Provokasi itu datang pada awal pagi. Ketika sekelompok umat islam Surakarta tidak menerima dengan adanya desain koridor jalan sudirman. Setelah sebelumnya pemerintah kota Solo mengatakan tidak akan mengubah desain mosaik koridor di depan balai kota solo yang disebut berbentuk salib, akhirnya pemkot pun ‘mengalah’ dan memutuskan untuk mengubah mosaik itu dengan cara mengecat hijau dibeberapa bagian seperti yang mereka inginkan agar tidak menyerupai motif salib sebagai solusi.
Berawal dari beredarnya foto mosaik jalan Jenderal Sudirman depan Balaikota Surakarta di media sosial. Foto yang di ambil menggunakan drone itu menjadi viral akibat desainnya itu mirip bentuk salib. Lokasi pengambilan gambar ialah di ujung utara Jalan Jenderal Sudirman, tepat di depan Balai Kota Surakarta. Motif mirip Salib terlihat di Tugu Pemandengan yang menjadi titik sentral dari mosaik itu. Menjadi mirip salib itu karena pada sisi selatannya berbentuk lebih panjang dibandingkan dengan sumbu lain yang kemudian diberi warna cat merah.
Dilansir dalam BBC News Indonesia, pemkot solo kemudian menggelar pertemuan dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Solo, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), yang hasilnya disampaikan pada saat aksi masih berlangsung. “Kami usul supaya betul-betul menjurus menjadi bentuk mata angin. Bagian yang papak itu dibuat lancip atau runcing. Karena filosofi gambar itu delapan penjuru mata angin, hanya saja yang digambar tebal itu empat dan empat lainnya kecil,” kata ketua MUI Solo, Subari. Subari menyayangkan cara pandang yang cuma melihat mosaik itu dari atas yang seolah-olah mirip salib. Padahal, jika dilihat dari sisi samping, terlihat jelas jika yang ada ditengah itu adalah tugu pemandeng.
Saat ditemui beberapa bulan yang lalu, Wali kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo, mengaku tidak mengetahui jika desain motif jalan tersebut mirip salib. Dia pun mengaku tidak ikut campur dalam pembuatan desain motif jalan itu. “Saya nggak ikut mendesain kok, yang desain kan dari Dinas PUPR. Ngapain saya ndesain jalan,” kata Rudy dalam sebuah wawancara Solo, pertengahan Januari 2019 lalu. Rudy menegaskan tidak mungkin dia menempatkan salib sebagai motif untuk jalan. Hal tersebut menurutnya tidak sesuai dengan ajaran agamanya.
Kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, mengatakan desain yang terdapat di Tugu Pemandengan itu mengandung unsur budaya dan kearifan lokal, seperti arah mata angin memang terdapat dalam filosofi Jawa. Selain arah samping, terdapat pula arah vertikal, yakni mengarah kepada Tuhan atau kembali kepada yang Masa kuasa.
Konsep penataan koridor Jalan Jenderal Sudirman, bahwa jalan sudirman itu merupakan jalan akses ke pusat-pusat kegiatan, baik itu pemerintahan zaman belanda maupun sekarang. Pusat kegiatan perdagangan dan jasa, seperti pasar klewer dan pasar gedhe. Sehingga disitu harus mempunyai level atau mempunyai gradasi yang paling tinggi agar nantinya masyarakat itu secara tidak langsung mengetahui bagaimana atau apa saja bangunan di pusat kota khususnya cagar budaya yang merupakan akses edukasi kepada masyarakat akan hal jaman dahulu. Semua jalan menggunakan aspal, kenapa disitu tidak menggunakan aspal? itu herarkinya kita tinggi kan dengan menggunakan batu andesit kemudian dibagian trotoarnya menggunakan bahan yang agak berbeda pada umumnya biasanya menggunakan paving, disitu menggunakan batu granit. Selain menggunakan batu andesit disitu untuk meningkatkan gradasi atau level bisa juga disitu kendaraan secara tidak langsung jalannya diperlambat. Dengan diperlambat bisa menikmati potensi-potensi yang ada di kota tersebut, wujudnya potensiwisata yang berupa cagar budaya. Seperti balaikota, benteng vastenburg, gereja katolik, kantorpos, bank Indonesia, tugu pemandengan, jembatan pasar gede, bangunan pasar gede, jam gede. Itu semua sudah termasuk cagar budaya. Mereka yang melintas disitu tertarik akan keberadaan bangunan-bangunan disitu, maka dengan jalanan berpaving itu mereka akan berjalan pelan-pelan sambil menikmati cagar budaya.
Dulu dibagian selatan ada tugu ada air mancur, kemudian air mancur ke utara ada jalur pemisah sampai menghubungkan di tugu pemandengan yang ada di depan balaikota. Padahal menurut filosofi jawa bahwa jalan disitu merupakan sumbu imajiner sumbu lurus menuju ke kraton kasunanan. Jika disitu sebagai sumbu imajiner maka disitu harus terbebas dari pandangan. Sehingga lampu yang ditengah jalan itu di bersihkan. Sehingga dari kraton kasunanan itu memandang dari tugu pemandengan terbebas dan lurus. Pada waktu itu karena filosofinya sirotol mustaqim yang artinya jalan yang lurus. Sehingga untuk memandang tugu pemandengan terdapat maksud pajtupat limopancer.
Patjupat limopancer menggambarkan dirikita dari alam kandungan sampai lahir. Kakang-kawah, adiari-ari, darah, jabang bayi, puser. Kakang kawah atau air ketuban itu untuk melindungi, darah untuk melancarkan saat melahirkan. Kemudian melahirkan jabang bayi bersama ari-ari, beserta pusernya.
Ada yang menyangka bahwa patjupat limopacer dilihat dari atas berbentuk salib, dilihat dari samping. Sedangkan yang sebenarnya bila dilihat dari atas, desainnya berbentuk mata angin. Sedangkan tugu pemandengan pancer keatas. Bahwa setelah lahir itu ada yang menciptakan dan kembali ke yang maha kuasa.
PERSEPSI YANG SALAH ARTI
Pembangunan jalan jendral Sudirman yang akhirnya menjadi kontroversi bagi suatu kalangan itu tentu saja tidak terlepas dari pihak-pihak yang mengelola, mengkonsep dan membangun jalan tersebut. Salah satu orang yang berhasil kita temui untuk wawancara adalah Arif Nurhadi , beliaulah orang yang mengerti dan bertanggung jawab penuh atas pembangunan jalan tersebut. Arif Nurhadi saat ini menjabat sebagai pengelola kegiatan pejabat pembuat komitmen di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang kota Surakarta tahun 2020. Berikut adalah hasil wawancara yang kami dapat setelah mengobrol dengan beliau.
- Kapan Pembangunan jalan tersebut dimulai? Dan siapakah yang mengelola pembangunan jalan tersebut?
Pembangunan jalan Jendral Sudirman dibangun melalui dua tahap, tahap pertama dimulai pada pertengahan tahun 2018, kemudian selesai pada Desember 2018. Pembangunan tahap satu ini meliputi pembangunan dari jembatan pasar gede menuju kebarat lalu ke selatan sampai ke sebelah barat bri. Pembagunan tahap satu itu dikelola dan dikepalai langsung oleh Taufan Basuki Supardi yang dulunya menjabat sebagai kepala bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) kota Surakarta, yang saat ini sudah dipromosi sebagai kepala dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan kota Surakarta
Tahap kedua dimulai pada awal tahun 2019, pembangunan tahap kedua ini meliputi pembangunan jalan dari depan gedung BRI sampai ke Gladak. Pembangunan tahap kedua dikelola sepenuhnya oleh Arif Nurhadi, beliau juga yang mengajukan konsep pembangunan di jalan tersebut. Pembagunan tahap dua selesai pada akhir tahun 2019 kemarin, selesainya pekerjaan tersebut menandakan bahwa koridor jalan jendral sudirman telah selesai dibangun sepenuhnya. - Mengapa masyarakat mengadakan aksi? mereka itu siapa?
Seminggu setelah pembangunan desain mosaik di depan balaikota selesai, tepatnya pada tanggal Jum’at 18 januari 2019, beberapa kelompok kalangan muslim melakukan demo atas desain mosaik itu. Mereka mengklaim desain itu adalah bentuk salib yang sengaja dibuat oleh pemerintah. Para pendemo yang berjumlah ratusan itu berkumpul di depan balaikota Surakarta untuk menyampaikan keinginannya kepada walikota. Mereka ingin desain tersebut diganti dengan bentuk lainnya, supaya tidak berbentuk salib.
Saya tidak tahu pasti siapa yang berdemo, mereka hanya mengatas namakan muslim yang tidak setuju dengan desain mosaik tersebut. Karena pada saat itu mendekati pilpres, sehingga, keributan mudah muncul dibarengi dengan situasi politik yang sedang memanas yang kebanyakan hanya mencari sensasi. - Bagaimana pemerintah menanggapi aksi tersebut?
Saat demo berlangsung, akhirnya walikota Surakarta, F.X. Hadi Rudyatmo langsung turun tangan di hadapan para pendemo, Rudy kemudian melakukan mediasi bersama beberapa pendemo serta beberapa tokoh masyarakat dan MUI untuk mendengarkan keinginan para pendemo. Setelah dilakukan mediasi, para pendemo pun mengatakan keinginannya, mereka ingin desain mosaik depan balaikota itu diubah agar tidak lagi berbentuk salib. Walikota pun setuju, ia berjanji akan mengubah desain tersebut.
Sekitar seminggu setelah demo, pemerintah pun mengubah desain mosaik tersebut, dengan cara mengecat ulang dibeberapa bagiannya agar tidak telihat seperti bentuk salib. Karena menurut Arif Nurhadi, tidak mungkin kita merubahnya dengan cara merombak ulang semua bagian, hal itu hanya akan memakan waktu lebih lama lagi dan biaya yang tidak sedikit. - Apa Makna atau Arti Sebenarnya dari Desain Mosaik tersebut?
Jalan sudirman merupakan jalan akses ke pusat- pusat kegiatan baik itu ke pemerintahan maupun perdagangan dan jasa, sehingga jalan tersebut harus mempunyai level atau gradasi yang paling tinggi, agar nantinya masyarakat tahu, bahwasannya jalan disini didesain menggunakan batu andesit yang mana berbeda dengan jalanan lainnya yang menggunakan aspal, dengan maksud untuk meningkatkan level dari tempat lainnya, juga bermaksud supaya kendaraan tidak bisa melaju seenaknya (nngebut). Dengan diperlambat, para pengendara juga bisa menikmati potensi yang berupa cagar budaya, seperti benteng vastenburg, kantor pos ada juga tugu pemandengan, jembatan pasar gede, dan tugu jam pasar gede dan juga balaikota yang dulunya dijadikan cagar budaya pada tahun 1998.
Dalam filosofi jawa pun dijelaskan bahwa jalan terebut merupakan sumbu imajiner, yaitu sumbu lurus dari tugu pemandengan yang menuju kraton kkasunanan Tugu pemandengan sendiri memiliki filosofi patjupat lima pancer yang menggambarkan diri kita, dari dalam kandungan sampai lahir. Mereka itu adalah kakang kawah (air ketuban), adi ari-ari (plasenta), getih (darah), dan puser (tali plasenta), sedangkan yang kelima adalah manusianya itu sendiri. Itulah mengapa tugu Pamendengan dihadirkan di depan Balaikota yang menjadi pusat kota Surakarta.
Sedangkan mosaik disekitar tugu pemandengan memiliki filosofi simbol empat arah mata angin, lalu ditengahnya terdapat tugu pemandengan sebagai ancer yang menghadap ke atas, mengartikan semua manusia akan kembali ke atas (yang maha kuasa) dan kita sebagai manusia tidak boleh menyimpang dari apa yang sudah diperintahkan oleh tuhan, itulah makna sebenarnya dari desain tersebut.
Reporter: Bilal, Ali, Mely, Yuni
Penulis: Yuni Firdaus