Mereka kembali melanjutkan diskusi, yang kemarin sempat mancet. Permasalahan yang bisa dibahas tetap sama, yaitu wabah virus corona. Sangat disayangkan memang kalau coronavirus ini tidak diarifi dan dibijaksanai sedemikian rupa adanya. Tentu, memang “mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Akan tetapi, mengobati hal-hal yang memang harus diobati juga sangat penting sekali. Apalagi yang diobati adalah, sikap ketamakkan dan kerakusan kita. Penyakit sombong, angkuh, keminter, GR dan penyakit-penyakit batin lainnya yang sudah mewabah sebelum munculnya covid-19 sangat perlu untuk juga kita obati. Bahkan kadarnya bisa sangat berbeda dengan yang biasanya. Sesuatu yang memang telah bergeser koordinat titiknya dari titik awalnya, haruslah di kembalikan lagi ke posisi semulanya agar tetap seimbang.
“Bukan begitu, Dil?” Jarkembloh membuka diskusi.
“Benar sekali. Di samping berupaya mencegah beredarnya virus corona supaya tidak semakin meluas. Mengobati kesakitan-kesakitan jiwa kita dan penyakit kemanusiaan kita dalam ruang lingkup sikap hidup dan perilaku kita sehari-hari juga harus digalakan pelaksanannya.” Jawab Jarkodil.
“Atau memang melimpahnya wabah ini, mungkin, disebabkan karena kesakitan jiwa serta penyakit kemanusian kita yang selama ini, yang tidak pernah ada kemauan dari kita untuk mengobatinya, lantas Tuhan mengirim dan megutus makhluk coronavirus sebagai bentuk balasan terhadap sikap kita itu?” bertanya si Jarkasin.
“Saya tidak bisa memberi putusan yang valid untuk dijadikan sebuah jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan itu. Tetapi tidak ada salahnya untuk hal kebaikan, misalnya, men-sugesti diri dan berpikiran seperti itu. Tetap ada baiknya. Sebab kita akan terdorong untuk membenahi sikap dan pilihan hidup kita yang ternyata selama ini tidak pas dan cenderung keluar dari jalur “syari’ah” dan cinta kasih-Nya.”
Jarkodil melanjutkan, “Akan tetapi, itu juga jangan kemudian dijadikan pedoman baku, sebab itu hanya tafsir. Tafsir itu kebenarannya tidak bisa diklaim sebagai kebenaran mutlak. Tafsir bisa saja salah dan bisa saja benar. Apapun bentuk tafsirnya harus dibarengi dengan ilmu tadabbur pula. Yakni, lebih memfokuskan pada “output” daripada tafsir tersebut, haruslah mampu membawa kemanfaatan dalam kehidupan kita. Minimal membuat hidup kita lebih baik dan lebih mendekatkan diri kita kepada-Nya.”
Tidak sampai di situ saja perkataan dan pidato Jarkodil bersama dengan KPMb-nya.
“Memang musibah, wabah dan penyaki itu bisa menjadi sebuah kritikan atas pola perilaku kehidupan kita yang selama ini kita jalani. Ada yang menarik dan sangat urgen yang harus saya sampaikan kepada kalian semua. Kemarin saya membaca tulisan dari seorang tokoh intelektual dan ahli tafsir ternama, beliau adalah salah satu marja’ di komunitas forum diskusi keilmuan, selain itu beliau juga sangat mendalami bidang tasawuf dan filsafat. Beliau menuliskan ada dua pesan Tuhan perihal adanya wabah virus corona ini. Pertama, covid-19 hendak menyampaikan pesan kepada kita, terkhusus kepada ummat manusia yang telah mencapai peradaban tertingginya di abad 21 ini, bahwa realitas yang selama ini mereka pahami bukanlah realitas sejati, melainkan hanyalah obsesi dan rekayasa dari alam pikiran mereka sendiri. Mereka sangat mempercayai keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mereka temukan, yang bahkan mampu menjelajahi ruang angkasa. Tetapi ternyata amat lemah di hadapan makhluk kecil bernama coronavirus. Tuhan hendak menyampaikan pesan lewat covid-19 ini, agar dalam “mengapresiasi” kemajuan ilmu pengetahuan beserta temuan teknologinya tetaplah harus melibatkan Tuhan. Sehingga kita tidak akan kehilangan pijakan yang kemudian membuat kita melayang-layang tidak karuan.”
Jarkodil mengambil gelas berisi air, lalu meneguknya.
“Jadi, pengetahuan harus bertransformasi menjadi “makrifat” agar manusia tidak tertipu oleh obsesi dan pikirannya sendiri. Ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di abad 21 ini ternyata tak mampu menjawab, mengapa covid-19 muncul di era sekarang? Kenapa tidak tahun-tahun sebelumnya, atau tahun-tahun masa depan yang akan datang. Memang hidup dalam kepalsuan ini terjadi, bermula dari lahirnya peradaban Yunani Kuno, di mana para filsuf Yunani saat itu berhasil menciptakan konsep ilmu pengetahuan yang hingga kini prinsip-prinsipnya masih kita pedomani. Yaitu, ilmu pengetahuan yang mengandalkan akal pikiran yang independen dalam memahami kehidupan, alam semesta, dan seluk-beluk manusia tanpa melibatkan Tuhan. Yang boleh jadi, keengganan mereka melibatkan Tuhan ini, lantaran konsepsi teologi yang memandang Tuhan sebagai “sosok” laksana dewa dalam pemikiran logika Yunani, yang sangat mungkin tidak sejalan dengan rasionalitas di manapun adanya.”
Ini merupakan potret sejarah panjang dari konstruksi lahirnya sebuah ilmu pengetahuan. Yang telah kita nikmati sampai saat ini di sekolah-sekolah konvensional atau lembaga pendidikan lainnya. Kemudian Al-Qur’an didatangkan Tuhan untuk membangun peradabannya sendiri, tetapi malah justru penafsirannya menitik-beratkan berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Yunani tersebut. Setelah Sang Maesto, Rasulullah saw. meninggalkan dunia beserta ummatnya. Padahal sangat jelas, pandangan Al-Qur’an tentang Tuhan sama sekali berbeda dengan pandangan Yunani.
Menurut Al-Qur’an, Tuhan bukanlah “sosok” yang dipersepsikan atau pikiran yang dikonseptualkan. Melainkan Tuhan adalah Al-Haqq, Sang Mutlak yang transenden tetapi juga immanen dalam laku cinta kasih dan kebaikan dalam tata pelaksanaan kehidupan. Maka dengan sendirinya konsep ilmu pengetahuan menurut Al-Qur’an juga berbeda, di mana akal tidak hanya difungsikan untuk membangun persepsi dan berbagai macam konsepsi. Lebih dari itu, akal juga harus difungsikan untuk mendapatkan pengetahuan yang melekat dalam hati , yang kemudian akan menjadi suatu “bangunan” keyakinan yang utuh.
Dengan kata lain, akal harus dibebaskan dari segala macam syahwat dan hawa nafsu. Di mana nanti akan membangun keyakinan berdasarkan persambungan nalar dan hati nurani. Proses kognitif yang menyatukan nalar dan hati nurani tersebut bisa dinamakan dengan “makrifat”. Sebab Al-Qur’an telah memberikan pedoman agar manusia mampu sampai kepada tingkatan “makrifat”.
“Lalu apa pesan yang kedua, Dil?” bertanya teman-teman KPMb.
“Adapun pesan kedua yang disampaikan Tuhan melalui covid-19, ialah khusus untuk mereka yang suka menjadikan agama sebagai kendaraan untuk kepentingan kekuasan dan kekayaan serta berbagai macam syahwat-nafsu keduniaan yang lainnya. Seperti misalnya, penumpukan harta-benda dan untuk mengejar popularitas. Kita bisa melihat itu pada implikasi nyata dalam bidang keagamaan yang ditimbulkan oleh adanya virus itu. Di mana ritual-ritual yang selama ini wajib dan selalu kita lakukan dengan “terpaksa” harus ditangguhkan, bahkan dibatalkan. Tuhan seolah-olah menghentakkan “dada” mereka yang selama ini hanya menampilkan diri sebagai orang yang sangat ketat memegang ajaran agama semata-mata untuk terlihat dan dianggap sebagai tokoh agama yang berpengaruh, yang kemudian bisa menduduki posisi hirarki otoritas keagamaan yang mereka ciptakan di posisi yang tinggi. Coronavirus menghadapkan “muka” mereka ini kepada fakta bahwa keyakinan mereka ternyata sangatlah rapuh, tidak utuh dan tidak sampai menyentuh hati. Karena akalnya belum bisa terbebas dari godaan syahwat dan nafsu. Mereka akhirnya lebih mementingkan loyalitas hanya kepada otoritas keagamaanya saja daripada atau bahkan tidak kepada ajaran-ajaran agama yang lebih esensial dan lebih subtansi. Sehingga menyebab peran mereka dalam penanggulangan covid-19 sangat terlihat “ironis”. Mereka hanya memainkan peran sebagai hakim yang memutuskan ini haram dan itu halal, tidak bisa melihat sampai jauh terhadap permasalahan yang lebih konkret dengan ranah kehidupan. Itulah yang terjadi bilamana agama dipisahkan dari esensi aslinya sebagai laku cinta, akhlakul karimah, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.”
Jarkodil menatap tajam kepada seluruh temannya. Sedangkan temannya hanya manggut-manggut saja. Pandangan mereka terlihat kosong dan salah satu diantaranya malah sudah ngorok dan ngiler.[]
Corona, 2
_Ahmad Miftahudin Thohari
.Ngawi, 21 Maret 2020