakhir.
Korupsi yang kian terstruktur dan sistematis. Dalam kondisi ini, oposisi berfungsi sebagai detektor dini terhadap praktik lancung. Tanpa pengawasan ketat di parlemen, anggaran negara cenderung dialokasikan tanpa transparansi.
Berdasarkan data dari Transparency International melalui Corruption Perceptions Index (CPI), negara-negara dengan indeks demokrasi yang rendah dan oposisi yang lemah cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi. Tanpa mekanisme check and balances, kebijakan publik sering kali berubah menjadi ajang bagi-bagi “kue” kekuasaan (kronisme).
Dalam psikologi politik, ada istilah Groupthink, yaitu sebuah kondisi di mana semua orang dalam kelompok setuju satu sama lain demi harmoni, sehingga mengabaikan risiko atau alternatif yang lebih baik.
Jika semua partai bergabung ke pemerintah, tidak akan ada debat publik yang sehat. Akibatnya, undang-undang yang dihasilkan sering kali cacat secara substansi karena tidak melalui uji publik yang kritis. Kebijakan yang diputuskan secara terburu-buru tanpa oposisi yang kuat sering kali berujung pada penolakan masif di masyarakat (demonstrasi jalanan), karena aspirasi mereka tidak terwakili di meja parlemen.
Penurunan kepercayaan publik (trust deficit) ketika ruang formal untuk berpendapat ditutup, rakyat akan merasa bahwa pemilu hanyalah prosedur tanpa makna. Di negara di mana oposisi ditekan, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi politik menurun secara signifikan. Hal ini berbahaya karena dapat memicu radikalisme atau gerakan ekstra-parlementer yang tidak stabil.
Negara demokrasi tanpa oposisi adalah kontradiksi. Oposisi bukanlah musuh negara, mereka adalah mitra kritis yang memastikan pemerintah tetap jujur. Membungkam oposisi mungkin memberikan “stabilitas” jangka pendek, namun sama saja dengan menanam bom waktu berupa ketidakadilan sistemik dan kemarahan publik yang terpendam.
Bahkan di negara tercinta kita ini, Indonesia. Sejarah akan berlangsungnya pembungkaman terhadap oposisi pernah terjadi, dimana bangku-bangku kekuasaan negara terorganisir atas satu suara. DPR dan lembaga negara cenderung menjadi alat legitimasi, terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta pelanggaran HAM berat sepanjang kekuasaan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf John Stuart Mill, kebenaran hanya bisa muncul melalui perbenturan ide. Tanpa oposisi, sebuah negara tidak sedang dipimpin oleh kebenaran, melainkan oleh kehendak mereka yang paling kuat.
Penulis: Bram
Editor: Fida
