Ilustrasi oleh vecteezy.com
Sepertinya kita tidak pernah diajari di bangku sekolah bagaimana caranya menyusun argumen berbobot/pertanyaan kritis. Saat sekolah, kita disuruh memahami dan mengambil intisari dari sebuah materi yang secara tidak langsung dituntut untuk mengerjakannya dengan kritis, tetapi malah banyak yang menyontek jawaban temannya. Kita disuruh membentuk forum discussion dengan harapan dapat saling bertukar pikiran dan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sehingga diskusi yang diinginkan berisi “daging”. Akan tetapi, nyatanya diskusinya settingan, si penanya diberi script pertanyaan terlebih dahulu oleh orang yang bertugas melakukan presentasi.
Orang yang punya kemampuan berpikir kritis, biasanya mereka peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, dengan dia mengetahui berbagai fakta maka didapati hubungan antara fakta-fakta yang ada sehingga mucul keingintahuan mengenai hal-hal tersebut secara mendalam. Oleh sebab itu, dia akan mencoba menemukan solusi dari masalah-masalah tersebut.
Shavelson (2010) membagi keterampilan berpikir kritis menjadi tiga komponen yaitu penalaran analitik dan evaluasi, pemecahan masalah, dan argumentasi. Penalaran analitik dan evaluasi termasuk mengenali bagian-bagian penting dari informasi yang kontradiktif, dan memahami kesalahan logis dalam kesimpulan. Keterampilan pemecahan masalah yang merujuk untuk membuat sebuah kesimpulan yang berdasarkan argumen yang logis dan divalidasi. Keterampilan berargumentasi berarti meyakinkan tulisan dan kemampuan untuk membangun argumen yang terorganisir dan logis.
Mahasiswa dituntut untuk berpikir kritis; berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan tingkat tinggi (Higher Order of Thinking Skill) yang harus ditanamkan pada cara berpikir mahasiswa. Dilansir World Economic Forum, Future of Jobs Report 2020, berpikir kritis dan pemecahan masalah secara kompleks menempati urutan teratas dalam daftar keterampilan yang akan semakin berkembang dalam 5 tahun kedepan. Individu yang dapat berpikir secara kritis diyakini memiliki daya saing yang tinggi.
Mahasiswa dilabeli sebagai agen perubahan yang nantinya dapat membawa perbaikan dalam masa depan. Karenanya mahasiswa perlu meningkatkan kualitas diri dengan melatih soft skill mereka. Berpikir kritis termasuk salah satu soft skill yang sangat diperlukan. Di perguruan tinggi, mahasiswa diharuskan berpikir kritis dalam pembelajaran dan praktik-praktik seperti observasi dan pengolahan data di lapangan. Tak hanya disitu saja, mahasiswa juga menjadi wadah aspirasi masyarakat. Karenanya mahasiswa diharapkan oleh masyarakat dapat menganalisa fakta-fakta yang terjadi di kehidupan bernegara dan dapat menyampaikan kritik kepada pemerintah guna terciptanya kondisi masyarakat yang aman dan tenteram.
Di dalam kelas, pertanyaan kritis selalu dihindari. Padahal menurut pandangan saya, proses berpikir kritis dimulai dari mendapatkan pertanyaan kritis yang perlu ditemukan solusinya. Banyak mahasiswa yang menganggap pertanyaan kritis semacam hubungan sebab akibat, bagaimana hal itu terjadi, dan sebagainya merupakan pertanyaan yang sulit dan memberatkan, tetapi jika kita mau belajar menganalisis fakta dan mencetuskan pendapat, hal itu akan membuat kita terbiasa melihat suatu hal dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Memang, orang yang berpikir kritis cenderung suka mengkritisi segala hal, termasuk hal sepele sekalipun. Saya akui itu cukup menyebalkan. Namun, saya lebih merasa iri kepada orang-orang tersebut, mereka menyampaikan argumen dan menata gagasannya dengan rapi serta mampu mempertahankan pendapatnya.
Perihal mengajukan pertanyaan ketika temannya sedang bertugas presentasi, menurut saya hal tersebut adalah satu kesempatan karena bisa menjadi langkah awal membentuk pemikiran yang kritis. Dengan dilontarkannya pertanyaan kritis yang memerlukan usaha lebih untuk memecahkannya, hal itu bisa membiasakan kita untuk menganalisis fakta dan menyimpulkannya menjadi sebuah argumen.
Lalu bagaimana melatih kemampuan berpikir kritis?
Biasakan untuk tidak merasa puas terhadap satu fakta. Hal ini dapat menghindari kita dari bias atau sikap langsung percaya pada fakta tersebut. Mempertimbangkan segala aspek yang diperlukan dari perspektif yang lebih luas membantu dalam menemukan solusi terbaik.
Menyimak diskusi tidak hanya sekadar mendengar, perlu adanya tukar pendapat yang dapat membangun interaksi yang dinamis dan saling memahami perspektif dari masing-masing individu.
Berpikir secara objektif terhadap informasi baru meskipun telah memiliki pengetahuan sebelumnya tentang suatu hal. Selain itu, perlu adanya sikap menerima ide, pendapat dan pandangan yang berbeda-beda; tidak harus langsung setuju dengan pendapat-pendapat tersebut. Namun, menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan yang tepat demi kebutuhan bersama. Dengan demikian kita bisa menjadi orang yang berpikiran terbuka (open-minded).
Penulis: Hanung
Editor: Aqil