Sumber foto: Unsplash-Waldemar
Di antara himpitan orang-orang di gerbong KRL, ia memutar tas ransel, menaruhnya di bagian depan tubuh, sedangkan kedua tangannya, tertangkup di bagian bawah punggung. Ia ingin melindungi semuanya yang berharga. Karena tubuh perempuan, “harus” selalu waspada.
***
21 April 2025, Indonesia merayakan Hari Kartini. Kutipan-kutipan dan pesan perjuangan perempuan membanjiri linimasa. Seluruh elemen masyarakat berpartisipasi menyambut hari lahirnya salah satu tokoh perempuan yang namanya turut diabadikan dalam lagu.
Namun, di hari yang sama, Kompas.com merilis berita tentang penonaktifan seorang oknum guru berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara) yang telah melecehkan 6 Siswi SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Lumajang. Empat hari berselang, CNN Indonesia melaporkan kasus seorang anggota polisi di Bone yang melakukan pencabulan terhadap anak berumur 15 tahun beserta ancaman penyebaran video bugil korban.
Dua hari kemudian, masih di Bone, Detiknews (27/04/2025) merilis kabar yang membuat siapapun mengurut dada: seorang perempuan diperkosa ayah dan kakaknya sendiri.
Jika mundur ke beberapa hari sebelumnya, pada tanggal 11 April 2025, Kumparan.com menurunkan berita tentang seorang polisi yang melecehkan istri penjual kopi, peristiwa yang viral setelah rekamannya beredar luas.
Betapa para pelaku bukan sekadar individu, melainkan sosok-sosok yang seharusnya menjadi penjaga, yang seharusnya paling bisa dipercaya: guru, aparat, ayah, saudara.
Lantas ke mana perempuan harus mengadu? Lantas di mana perempuan bisa bernapas lega dan merasa aman atas tubuhnya? Atau lantas bagaimana perempuan harus hidup, jika dunia selalu menolak untuk melindungi dan mengakuinya sebagai subjek yang berdaulat atas tubuhnya?
Ini bukan kasus terpisah: Ini pola. Kerusakan yang tidak hanya diakibatkan oleh kebejatan moral pribadi, tetapi juga pola pikir kolektif yang terbentuk sebagai dampak dari konstruksi yang telah dinormalisasikan dan telah berjalan setua waktu.
Lahir dari Luka
Contoh-contoh di atas hanyalah segelintir dari bongkahan gunung es. Sebagian kecil yang tersuarakan dan terabadikan di media, sangat mungkin jauh lebih banyak jerit-jerit yang teredam. Jauh lebih banyak yang hanya bersembunyi dalam tangis dan amarah yang tak terekam. Rentang waktu yang diambil (berdekatan dengan hari Kartini) bukan tanpa alasan. Ini adalah refleksi: apalah artinya perempuan dirayakan, jika belum sepenuhnya dihargai?
Sayangnya, ini bukanlah cerita baru. Kekerasan terhadap perempuan telah lama menjadi realita yang bagaikan siklus air hujan: diulang, diwariskan, dan dilanggengkan. Bahkan negara pernah menjadi saksi bisu dari kenahasan paling kelam.
Komnas Perempuan dalam artikelnya menyebut bahwa sejarah berdirinya lembaga ini berangkat dari tragedi kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Sistem perlindungan yang berasal dari luka itu sendiri. Tercipta dari peristiwa berdarah, dari rintihan serta pekikan yang terlalu keras dan pedih untuk diabaikan.
Meminjam dialog dari tokoh Ilona dalam film Habibie dan Ainun 2:
“Itu fakta dan masalahnya.”
Namun, dua dekade lebih berselang, narasi ini kembali dipertanyakan. Dalam wawancara kanal Youtube IDN Times dengan Pemimpin Redaksi, Uni Lubis, bertajuk “Real Talk: Debat Panas! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang pada 10 Juni 2025, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, sempat mempertanyakan kembali kebenaran kekerasan seksual massal terhadap korban yang mayoritas perempuan dari etnis Tionghoa tahun 1998.
“Betul gak ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Gak pernah ada proof-nya.”
Lontaran yang menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk pegiat HAM dan lembaga perempuan. Amnesty International Indonesia (13/06/2025) mengingatkan bahwa laporan terakhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dalam Peristiwa Mei 1998 justru mencatat secara rinci bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan baik di ranah domestik maupun publik. Data terakhir menyebut:
- 52 korban perkosaan,
- 14 korban perkosaan dengan penganiayaan,
- 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan
- 9 korban pelecehan seksual
Seluruh data tersebut diperoleh dari bukti baik keterangan korban, keluarga, para saksi, hingga ahli medis.
Pengakuan dan Tubuh Perempuan, Bukti yang Tak Pernah Cukup?
“Kamu goyang tidak?” demikian pertanyaan yang diucapkan seorang polisi di Jakarta terhadap seorang korban pemerkosaan, sebagaimana yang dikisahkan Ester Lianawati dalam bukunya Akhir Pejantanan Dunia (hlm. 46). Seolah itu bukanlah tanggapan terhadap suatu kasus di kantor kepolisian, melainkan lelucon di sebuah kontes dansa.
Bagaimana berharap sebuah kasus individual ditangani dengan baik, jika tragedi massal yang melibatkan banyak korban, saksi, hingga para dokter dan bahkan keterangan resmi dari Presiden ketiga Republik Indonesia, B. J. Habibie yang menegaskan peristiwa ini benar terjadi masih juga disangkal?
Inilah ironi besar. Ketika seorang tokoh publik dengan ringan meragukan keabsahan pemerkosaan massal, dan pihak berwajib mempertanyakan “goyang atau tidaknya” korban sebagai parameter sahnya sebuah pengaduan, maka bukan hanya tubuh perempuan yang disangsikan, tapi eksistensinya. Bagaimana mengharapkan empati publik jika sistem hukum mengharuskan korban untuk membuktikan diri bahwa ia cukup menderita dan layak dianggap sebagai korban?
Bukan berarti bukti tak penting. Kritik ini bukan berarti ajakan untuk meniru skema dunia mafia, seperti yang digambarkan dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan (hlm. 244), yang memperlakukan tuduhan sebagai kebenaran mutlak. Lantas, orang yang diadukan akan segera “dihabisi” tanpa perlu proses.
Verifikasi seharusnya bertumpu pada fakta dan prosedur hukum yang adil. Bukan pada asumsi murahan dan penggampangan “Gak ada proof-nya” yang mencerminkan budaya patriarkal dan represi atas tubuh perempuan. Alih-alih perlakuan istimewa, yang dibutuhkan adalah keadilan yang tidak bias. Ini bukan tentang menghapus proses hukum, melainkan tentang bagaimana proses itu terlalu sering menjadi panggung penghakiman untuk korban. Bukan pelaku.
Perempuan dipuja-puja setiap tanggal tertentu, tetapi di luar feed dan upacara seremonial mereka harus menyilangkan tangan agar tak diacak-acak. Kartini hanya menjadi simbol manis dalam kalender dan pidato-pidato resmi. Gagasannya tentang kemerdekaan perempuan kerap hanya dijadikan dekorasi. Karena ternyata, di negeri ini, perempuan masih harus membuktikan bahwa tubuhnya layak dihormati.
Setiap manusia hendaknya ingat bahwa ia lahir dari rahim perempuan.
Penulis: Abril N.T.
Editor: Alfida