Masa Depan Cemerlang, Hanya Untuk Keluarga Berkecukupan?

  • By locus
  • Juni 5, 2025
  • 0
  • 154 Views

gambar di ambil dari situs context.id 

 

 

Di Indonesia, banyak orang tua yang berpikir kewajiban mereka dalam mendidik anak hanya berhenti di usia dini. Pemikiran ini dapat berdampak buruk untuk masa depan anak. Faktanya, peran orang tua sangat dibutuhkan sepanjang perjalanan pendidikan anak, termasuk saat anak menginjak masa remaja dan memasuki dunia perkuliahan. Masa perkuliahan adalah fase krusial di mana anak menghadapi banyak tantangan, baik secara akademik maupun emosional. Oleh karena itu, dukungan serta arahan orang tua tetap menjadi faktor utama dalam keberhasilan pendidikan mereka. 

Sayangnya, tidak sedikit orang tua di Indonesia yang menyarankan anak mereka selepas menempuh SMA/SMK untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi melainkan langsung bekerja karena alasan ekonomi. berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Alasannya tak jauh dari keterbatasan finansial. Meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai program beasiswa seperti KIP, masih banyak keluarga yang belum mengakses informasi tersebut atau merasa kurang mampu dalam membiayai kebutuhan hidup anak selama kuliah. Sehingga banyak anak di indonesia yang terpaksa harus merelakan mimpi-mimpi mereka. 

Namun, penting untuk diingat bahwa pendidikan adalah hak setiap anak sebagaimana yang telah dijamin dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Menghalangi anak untuk melanjutkan pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi tanpa mencari jalan alternatif sama saja dengan merampas hak dasar mereka. Di sisi lain, pendidikan tinggi bisa menjadi jalan keluar kemiskinan yang dialami oleh banyak keluarga di Indonesia. Anak-anak yang menempuh perguruan tinggi memperoleh lebih pembelajaran di bidang ahlinya, sehingga berpeluang memiliki pekerjaan yang lebih layak dan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga mereka di masa depan. 

Situasi ini menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tidak hanya bergantung pada kemampuan akademik anak, tetapi juga pada dukungan lingkungan, terutama keluarga. Ketika anak harus memikul beban ekonomi keluarga di usia muda, mereka cenderung mengesampingkan pendidikan demi membantu kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, penting bagi orang tua untuk tidak hanya memahami nilai penting pendidikan, tetapi juga aktif dalam mencari solusi alternatif seperti beasiswa, program kuliah sambil kerja, atau perguruan tinggi dengan skema pembiayaan yang fleksibel. Peran aktif keluarga dalam hal ini sangat menentukan apakah seorang anak bisa menyelesaikan pendidikan tingginya atau tidak.

Selain itu, pemerintah dan masyarakat luas juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan terjangkau. Program-program afirmatif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan beasiswa daerah perlu terus disosialisasikan dan ditingkatkan efektivitasnya agar tepat sasaran. Di sisi lain, masyarakat harus membangun budaya yang menempatkan pendidikan sebagai investasi jangka panjang, bukan beban. Berkat kerja sama antara orang tua, pemerintah, dan masyarakat, maka peluang anak-anak Indonesia untuk meraih pendidikan tinggi akan semakin terbuka, tanpa harus dikorbankan oleh keterbatasan ekonomi semata.

Kesimpulannya, peran orang tua sangat penting dalam mendukung pendidikan anak hingga ke jenjang perguruan tinggi. Banyak anak terhambat kuliah karena keterbatasan ekonomi dan kurangnya dukungan keluarga. Oleh karena itu, orang tua perlu lebih aktif mencari solusi, seperti memanfaatkan beasiswa atau program kuliah sambil bekerja. Pemerintah juga harus memperluas akses dan sosialisasi bantuan pendidikan. Pendidikan tinggi bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan dan hak setiap anak Indonesia yang harus diperjuangkan bersama. Apakah kami masih bisa bermimpi? Atau apakah itu hak istimewa yang tidak mampu kami miliki? 

 

Penulis : Nyimas Syifa 

Editor : Alfida Nuril

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.