Gambar diambil dari Youtube KOMPASTV
“Kalau di sekitar sini kan ngontrak atau kita kos kan Rp 3 juta per bulan. Didapatkan Rp 50 juta per bulan kita kalikan 26 hari kerja berarti Rp 78 juta per bulan, padahal yang didapat Rp 50 juta per bulan, nah jadi mereka masih nombok lagi,” ujar Adies Kadir saat diwawancarai CNN Indonesia.
Alih-alih menimbulkan empati, ucapan semacam ini justru membuat rakyat berfikir apakah pantas anggota DPR memiliki akal yang pendek dalam berhitung. Di saat para guru yang bekerja dengan upah minimum, mereka harus mendengar keluhan pejabat soal gaji puluhan juta yang masih dianggap kurang.
Negara ini memang pandai memberi kejutan. Di tengah rakyat yang pusing tujuh keliling memikirkan susahnya mencari lowongan pekerjaan, tarif listrik, dan harga pokok yang terus melonjak. DPR justru menghadirkan kabar “gembira” bagi dirinya sendiri: Tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan, yang berlaku dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025, dilansir dari situs berita BBC News Indonesia.
DPR : Antara Hak Dan Kewajiban moral
UU Nomor 17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa DPR merupakan tempat dan wadah aspirasi bagi masyarakat. Namun, kenyataannya masih banyak anggota yang tutup telinga dan tidak peduli dengan kondisi masyarakat. DPR lebih mirip seperti gedung yang menjulang tinggi dan kedap akan suara rakyat.
Menurut Riset Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), total upah yang diterima anggota DPR, termasuk fasilitas-fasilitas lain seperti perjalanan dinas, representasi, pemeliharaan rumah dinas sebelum dihapus, dan sebagainya. Bisa menembus Rp 230 juta per bulan. Angka ini berbanding terbalik dengan gaji buruh dan guru yang rata-rata hanya 2-3 juta per bulan.
Perbedaan mencolok antara gaji rakyat dengan wakil rakyat menimbulkan protes dan amarah masyarakat Indonesia, terlebih karena tidak adanya transparansi soal gaji anggota DPR. Dikutip dari CNBC Indonesia, “tidak ada kenaikan, hanya sekarang DPR sudah tidak mendapatkan rumah jabatan, namun diganti dengan kompensasi uang rumah,” ucap ketua DPR Puan Maharani yang mencoba menenangkan opini publik. Menurut Ahmad Sahroni yang saat ini sedang dinonaktifkan dari jabatannya sebagai wakil ketua komisi III, menyebut bahwa skema tunjangan lebih efisien daripada merawat rumah jabatan (rumah dinas).
Rakyat Turun, Presiden Bicara Dan Krisis Representasi Anggota DPR
Banyaknya protes dari masyarakat yang mulai meluas sejak Agustus 2025 mengharuskan Presiden Prabowo Subianto angkat bicara. Ia akhirnya memutuskan untuk mencabut tunjangan serta memberhentikan sementara waktu (moratorium) kunjungan kerja ke luar negeri. Presiden juga menegaskan bahwa anggota DPR membuka ruang dialog dengan masyarakat dan mendengar langsung aspirasi yang selama ini dikesampingkan.
Namun, masalahnya lebih dalam daripada sekadar tunjangan. Ini adalah krisis representasi. DPR tampak semakin sibuk mengurus kesejahteraan internal ketimbang mengawal penderitaan rakyat. Fenomena kenaikan tunjangan hanyalah puncak gunung es dari krisis representasi di Indonesia. DPR makin sering dianggap hanya mewakili dirinya sendiri. Keputusan mereka lebih banyak menguntungkan kalangan internal ketimbang mengutamakan kebutuhan rakyat.
Suara Publik Dan Aksi Demo
Peristiwa kenaikan tunjangan dan krisis representasi ini tak butuh waktu lama untuk memantik amarah, terutama Mahasiswa yang selalu menjadi garda terdepan bagi rakyat. Aksi demo mulai dilakukan oleh mahasiswa pada tanggal 25 agustus 2025 dengan berbagai tuntutan yang dibawa.
Demo ini mungkin dianggap gaduh oleh mereka yang duduk nyaman. Namun, justru dari kegaduhan itulah suara rakyat paling jujur terdengar. Karena ternyata telinga DPR hanya peka saat takut kehilangan jabatan.
Penulis : Arin tri
Editor : Chandra