sumber ilustrasi : freepict.com
Bagaimana Anda memahami jalan dari cara kerja kehidupan dunia ini? Adakah Anda menggunakan sudut pandang takdir, sehingga seolah-olah memang demikianlah kehidupan ini mempertunjukkan adegan-adegan serunya tanpa kreasi pikiran-pikiran maupun libido kepentingan manusia? Atau, Anda melihatnya dengan perspektif cara kerja Machiavellian? Atau, Homo Homini Lupus? Atau, sebagai gerak ”gen egois” warisan pertumbuhan evolutif makhluk hidup yang terus-menerus ingin menang dan saling mengalahkan yang lain? Atau, sebuah perjuangan hidup tak ada habisnya demi menuju kebahagiaan paling tinggi?
Satu hal yang mesti dipahami, dalam diberlangsungkannya cara kerja kehidupan abad ini, ada aturan main yang sudah disistemkan yang dinamai dengan: libidonomics. Sebuah aturan main dimana hasrat Anda, peta gerak keinginan Anda dan pola-pola pilihan kebahagiaan Anda diatur sedemikian rupa baik oleh industri kapitalisme jahat, industri hiburan, logika media sosial, iklan-iklan, dan sekaligus oleh makhluk baru Bernama ‘algoritma’. Anda kemudian hanya menjadi bagian dari pelengkap penderitaan masyarakat global sebagai benar-benar “konsumen tidak berdaya”.
Demokrasi, moralitas, toleransi, masyarakat tanpa kelas, sampai pada cita-cita luhur mewujudkan bentuk keadilan sosial bagi seluruh insan, pada akhirnya hanya tinggal menjadi lamunan tanpa impian. ”Feodalisme” tentulah masih menjadi menu makan yang sering kita beli dan konsumsi, serta jangan sampai habis diproduksi. Adalah sebuah posisi berkuasa dan mendapatkan banyak laba-laba yang sifatnya individual maupun golongan.
Kita mungkin harus memaknai ulang, realitas kehidupan hari ini sebagai sebuah rekayasa semata, sambil kembali membaca ulang buku 1984 milik Orwell, yang memberikan prediksi betapa mengerikannya masa depan kehidupan yang sedang kita jalani ini, di bawah rezim penghisap darah sesama manusia. Penindasan, manipulasi, kriminalisasi, kejahatan informasi, dll, adalah makanan cepat saji manusia-manusia malang. Kata Orwell, ”If you want a picture of the future, imagine a boot stamping on a human face — forever.” (Jika Anda ingin melihat gambaran tentang masa depan, bayangkanlah sebuah sepatu yang menginjak wajah manusia – selamanya.) Karena itu, martabat diri menjadi sesuatu yang benar-benar harus direndahkan di bawah kaki-kaki kekuasaan.
Selain itu, kita harus melengkapi pemahaman untuk melihat betapa jahatnya pilih-memilih ini diatur dalam buku Blur-nya Bill Kovach and Tom Rosenstiel. Anda akan melihat betapa mengerikannya dunia dengan segala banjir informasinya, dimana hari ini sedang tenggelam didalamnya. Kata kuncinya adalah: filter bubble. Terbuka sedikit saja lubang pikiran Anda, saat itu juga buih-buih informasi yang sebenarnya tidak Anda butuhkan dan membingunkan masuk ke dalam bilik kesadaran. Sehingga di tengah banjir informasi tersebut, kebanyakan dari kita hanya menjadi pelengkap penderitaan, sedangkan sebagian yang lain menarik diri sejauh-jauhnya (sebuah tindakan yang tak lebih sia-sianya!). Sepenuh-penuhnya kita hanyalah ’konsumsen tak berdaya’ yang dikendalikan oleh makhluk: informasi. Satu buku penting lagi, Politik Jatah Preman karya Ian Douglas Wilson. Anda akan tahu betapa lebih mengerikannya realitas kehidupan yang sebenar-benarnya dijalan di tanah tempat kita hari ini hidup.
Soal realitas sendiri, tidak ada realitas yang murni. Semua realitas hampir seluruhnya: bikinan. Kahneman pernah menulis begini, ”dunia ini tidak masuk akal seperti yang Anda pikirkan. Koherensi (masuk akal tidaknya) sebagian besar berasal dari cara kerja pikiran Anda.” Dari situ saya ingin bilang begini, realitas itu adalah produk pikiran manusia, (karenanya: ia hanya ada di dalam pikiran manusia dan tidak ada di tempat lain). Pertanyaannya kemudian, produk pikiran manusia yang mana ini, yang sedang dijalankan? Pikiran rakyatkah? Memang sejak kapan rakyat diperbolehkan punya pikiran?
Saya jadi teringat Shakespeare tentang drama tragedinya, Macbeth, dalam versi terjemahan bahasa Indonesianya, di sampulnya terdapat kutipan tulisan “keadilan itu busuk, dan kebusukan itu adil”. Dalam drama tersebut Macbeth adalah seorang panglima yang berhasil menjadi Raja setelah mengalahkan kekuasaan Duncan. Singkat cerita, akibat ambisinya terhadap kekuasaan akhirnya menghancurkan citranya sebagai pahlawan. Ya, karakterisasi Macbeth, ditampilkan Shakespeare, untuk mencerminkan perubahan drastis dari seorang pahlawan yang menjadi seorang tiran karena terobsesi oleh kekuasaan. Di semesta kehidupan seperti itulah kita ini hidup sedangkan di dalam “waktu” manusia berharap. Padahal menurut Chairil Anwar, kita ini ”… tidak tahu apa nasib waktu!”.
”Out, out, brief candle! Life’s but a walking shadow, a poor player that struts and frets his hour upon the stage and then is heard no more,” ujar Macbeth, dalam monolognya tentang kehidupan dan artinya yang sementara. Silahkan diterjemahkan dan interpretasi sendiri.
Agaknya sudah cukuplah kita ini diperas dan dibodohi terus-menerus oleh siapa itu yang berada di sana. Kita semua ini geram. Sebagai rakyat, kita ini muak dan ingin bersikap. Paling tidak kita ini sama-sama ingin berteriak, berkata dan menuding ke siapa itu. “Heii, bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, (Mas-mas penguasa) … tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya. Kami ini, orang rendahan ini boleh jatuh seribu kali, tapi kami selalu berdiri lagi. Kami ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari.” (Pram, Gadis Pantai).
Fanatisme, absolutisme, dan beberapa hal tidak efektif lainnya dalam hal berpikir memang menjadi Iblis paling mengerikan dalam laju sejarah kehidupan manusia. Manusia hanya akan membangun basis pengetahuan dalam otaknya dengan mengikuti apa yang paling menyenangkan dan memberikan manfaat lebih bagi dirinya. Begitulah warisan dari gen otak evolutif manusia, sejak zaman purba. Beberapa saintis menjelaskan pula hal ini, Anda bisa mempelajari Dawkins maupun Harris. Ada satu kutipan penting dari bukunya The End of Faith, Harris menuliskan begini: “Satu-satunya malaikat yang perlu kita panggil adalah mereka yang memiliki sifat yang lebih baik: akal sehat, kejujuran, dan cinta. Satu-satunya setan yang harus kita takuti adalah setan yang mengintai di dalam setiap pikiran manusia: kebodohan, kebencian, keserakahan, dan keyakinan buta, yang tentunya merupakan karya agung Iblis.”
Manusia dalam sejarah kehidupan berlangsung sebagain besar adalah representasi dari sosok Iblis, karenanya ia mewarisi “gen egois” dalam dirinya. Sekaligus ini juga menjadi penjelasan dasar ketika manusia harus menanggung beban dosa dalam hidupnya di dunia. Ia akan mendapati rayuan-rayuan, digoda,oleh Iblis) kemudian sampailah ia kepada dosa-dosanya lewat kejahatan-kejahatan yang dilakukannya. Kemudian kejahatan, juga dosa itu sendiri, mengalami keluasan analisa dan menjadi objek khusus dalam dunia sains (neurosains) dan teologis (teodisi). Diskursus kemudian terjadi, sampai hari ini, belum selesai, dan tak akan pernah selesai.
Tetapi terlepas bahwa manusia merupakan representasi dari Iblis yang berkreasi, saya jadi teringat kalimat penting dalam Divine Comedy-nya Dante, yang menggambarkan perjalanan hidup dari manusia itu sendiri. Dalam bagian ‘Inferno’ (bab yang menceritakan fase perjalanan Dante di neraka, tempat dimana ia diperlihatkan dgn kondisi manusia yang harus menanggung resiko dosa-dosanya). Kutipannya begini: ”Di pertengahan perjalanan hidupku, aku mendapati diriku seorang diri di tengah hutan yang gelap, dimana aku telah kehilangan jalan yang terang.” Dengan demikian, manusia harus menanggung resiko kegelapannya sendiri di ‘Inferno’. Sebelum nanti ia bisa melanjutkan perjalanannya ke ‘Purgatorio’, sampai akhirnya bisa jalan-jalan ke ‘Paradiso’ untuk melihat dan bertemu orang-orang yang suci di surga.
Karena itu, untuk Gamcsi, saya ingin menuliskan pesan kepada Anda, “maafkan kami semua,” mewakili mereka-mereka yang malah berkhianat. “Meskipun sudah Anda tuliskan beberapa prinsip dan etika intelektual yang mesti kami jalankan untuk membawa perubahan melawan tirani kekuasaan kaum atas. Tetapi, ternyata hidup di penjara adalah pilihan yang nikmat dan membahagiakan. Sebab itulah, kami semua lebih memilih memenjarakan diri dalam ilusi kebebasan dan hidup dalam apa yang kami sebut-sebut sebagai kesejahteraan diri. Kami sebenarnya adalah Iblis yang menghias diri layaknya Malaikat Agung.”
Mari kita tunggu, siapa yang akan menang? Sudah waktunya ditentukan, bukan?
Penulis: Ahmad Miftahudin Thohari
Editor: Elsa Lailatul Marfu’ah