Tahukah kamu, di kota solo terdapat sebuah masjid dan gereja yang berdiri berdampingan dan hanya dipisahkan oleh sebuah tembok yang sisinya saling menyatu sama lain. Ialah Masjid Al – Hikmah dan Gereja Kristen Jawa Joyodiningrat yang terletak Jl. Gatot Subroto No.222, Kratonan, Kec. Serengan, Kota Surakarta.
Berdasarkan cerita sejarahnya, Gereja Kristen Jawa (GKJ) memang dibangun lebih dulu daripada masjid Al – Hikmah, Gereja itu dibangun pada tahun 1939 di atas tanah yang dibeli dari seorang muslim. Orang tersebut kemudian membuat perjanjian dengan jemaat gereja bahwasannya ia juga akan mendirikan sebuah musholla yang nantinya akan diperbesar menjadi sebuah masjid di sebelah gereja tersebut. Kedua belah pihak pun saling menyetujui satu sama lain, karena memang pada zaman dahulu tidak ada peraturan yang mengikat seperti sekarang, ketika dahulu meminta izin dengan pemerintah pun dipersilahkan.
Simbol kerukunan itu dilambangkan dengan sebuah prasasti tugu lilin yang dibangun tepat diantara kedua bangunan ini. “Tugu itu didirikan atas dasar kebersamaan oleh kedua belah pihak antara masjid dan gereja. Bahwa sesungguhnya, sangat penting sebuah monumen berbentuk tugu yang intinya akan selalu melambangkan kerukunan” kata Muhammad Nasir Abu Bakar, ketua takmir Masjid Al Hikmah.
Gereja dan Masjid yang berdiri berdampingan ini merupakan saksi bisu perwujudan sikap tenggang rasa dan saling bertoleransi antar kedua belah pihak, dan dijaga kuat oleh pemimpin dan para jamaatnya sampai sekarang. Sikap toleransi itu bisa dilihat ketika tiba hari – hari besar keagamaan, saat Idul Adha tahun ini contohnya, Idul Adha tahun ini jatuh tepat ketika pihak Gereja akan melaksanakan kebaktian pagi, pihak Gereja pun dengan senang hari memundurkan jadwal kebaktian paginya. Mereka lebih mengedepankan sikap bertenggang rasa dan hidup rukun antar umat beragama.
“Majelis memutuskan meniadakan ibadah Kebaktian Pagi yang dimulai pukul 06.30 WIB,” kata Beritha, untuk menghormati saudara umat Islam yang melaksanakan Shalat Id dengan memanfaatkan jalan di depan gereja dan masjid. “Selain meniadakan ibadah pagi, kami juga mengundurkan jadwal ibadah kedua yang biasanya pukul 08.30 menjadi pukul 09.00 WIB,” katanya.
Begitu pula dengan pihak Masjid, pernah suatu ketika perayaan Hari Natal jatuh bertepatan dengan Peringatan Maulid Nabi, maka atas keputusan pengurus masjid karena mengutamakan sikap toleransi, pengurus masjid memajukan jadwal pengajian untuk memperingati Maulid Nabi tersebut. Ketika umat kristen sedang melakukan ibadah pun pihak masjid dengan suka rela mengecilkan volume speaker masjidnya.
Hal tersebut merupakan contoh bagi masyarakat di luar sana tentang indahnya menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama, hidup berdampingan, dan saling menolong satu sama lain, dengan begitu kehidupan akan terasa jauh lebih ringan dan menyenangkan karena saling menghormati dan menolong satu sama lain.
Penulis: Hasna,dkk