
Tawangmangu sudah tak asing bagi sebagian besar telinga masyarakat Jawa Tengah. Kecamatan yang masuk Kabupaten Karanganyar ini dikenal memiliki wisata air terjun Grojogan Sewu yang letaknya di bawah kaki Gunung Lawu.
Bangunan-bangunan berdiri tak beraturan diantara ragam tanaman dan pepohonan yang rindang mampu memanjakan mata kami ketika menyusuri kawasan Tawangmangu, tepatnya di daerah Kalisoro. Di antara bangunan-bangunan tersebut tampak salah satu masjid milik Ahmadiyah yang berdiri dalam suasana harmoni dengan masjid-masjid lainnya yang ada di Tawangmangu.
“Dulu sempat ada isu yang mau bakar masjid Mubarak, dari pergerakan luar, namun dari pihak aparat sudah menjamin penjagaannya,” ungkap Ali Muksin (46) mubalig Ahmadiyah Tawangmangu, Karanganyar (31/3).
Cerita yang menegangkan dan penuh intimidasi ini pernah terjadi di tahun 2000. Tetapi, setelah itu tidak ada lagi. Justru, jemaat Ahmadiyah yang menetap di Kalisoro, Tawangmangu, secara umum merasa aman dan tenang, jauh dari tekanan dan kekerasan sebagaimana banyak dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di daerah lainnya.
Aksi Nyata Toleransi
Ali Muksin menggambarkan dinamisnya kerja sama antara Ahmadiyah dengan warga yang bukan Ahmadiyah di kawasan wisata Tawangmangu. Mereka tidak saling mengurusi perbedaan keyakinan. Hal tersebut yang menurut lelaki paruh baya ini memudahkan lembaga sayap Ahmadiyah Humanity First Indonesia (HFI) di Tawangmangu menggelar aksi-aksi sosial-kemanusiaan yang melibatkan warga lainnya.
Mereka menggelar program Clean the City, yaitu kegiatan skala lokal untuk bersih-bersih tempat wisata yang dilakukan setahun sekali yang bertujuan mengedukasi masyarakat untuk menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya. Sejatinya kegiatan ini serentak dilakukan JAI dengan warga lainnya di lebih dari 70 titik di Indonesia, termasuk di Bunderan Kalisoro, Tawangmangu, tempat para wisatawan merayakan malam pergantian tahun.
Selain itu, Jemaat Ahmadiyah Tawangmangu juga berkomitmen dengan aksi donor darah yang biasanya dilakukan tiap 3 bulan sekali. Di tengah-tengah pandemi kegiatan tersebut tetap berjalan meskipun hanya terselenggara 2 kali dalam setahun. Kegiatan donor darah terakhir kali terselenggara pada bulan Februari di masjid Mubarak.
Mubalig yang tinggal di belakang masjid Mubarak ini menuturkan bahwa kehidupan toleransi di Kalisoro ini tercipta berkat kerja sama warga dengan pemerintah lokal yang sama-sama menyadari pentingnya kehidupan yang damai.
“Tawangmangu ini tempat wisata, sumber penghasilan. Jadi jangan sampai ada kerusuhan di dalamnya,” ujar Ali yang melihat upaya serius pemerintah lokal di Tawangmangu dalam menegakkan tanggung jawab mengamankan wilayahnya.
Kesadaran menciptakan kehidupan yang harmonis juga ditonjolkan oleh perempuan-perempuan Ahmadiyah yang berhimpun dalam Lajnah Imaillah, sayap organisasi JAI. Sehingga, kerukunan terjalin dan menguat di setiap kegiatan kemasyarakatan yang diselenggarakan bersama.
Darsi Aisyah yang merupakan istri Ali Muksin turut menyampaikan pada kami, bahwa inisiatif membangun toleransi lewat aksi sosial kemasyarakatan dilakukan perempuan Ahmadiyah dengan memulai dari kegiatan muawwanah, yaitu berkumpul dan bercerita tentang kajian kerohanian.
“Biasanya kita lakukan agar ibu-ibu di sini saling bercerita dan terjaga silaturahimnya, dari situ kita terus berusaha tetap ada kerja bakti bareng ibu-ibu dan bapak-bapak di sini,” tutur perempuan berusia 42 yang aktif di Lajnah Imaillah ini menjelaskan pentingnya kerja bakti sebagai kegiatan rutin yang dilakukan jemaat Ahmadiyah bersama waga lainnya.
SSB adalah Harapan Keberagaman
Salah satu sosok berjasa di kalangan Ahmadiyah Tawangmangu yang sejak awal menggalang kerukunan lewat aksi-aksi bersama di Kalisoro adalah Nashir Sumardi. Generasi awal pemeluk Ahmadiyah di Kalisoro ini bahkan mempunyai visi fundamental yaitu membangun kerja sama dan kerukunan harus ditempuh warga sejak usia anak-anak.
Daerah wisata ini juga menyimpan mimpi dan potensi toleransi lewat kegiatan-kegiatan olahraga. Di Kalisoro yang berjarak sekitar dua kilometer dari pasar dan terminal Tawangmangu terdapat lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola ini menempati lahan berukuran 105×68 meter yang disuguhi pemandangan bukit-bukit hijau dengan udara yang sejuk dan bersih. Suasana tersebut membuat betah warga, apa pun agama atau keyakinannya yang bermain sepak bola atau sekadar olah raga lainnya.
Sayangnya, lapangan sepak bola ini pun terkena dampak pandemi: sepi. Padahal, sekitar tahun 2015 pernah ada Sekolah Sepak Bola (SSB) yang diinisiasi Nashir Sumardi. Kami pun menyambangi tempat tinggal Nashir Sumardi yang tidak jauh dari masjid Mubarak dan rumah mubalig. Rumah Nashir dikelilingi perkebunan miliknya dengan latar hutan dan perbukitan.
Rabu siang itu (31/3) sambil menikmati teh Nashir menceritakan awal mula SSB yang ia bentuk. Awalnya Nashir melihat keadaan anak-anak yang tidak ada fasilitas khusus untuk bermain bola. Mereka hanya sanggup bermain dengan bola plastik ala kadarnya. Keadaan tersebut mengingatkan saat Nashir kecil, berusia 8 tahun, yang mengalami hal yang sama. Tidak punya fasilitas apapun untuk berolahraga atau sekadar bermain.
Namun, tahun 1970-an Nashir ingat betul kalau ia mulai terfasilitasi oleh salah seorang dari Brigade Mobil (Brimob) yang kebetulan sedang latihan khusus di sekitar daerah itu. Nashir kecil kemudian diajak salah seorang dari Korps Brimob kepolisian untuk bermain dan berolahraga dengan 80 anak lainnya.
“Kan, Brimob itu namanya Pak Tarno. Waktu itu saya merasa bersyukur bertemu dengan Pak Tarno akhirnya saya bisa merasakan bagaimana rasanya bermain yang terfasilitasi,” kenang Nashir.
Apa yang diterapkan anggota Brimob pada waktu itu membuat Nashir terinspirasi ingin melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan tidak ingin jika anak-anak di tempatnya tinggal bernasib sama dengannya sewaktu belum diajak Pak Tarno. Maka ia pun membuat SSB.
Setelah Nashir melihat kondisi anak-anak yang tidak terfasilitasi untuk berolah raga secara baik, ia dibantu oleh cucunya untuk mengumpulkan anak-anak yang merasa ingin dan perlu bermain sepak bola yang didukung peralatan yang layak. Terkumpul 30 anak yang punya semangat untuk membentuk SSB. Mereka tidak hanya dari keluarga pemeluk muslim Ahmadiyah.
“Yang terkumpul ini alhamdulillah dari SD, SMP. Bahkan tidak hanya dari keluarga Ahmadiyah saja, tetapi campur semua” tutur Nashir.
Bagi Nashir, ini juga sebagai awal mula toleransi itu muncul dan terbangun melalui olahraga di daerah tempat tinggalnya. Semua anak bisa bermain bersama tanpa melihat latar belakang agama atau keyakinan maupun kelas sosial dan ekonomi mereka.
“Setelah semua anak kumpul, dibuatlah jadwal khusus, yaitu hari Jumat, ba’da jumatan dan Minggu pagi hingga siang,” ujar Nashir.
SSB tersebut terbentuk sekitar tahun 2015. Nashir mengajarkan kepada anak-anak tentang bagaimana bermain sebagai tim dengan baik. Selain Nashir, ada 3 orang Ahmadiyah yang memang ahli di bidang olahraga: Imam, Parmin, dan Dwi. Kebetulan salah satu dari mereka, yaitu Imam, merupakan guru olahraga di SD.
“Biasanya kalau jumatan kan pada semangat. Jadi sekalian aja setelah salat Jumat, anak-anak bermain sepak bola. Sedangkan Minggu kan hari libur, jadi dari pagi sampe Duhur aja,” imbuh Nashir.
Tidak hanya wejangan dan teknis bermain bola saja yang didapatkan anak-anak, Nashir kerap sekali memberikan buah-buahan untuk disantap anak-anak usai bermain. Mereka merasa senang jika diperhatikan dari sisi mereka bermain dan asupan yang dihidangkan. Sehingga semangat anak-anak tidak surut. Karena jika niatnya baik, pasti anak-anak senang.
“Tujuan utama adalah toleransi. Karena sekarang banyak anak yang egois, ternyata toleransi itu terjadi ketika bermain di lapangan. Sayangnya, SSB tersebut sudah vakum 3 tahunan,” ungkap Nashir karena menurutnya pandemi mengharuskan semua pihak juga melakukan jaga jarak.
Nashir pun menceritakan pangkal masalah yang membuat SSB vakum. Seiring berjalannya waktu dalam bermain pasti ada konflik. Mulanya dari desa sebelah tiba-tiba mengajak anak-anak tanding bola. Tanpa persiapan apapun, anak-anak tersebut bermain ala kadarnya. Akhirnya anak-anak kalah yang membuat mereka merasa down dan tidak mau bermain lagi. Kini, Nashir tetap berusaha untuk mengembalikan semangat anak-anak yang dulunya pernah ikut SSB dengan cara door to door.
Nashir berharap SSB kembali hidup agar tidak menyurutkan semangat bermain anak-anak, meskipun pandemi mengharuskan banyak pertimbangan agar kesehatan tetap menjadi tujuan utama tapi keinginannya adalah membangun kerja sama di kalangan anak-anak.
Dengan melihat tekad yang kuat dari Nashir, selaku mubalig Ahmadiyah Tawangmangu Ali Muksin pun ikut mendorong berbagai upaya yang tengah ditempuh kembali oleh seniornya dalam mengembangkan semangat keberagaman di Tawangangu.
Sebab, kerukunan dan sportivitas yang terus diikhtiarkan Nashir agar terpraktikkan di kalangan anak-anak, bahkan sejak dini, harusnya menjadi perhatian semua pihak. Hal itu juga yang menjadi perhatian jemaat Ahmadiyah Tawangmangu agar ke depannya tidak ada lagi ancaman atau intimidasi karena kurangnya perjumpaan-perjumpaan sejak usia anak.
“Saya juga mendukung, apa pun jalan kebaikannya. Saya akan mengusahakannya juga,” tegas Ali.
Penulis : Yuni Firdaus
Editor : Elsa L
Redpel online : Nurul