
Judul : Perempuan di Titik NOL
Penulis : Nawal El – Saadawi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Isi : 176 hlm; 11 x 17 cm
Cetakan : kedua puluh, Februari 2025
ISBN : 978-602-433-438-3
“Manifestasi Perjuangan Perempuan Melawan Patriarki”
Di awal saya membaca novel Perempuan di Titik Nol, saya tidak menyangka bahwa buku setipis itu menceritakan kisah yang menyimpan banyak pelajaran kehidupan. Sebagai pembaca, saya berkali-kali seperti ditampar oleh kisah ini. Banyak realitas yang sering kali kita abaikan tentang keras dan sulitnya hidup sebagai perempuan di tengah budaya patriarki dan ketidakadilan ini.
Sejak awal, kita langsung di ajak masuk ke dunia Firdaus, seorang perempuan yang kisah hidupnya penuh penderitaan, ketidakadilan, dan perlawanan. Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman Nawal El Saadawi saat bekerja menjadi psikiater di penjara perempuan di Mesir. Di sanalah ia bertemu narapidana yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang pria. Dari situlah lahir sosok Firdaus yang bukan hanya karakter fiksi, melainkan simbol dari jutaan perempuan yang mengalami hal serupa.
Pada mulanya, saya merasa kesal dan marah karena Firdaus sejak kecil harus hidup dalam kemiskinan. Tidak berhenti disitu, Firdaus pun mengalami pelecehan dari orang-orang terdekat, dan terus-menerus disakiti oleh laki-laki yang seharusnya melindunginya. Sedihnya, setiap ia mencoba bangkit melalui pendidikan, pekerjaan, bahkan prostitusi selalu ada kejadian yang menjatuhkannya lagi. Tapi di sisi lain dari semua kejadian itu, saya merasa kagum pada Firdaus, karena ia bukan perempuan yang tidak tinggal diam. Dia berpikir, merasa, dan memilih untuk melawan, meskipun harga yang harus dibayar adalah nyawanya sendiri.
Nawal menceritakan novel ini dengan bahasa yang sangat jelas dan frontal. Itu pula yang membuat pembaca dapat menangkap pesan pada buku ini dengan tepat. Saat membaca saya sempat berpikir, “Kenapa Firdaus harus sampai di titik dimana lebih baik merdeka dalam kematian daripada hidup dalam ketidakadilan?”. Kenapa sistem budaya, agama, dan hukum kita justru memperkuat ketidakadilan itu?
Bukan sekadar tentang patriarki, novel ini juga membahas isu-isu lainnya; seksualitas, kemiskinan, kekuasaan, dan pendidikan. Firdaus yang sempat mengenyam pendidikan hingga lulus sekolah menengah atas, tetap mendapat ketidakadilan. Bahkan berpendidikan sekalipun tidak menjamin kesejahteraan sebagai perempuan. Karena pendidikan tanpa keadilan sosial tidak cukup untuk menyelamatkan perempuan miskin yang hidup dalam sistem menindas.
Meskipun berlatar belakang tahun 80-an, saya merasa kisah ini masih sangat relevan dengan keadaan yang kita alami sekarang, termasuk di Indonesia sendiri. Saya hidup dan tumbuh besar melihat banyaknya perempuan yang masih belum punya kontrol penuh atas hidupnya sendiri, yang masih dianggap ‘lebih rendah’. Apakah karena perempuan, kami tidak layak mendapatkan pendidikan yang tinggi dan mengejar cita-cita? Hanya karena perempuan, tugas dapur dan rumah menjadi tanggung jawab utama dengan melupakan mimpi-mimpi kami? Dan novel ini jadi pengingat keras bahwa perjuangan menuju keadilan gender belum selesai.
Perempuan di Titik Nol bukan novel yang nyaman untuk dibaca, tapi justru saya rasa semua orang harus membacanya. Bukan untuk merasa kasihan pada kisah Firdaus, melainkan untuk belajar mendengar suara-suara yang selama ini terbungkam. Untuk mengetahui bahwa di balik banyak kasus kekerasan, ada korban yang tidak hanya diam melainkan memilih untuk terus berjuang dan melawan ketidakadilan itu.
Novel ini membuat saya akan selalu mengingat bahwa dalam hidup, kita pasti mengalami masalah dan kesulitan. Namun, bagaimana kita melalui semua itu tidak cukup dengan menerima dan diam, melainkan harus terus bergerak dan memperjuangkan kehidupan, serta keadilan kita. Karena hidup adil dan sejahtera adalah hak setiap orang yang lahir ke dunia ini. Jadi, sudah sejauh apa kita berjuang?
Peresensi : Nyimas Syifa
Editor : Alfida Nuril