Cahaya rembulan kali ini redup, tertutup oleh awan hitam yang berarak perlahan dan menurunkan butir-butir air. Aku mengenali tempat ini, rumah yang terbuat dari kayu-kayu kokoh. Aroma cendana yang kuat membuat tebakanku tak salah lagi. Ini rumah Kinanti.
Namun anehnya, ada bercak-bercak merah di lantai, membentuk garis panjang tak beraturan. Aku mengikutinya dan membawaku menuju pintu utama. Saat kubuka, angin malam berembus kencang, membuat blangkon di kepalaku nyaris terjatuh. Cepat-cepat kupegangi.
Di pelataran sana, di depan pendopo, ada seorang gadis yang berdiri di tengah hujan. Mataku menyipit, berusaha mengenalinya. Deg! Wajah itu … seperti paras Kinanti. Aku mengumpulkan ingatanku tentangnya yang terakhir kulihat sewaktu umurnya 12 tahun. Benar, itu wajah Kinanti! Dengan tahi lalat kecil yang terlihat samar di pelipisnya.
Yang membuatku terpana, gadis yang memiliki paras Kinanti itu mengenakan kebaya putih gading berlumuran cairan merah. Ia berdiri menghadapku, dengan mata sembab dan kantung mata yang gelap. Tangannya menggenggam untaian bunga melati yang sudah layu kecoklatan. Rintik-rintik hujan yang rapat membuat cairan merah di bajunya merembes hingga ke tanah.
“Surya … aku kedinginan.” Bibirnya yang membiru memanggil namaku.
Aku yang sejenak terpaku sontak berlari, bergegas menghampirinya. Beskap hitam dan kain jaritku seketika kuyup oleh guyuran hujan. Saat aku sudah dekat dan mengulurkan tangan, tubuh Kinanti memudar. Aku terbelalak, berusaha merengkuhnya lebih dekat. Namun ia membumbung bagai asap, lantas menghilang ditelan udara. Meninggalkan aroma melati yang menusuk.
***
Aku membuka mata, langsung terduduk dengan napas memburu. Keringat memenuhi dahi, padahal angin malam Den Haag seharusnya menggigit. Ketukan jam mekanik menyadarkanku, pukul 3.15 dini hari.
Di luar, terdengar irama tetes hujan menghantam tanah. Aku mengusap wajah, lantas menyisir rambut ke belakang dengan jemari. Mimpi apa tadi? Semua itu terlihat jelas, seperti nyata. Bahkan, suara hujannya terdengar sama. Aku menampar pipi, bukankah di belahan bumi manapun memang suara hujan begitu-begitu saja? Aku pasti sudah terlalu linglung. Seperti kata Eyang, mimpi hanyalah bunga tidur.
Aku baru tersadar, telah berbilang bulan sejak kuucapkan selamat hari lahir Kinanti. Belum ada balasan, tak biasanya seperti ini. Kinanti bukan orang yang bisa mengabaikan suratku begitu saja. Justru akulah yang tak menentu, mencuri-curi waktu untuk menulis dan mengirim surat di tengah tugas-tugasku. Atau Kinanti sedang sibuk? Ia sedang belajar sesuatu di pingitan. Barangkali. Aku akan menunggunya.
***
Hingga pertengahan musim gugur, surat Kinanti belum juga datang. Aku menanti dengan harap-harap cemas setiap derap langkah tukang pos yang menyibak dedaunan berserakan saat menyambangi pintu, tetapi lagi-lagi hanya surat tugas untuk menjadi penerjemah, atau undangan dari beberapa petinggi. Aku menarik napas, kecewa.
Tak mampu menahan diri, lantas aku mencoba untuk menuliskan surat lagi. Tidak panjang, intinya hanya bertanya “Apa kabar? Apa kau sibuk?”. Amplop putih itu kutatap lekat-lekat sebelum kukirimkan. Sampailah kau pada Kinanti. Tolong lihat bagaimana keadaannya.
Akhir musim gugur, jawaban itu belum juga tiba. Aku melihat wajah Kinanti di pantulan kaca kedai-kedai kopi yang kulewati di jalan pulang dari kantor, di genangan air yang beriak, hingga di cermin kamarku sendiri. Raut yang mengulas senyum, dengan mata cokelat dan pipi apel di kulitnya yang langsat. Rupa gadis dewasa berumur dua puluh tahunan, bukan lagi parasnya sewaktu menjadi gadis kecil manis. Yang membuatku hanya bisa tercekat setiap menatap wajah jelitanya.
Ingatan tentang Kinanti yang kehujanan di alam bawah sadar berkelibat di kepalaku. Aku mengirim telegram ke Sujatmiko, temanku sekaligus sepupu Kinanti yang bekerja di kantor kolonial di Batavia. Jawabannya 3 kata: Baik, sibuk, pingitan. Aku menghela napas membaca balasan singkat yang menghemat biaya itu. Meyakinkan diriku bahwa semuanya memang baik-baik saja.
Setengah tahun berlalu sejak mimpi itu, musim gugur telah habis dan berganti menjadi dingin. Surat yang kunantikan akhirnya tiba. Aku tersenyum lebar saat membaca nama pengirimnya, kudekap di dadaku. Rasa hangat menjalar, meski di luar suhu minus.
Saat kubuka, beberapa gelombang terlihat di beberapa titik. Kentara air yang menetes di kertas, kedua alisku mengerut. Baru menyadari, hei! Bukankah seharusnya setiap Kinanti mengirim surat selalu diselipkan di dalam kamus bahasa Belanda, sesuai kesepakatan kami? Bukankah kamus itu masih ada di Kinanti , karena selama ini dia belum membalas suratku?
Dua menit, aku jatuh terduduk.
Berdebam di atas lantai. Kubaca ulang sekali lagi, berharap ada tulisan yang terlewat, seperti “Haha, aku bercanda, Sur.” Tapi sepenggal kalimat itu tak pernah kutemukan, meski sudah kutelanjangi hingga ke sudut.
Kinanti sudah dilamar.
Ya, Tuhan … apa … apa ini? Apakah ini mimpi buruk lagi? Aku menampar pipi, terasa kebas. Ini sungguh nyata? Tanganku seketika terkulai, surat itu terasa seperti batu yang bermuatan ribuan kilogram, berat sekali.
Kinanti sudah dilamar dan di pojok tanggalnya tertera bahwa surat ini ditulis lebih dari enam bulan yang lalu?
Aku menelan ludah saat kesadaran kembali merengkuhku, bergegas meraih gagang telepon di atas meja dengan ujung tangan yang terasa dingin, masih dengan posisi duduk di lantai. “Willem, ik neem verlof. Ik moet terug naar Nederlands-Indië – er is iets wat ik moet doen, en het kan niet wachten.”
“Wat? Serieus? Zo ineens?” Willem dari seberang sana tersedak.
Aku menutup telepon, sebelum rekanku itu benar-benar memaki. Aku membujuk jemariku yang gemetar untuk menekan tombol-tombol lagi, kali ini angka yang berbeda.
Telepon tersambung. “Hallo, Paul! Sorry voor het onverwachte telefoontje, maar ik heb je hulp nodig. Kun je een ticket voor me regelen naar Batavia, voor vertrek morgen? Heb je me gehoord? Morgen!”
Terdengar deheman kecil. “Hé, waarom zo plotseling? Is er iets aan de hand?”
Aku terdiam.
“Goed, ik zorg ervoor dat je het vroegst mogelijke ticket voor morgen krijgt. Ik breng het naar je appartement. Hopelijk is alles goed.” Paul buru-buru memperbaiki intonasinya.
“Dank je wel, Paul.” Aku meletakkan gagang. Bangkit menuju koper di samping lemari.
***
Segesit apapun aku berusaha, tetap saja kelokan takdir tak mampu kuluruskan. Aku sempurna terlambat. Benar-benar terlambat di dalam keterlambatan.
“Izinkan aku menceritakan semuanya, nak …”
Aku menatap nanar pada wajah teduh dengan beberapa helai rambut keperakan di kepalanya.
“Aku tahu penjelasan ini tidak akan mengubah segalanya, tapi semoga ini membuatmu mengerti. Aku berharap ini bisa mengobati setitik rasa kehilanganmu, tetapi itu mustahil, ya?”
Langit di atas atap pendopo membiru layu, bukan gurat jingga seperti biasanya. Angin sore menerpa wajah, sepoi yang membuat kulit terasa pilu. Raden Ayu Wening, Ibunda Kinanti, langsung menyambutku dengan mata berkaca-kaca sedari tadi di pintu gerbang.
“Dua minggu setelah upacara lamaran itu, pernikahan dilangsungkan. Semuanya berjalan lancar, seperti yang diharapkan.” Ia memainkan jemari di atas pangkuan, kalimat terakhirnya terdengar lebih lirih.
Kepalaku bergerak pelan. Tak tahu harus menjawab apa. Di pepohonan trembesi sekitar pendopo, burung-burung diam di dahan. Mereka enggan terbang, seperti menunggu sesuatu.
“Surat-surat kalian … tak pernah saling sampai. Kami menyimpannya.”
Seperti besi panas yang langsung dihujamkan ke jantungku. Surat tak sampai? Kami?
Satu kata. Empat huruf. Kami. Bunyinya seperti gedoran pintu besar yang dikunci dari dalam.
“Yang berjalan lancar hanya pestanya, tidak dengan pernikahannya. Kinan sakit-sakitan sejak dilamar. Setelah pernikahan dan diboyong oleh suaminya, sakitnya menjadi-jadi. Wajahnya pucat, napasnya sering terengah-engah. Dia sulit makan, lebih sering mengunci diri di kamar.”
Hening sejenak, RA Wening seperti mengumpulkan kekuatan untuk memulai kata-kata selanjutnya. Penjelasan yang seharusnya tidak pernah datang padaku, jika takdir tidak sekejam itu.
“Kau tahu apa yang lebih buruk dari itu semua?” Wanita yang memiliki mata Kinanti itu tercekat, suaranya mulai serak. “Kinan hamil. Seharusnya itu adalah hal yang membahagiakan, terutama bagi kami kedua orang tuanya. Tapi … ya Tuhan, ia menangis pulang hingga tertidur di pangkuanku saat tahu dirinya berbadan dua. Demi melihat wajah Kinan yang digantungi kesedihan, aku tahu itu bukan buah hati baginya. Melainkan beban.”
RA Wening memanggil seorang abdi, lantas dibawakannya sebuah kotak kayu jati berpelitur. Aku mengenali orang yang mengasuh Kinanti sejak kecil itu. Yu Nah. Ia berlutut dan menyodorkannya padaku. Tanganku mencekal lengan kursi, berusaha menahan sesuatu dari dada yang mendesak keluar. Namun aku harus mendengarkan hingga selesai.
“Waktu itu … kami, terutama Romonya, hanya berpikir bahwa tak elok Kinan bersurat-suratan dengan lelaki lain setelah lamaran, sedangkan ia hendak menjadi istri orang. Ia tak pernah tahu soal suratnya ditahan beserta balasanmu. Sebenarnya, kami tak pernah mempermasalahkan persahabatan kalian yang memang sudah ada sejak kecil. Tapi, Nak … sebagai Ibu aku sungguh tahu, itu bukan persahabatan biasa, kan? Aku bisa melihatnya di mata anakku yang berbinar setiap ia habis menerima surat darimu, di setiap untaian kata yang ia tulis untukmu, semuanya sepenuh hati. Aku tak tahan lagi, maka kukirimkan satu surat yang ia kirim setelah upacara lamaran, tanpa sepengetahuan Romonya. Meski … meski terlambat sekali.” Ia mengusap air yang jatuh di pipinya dengan selendang.
Aku mematung, masih memandangi kotak kayu di tangan yang belum kuasa kubuka.
“Itu … itu kamus dan surat kalian. Pergilah menemuinya. Kalian saling merindukan.” Perempuan paruh baya itu tersedu-sedan. “ Namun sebelum itu, temuilah Romo Kinan terlebih dahulu.”
Aku dituntun menuju bilik sang Bupati. Badannya yang seingatku dulu kekar, kini tergolek lemah di atas kasur, dengan wajah pucat. Ia memintaku menunduk dengan isyarat dan mengusap kepalaku, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
***
Jika aku datang lebih cepat, apakah bisa berbeda?
Sekelopak bunga kamboja lepas dari dahan, jatuh mengenai gundukan tanah merah di depanku.
“Aku rindu.” ucapku, tapi tak ada jawaban. Angin bertiup ke arah Barat, membuat pohon-pohon kamboja bergoyang.
“Kau kedinginan, Kinan.” Aku melepas jas, dan menangkupkannya di batu nisan yang hanya membisu.
Kubuka kertas lusuh yang sedari tadi dalam genggamanku. Entah bagaimana, tiba-tiba aku lupa caranya bernapas.
Kau tahu, Sur? Hidupku rasanya seperti kopi yang telah diseduh berjam-jam yang lalu.
Dingin, pahit, tinggal omong kosong.
Apakah salah jika saat di pelaminan itu aku merasa bukan sebagai manusia, melainkan sebuah persembahan?
Bertahun-tahun kurawat mimpi-mimpi itu dalam ruang pingitan yang sesak, menyusuinya dengan buku-buku darimu, memapahnya dengan harapan yang semakin hari semakin mengecil.
Aku bukannya diam, Sur. Sebelum hari sial itu, aku berusaha untuk menyuarakan hatiku dengan cara baik-baik: berdiplomasi. Kuharap Romo dan Ibu mengerti karena mereka yang membesarkanku, dan seharusnya memang begitu. Namun rupanya mereka lebih mempercayai belenggu-belenggu itu daripada darah dagingnya sendiri.
Sejak kata-kata itu keluar dari mulutku: “Aku ingin bersekolah tinggi.”, “Aku ingin menulis.”, “Aku ingin menyusul Surya ke negeri sana.”
Kalimat-kalimat itu … diperlakukan seperti pembunuh berantai. Yang harus dikurung, dikendalikan, dan direkonstruksi. Dan namamu … seolah menjadi hantu momok yang tak boleh lagi kusebut. Apakah dunia takut?
Tubuhku yang dipaksa pasrah kehilangan energinya untuk hidup, Aku tak bisa lagi membedakan luka antara jiwa atau raga, karena semuanya terasa sakit. Tetapi bahkan matahari tak peduli pada semua itu, ia tetap bergulir sesuai jadwalnya dan menekanku untuk terus bernapas.
Janin ini … sisa kekuasaan yang dipaksa masuk ke tubuh? Bolehkah aku berpikir seperti itu? Tubuhku tak boleh menjadi milikku sendiri?
Aku berfirasat mereka tak akan membiarkan suratku terkirim setelah upacara lamaran. Tapi aku tetap akan menulis, dan jika semesta menahannya, maka aku hanya bisa mengadu pada Sang Pencipta. Aku tidak tahu bisa bertahan berapa lama.
Apabila nanti kau datang, dan aku tak bisa menemuimu, tolong jangan sedih terlalu lama, Sur. Selama kata-kataku masih terbaca, aku tidak pernah lenyap sepenuhnya. Dan aku … bisa menemani langkahmu ke manapun bersama desiran udara.
Kinanti.
Awan abu berarak perlahan, menurunkan gerimis yang semakin lama semakin deras.
Penulis: Abril
Editor: Alfida