Gambar diambil dari media X: @KuntoAjiW
“19 juta tak kira lapangan kerja, ternyata lapangan padel,” tulis Kunto Aji dalam sebuah unggahan di media sosial. Ungkapan satir ini mencerminkan kekecewaan publik terhadap janji-janji penciptaan lapangan kerja yang kini terasa semakin absurd.
Di balik cuitan itu, terselip kenyataan pahit angka pengangguran lulusan perguruan tinggi yang terus membengkak, sementara pemerintah seakan sibuk mengubah narasi ketenagakerjaan menjadi ajang pembelaan diri. Masyarakat mulai bertanya, apakah kita sedang disuguhi ilusi atau hanya untuk diminta sabar lebih lama lagi?
Di tengah geliat pembangunan dan bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang, Indonesia justru menghadapi ironi banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap dunia kerja. Beberapa lulusan sarjana mencari lowongan sebagai petugas kebersihan jalanan. Di tempat lain, seorang guru honorer yang saya kenal dengan gelar sarjana merasa dilecehkan oleh sistem yang menggajinya jauh di bawah kelayakan hidup, memaksanya mencari pekerjaan tambahan demi sekadar bisa membayar kebutuhan dasar. Di media sosial, ribuan cuitan anak muda meluapkan frustrasi terkait lamaran kerja yang dikirim tak pernah mendapat balasan, atau dibalas hanya untuk menerima penolakan tanpa alasan yang jelas.
Bagi banyak pencari kerja, proses ini bukan lagi sekadar menunggu kesempatan. Ia telah menjadi perjuangan harian yang menguras waktu, energi, dan perlahan-lahan meruntuhkan harga diri. Setiap pagi, mereka membuka kotak masuk email dengan harapan, hanya untuk menemukan keheningan. Mereka merevisi CV (Curriculum Vitae) berkali-kali, menyesuaikan diri dengan syarat yang terus berubah, namun tetap belum dianggap “cukup”.
Tekanan dari luar pun tak kalah menyesakkan. Banyak yang mulai menghindari pertemuan keluarga, bukan karena acuh, melainkan takut ketika mendengar pertanyaan yang sama “Kerja apa sekarang?” Seolah-olah pekerjaan adalah satu-satunya barometer keberhasilan hidup. Padahal, mereka yang ditanya itu sedang bertahan sekuat tenaga melawan sistem yang perlahan menyingkirkan ruang mereka untuk tumbuh.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta orang per Februari 2025. Hal yang paling menyita perhatian, sebanyak 1,01 juta di antaranya ialah lulusan perguruan tinggi. Angka ini menyentil janji lama bahwa pendidikan tinggi adalah jalan menuju masa depan yang mapan. Hari ini, gelar sarjana pun tak lagi menjamin pekerjaan yang layak.
Salah satu penyebab dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia adalah jurang lebar antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Kurikulum yang diajarkan di kampus kerap terlalu teoritis, lambat merespons perkembangan zaman, dan minim pengalaman praktikal. Banyak lulusan datang ke dunia kerja dengan pengetahuan yang tidak relevan dengan pekerjaan yang diambil.
Berdasarkan artikel dari Tempo.com pada 9 Juli 2025 “Para Sarjana Daftar jadi petugas PPSU di Jakarta” mengatakan bahwa banyak lulusan sarjana mendaftar sebagai petugas PPSU (Penanganan Prasarana dan Sarana Umum) di Jakarta karena sistem yang tidak memberikan ruang berkembang. Mereka terpaksa memilih pekerjaan itu karena sulit untuk mendapatkan pekerjaan layak, ada pula yang terkena gelombang PHK, hingga akhirnya muncul pemikiran “kerja apa pun, yang penting ada pemasukan.”
Apalagi, dengan adanya fakta jika gaji PPSU yang mencapai kisaran Rp 5.000.000 (lima juta) per bulan jauh lebih tinggi daripada profesi seperti guru honorer atau tenaga profesional lain yang telah menempuh pendidikan bertahun-tahun dan bergaji di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi). Maka untuk apa gelar tinggi jika penghargaan terhadap ilmu begitu rendah?
Mereka sudah membayar jutaan rupiah untuk mengejar gelar dan lulus dengan penuh harap, hanya untuk menyadari bahwa industri tak mencari ijazah, tapi skill yang belum sempat diajarkan. Dalam sistem ini, usaha dan harapan anak muda justru dipatahkan bukan karena kurang kerja keras, tapi karena sistemnya tak pernah disiapkan untuk menyambut mereka.
Namun, alih-alih mengevaluasi kebijakan ketenagakerjaan atau memperkuat sistem penciptaan lapangan kerja, pemerintah justru memberikan respons mengecewakan kepada masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, “Jangan kufur nikmat” atau “Anak muda terlalu pilih-pilih pekerjaan” justru menampilkan watak pemerintah yang defensif dan menolak bertanggung jawab.
Seakan-akan, pengangguran adalah murni hasil dari mental malas, bukan kerusakan sistemik. Pernyataan semacam itu menunjukkan bagaimana pemerintah justru menolak mengakui bahwa masalah ini bersifat struktural, bukan sekadar individual. Pemerintah sibuk menyalahkan generasi muda, seolah-olah mereka tidak cukup rajin melamar atau terlalu manja untuk bekerja kasar. Faktanya, banyak yang bersedia bekerja asal imbalannya setimpal.
Realitas yang lebih pahit adalah mereka terus-menerus disuruh bersyukur atas sesuatu yang jelas-jelas mengeksploitasi waktu dan tenaga. Bukan perihal gengsi yang jadi masalah, tapi logika ekonomi. Bagaimana bisa pekerjaan yang menuntut gelar dan pengalaman hanya dibayar di bawah standar kelayakan hidup?
Satu juta sarjana menganggur adalah sinyal kerusakan sistem yang serius. Sampai kapan kita terus membenarkan keadaan ini dengan narasi “asal ada kerja”? Apakah kita harus terus menyederhanakan masalah sistemik menjadi sekadar soal mentalitas? Menyalahkan individu itu bukan solusi. Sudah saatnya pemerintah berbenah, perlu ada langkah konkret seperti penciptaan lapangan kerja yang layak dan realistis, program magang terintegrasi, serta memperkuat kualitas pendidikan melalui kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri.
Sudahi cuci tangan dengan dalih moralitas. Ini bukan saatnya lagi untuk denial, ini saatnya melakukan refleksi dan bertindak.
Karena lapangan kerja bukan sekadar dikatakan “ada” tapi harus benar-benar diciptakan, dirancang, dan diwujudkan.
Penulis: Nayla Hafadzah F.
Editor: Abril Nabila T.