Diambil dari canva.com
“Manusia makin kesini makin kompleks, yang ada di pikirannya semakin padat merayap.”–sm
Aku sudah tiga tahun menjadi mahasiswa psikologi, dan sudah akrab dengan dunia psikologi lebih dari delapan tahun (karena ibuku seorang konselor). Tapi, rentetan kejadian akhir-akhir ini benar-benar merubah pola dan sudut dari pandanganku terhadap sesuatu yang vital tapi rapuh, mental.
Aku ingat betul, tahun 2022, ketika aku masih menjadi dedek-dedek maba (mahasiswa baru), aku bertemu seorang teman yang agaknya dia punya indikasi kondisi mental kurang stabil. Saat itu, ia meluncurkan sebuah aksi yang membuat orang di sekitarnya tak nyaman, termasuk aku. Hal itu berkali-kali ia lakukan. Kesalahanku, bukannya malah mencari tahu apakah dia sudah mendapatkan penanganan yang tepat dari ahli, aku malah secara sepihak menganggap tingkahnya ialah bentuk glorifying. Terlepas dari itu benar glorifying atau bukan, harusnya aku cross check dulu, disitu kesalahanku.
Kembali ke 2025. Hari itu aku sedang melihat cerita salah seorang teman di instagram. Ia membagikan sebuah template yang menuntut pelaku pembullyan Timothy Anugerah, mahasiswa Universitas Udayana (Unud), yang mengakhiri hidupnya dengan melompat dari salah satu gedung kampus. Kemudian muncul rasa ingin ikut membagikan template tersebut ke cerita instagram ku sendiri.
Tapi rasanya tak etis kalau aku sendiri belum 100% paham dan membaca kasus tersebut. Pergilah aku mencari tahu melalui TikTok (karena bagiku untuk memahami sebuah kronologi, TikTok adalah solusinya).
Saat aku sedang mencari tahu segala sesuatu tentang kasus tersebut, muncul notifikasi, temanku menelpon.
“Mut, kau tau nggak, aku gemeter, ini ada jatuh dari gedung lab, baru aja.”
Telepon itu tidak hanya mentransfer informasi saja, tapi juga perasaan gelisah dan gemetar turut sampai kepadaku. Segera aku hubungi semua orang yang sekiranya berada di kampus untuk verifikasi.
Kejadian itu membuat pikiranku campur aduk. Sebagai anak psikologi, aku bingung memikirkan respon ideal apa yang harus aku berikan. Kasus yang sering dianalisis di kelas, kini langsung terjadi di lingkup terdekatku. Kejadian itu juga memvalidasi pemikiranku bahwa manusia makin kesini makin kompleks, dan yang ada di pikirannya semakin padat merayap. Bagaimana tidak? Setiap hari kita dicekoki informasi melimpah dari berbagai penjuru. Apalagi anak muda.
Dulu manusia hanya punya hati dan otak, kini dua hal tersebut punya tepi jurang, yaitu mental. Jika membahas mental, pasti tak jauh dari dulu dan sekarang. Dulu, serapan informasi tidak sebanyak sekarang. Dulu, kalau mau ke kamar mandi, manusia cukup membawa dirinya. Di kamar mandi mereka jongkok sambil memikirkan kira-kira tai berbentuk apa yang akan mereka keluarkan. Sementara sekarang, berak rasanya tidak afdol kalau tanpa membawa HP. Alhasil, bahkan saat di kamar mandi, kita masih mengonsumsi informasi.
Hal itu membuat kompleksitas manusia menjadi lebih besar. Manusia jadi semakin dikerahkan untuk menerima informasi, berpikir, merespon, dan menganalisis emosi-emosi baru dalam dirinya. Tentunya itu menjadi kerja-kerja yang menguras batin dan tenaga. Maka lahirlah, manusia sekarang yang penuh dengan overthinking, insecurities, anxiety, dan masih banyak lagi istilah-istilah batin yang jadi pendatang baru.
Dampaknya tentu tak jauh dari pengalaman yang sudah aku ceritakan di atas, perihal kerentanan mental manusia. Seperti halnya Timothy Anugerah yang meninggal dunia pada Rabu (15/10), setelah melompat dari gedung FISIP Unud Denpasar. Lalu, HPA yang meninggal dunia pada Jum’at (17/10), setelah melompat dari gedung laboratorium UIN Surakarta. Keduanya memiliki persamaan: dipicu oleh kerentanan mental dan berbagai macam faktor psikologis lainnya.
Kejadian-kejadian serupa juga terus menerus terjadi. Melukai diri sendiri, upaya mengakhiri hidup, dan keinginan lenyap dari muka bumi, lagi-lagi hadir karena permasalahan psikologi. Hal ini membuktikan bahwa nyawa seseorang juga dapat melayang bukan hanya perihal sakit fisik, tapi juga sakit mental.
Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, tercatat ada 594 kasus suicide di Indonesia dalam periode 1 Januari-28 Mei 2025 hingga pukul 08.15 WIB. Data ini mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya.
Bertambahlah lagi PR ku sebagai mahasiswa psikologi.
Setelah ribuan pikir, akhirnya aku memutuskan merespon kejadian itu dengan tenang, tanpa penghakiman.
Saat kejadian itu pertama kali masuk ke telingaku, aku mencoba mengarahkan perspektif pada hati, perasaan, dan intuisi. Mematikan logika, sementara. Hasilnya terbukti, aku jadi lebih melihat sekitar dengan tenang, tanpa penghakiman. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti alasan seseorang melompat dan terjun dari sebuah gedung tinggi. Kompleks. Dan tidak bisa dikomentari hanya dari membaca satu headline berita.
Terlebih, setelah membaca tulisan indah karya HPA. Ada satu kalimat yang membuatku menyadari satu amalan senyap yang begitu kuat:
“Yaitu kebutuhan akan kasih sayang dalam percintaan bagi setiap orang memiliki kadar hati yang berbeda-beda.” (Buletin Serambi Kata, Jum’at, 10 Oktober 2025)
Betapa berterimakasihnya aku, karena aku disadarkan lewat tulisannya yang abadi. Secara tidak langsung, kita diingatkan, bahwasannya setiap manusia memiliki kadar kebutuhan kasih sayang dan cinta yang berbeda-beda. Dan itu sejalan dengan kadar ketahanan mental manusia yang beragam pula.
Sejak saat itu aku mulai melihat sekitar dengan amalan paling senyap. Karena sejatinya, tidak ada yang bisa mengkhatamkan keruwetan mental manusia secara mendalam. Jadi, obatnya satu: amalan yang selalu kita gaungkan di titik terdalam jiwa. Yaitu: Cinta.
Penulis: Muti
Editor: Chandra