Mengupas Kinerja Bidang Kemahasiswaan: Peringatan Hari Santri jadi Proyekan Otoriter Kampus

  • By locus
  • Oktober 31, 2025
  • 0
  • 175 Views

Dokumentasi pribadi oleh locus

 

Iku besok banget?? mulai dipersiapkan malam ini sampai besok, matane.” Begitulah bubble chat WhatsApp yang ku lontarkan di grup internal LPM LOCUS setelah pemimpin umum kami memberikan sebuah info dadakan. Malam itu, pukul 21.08 WIB, pesan masuk yang berisi perintah agar kami segera menyiapkan konsep stand LPM LOCUS pada acara Festival Organisasi Mahasiswa yang digelar esok hari. 

Katanya, kegiatan itu merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri Nasional. 

Sedangkal pengetahuanku, Hari Santri Nasional adalah waktu dimana kita mengenang dan menghormati perjuangan para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan kala itu, muncul pertanyaan dalam benakku, “Peringatan Hari Santri kok ada stand UKM/UKK segala, memangnya kami representasi santri?”

Meskipun hatiku berisik, aku tetap mengikuti arahan di grup. Besoknya, datanglah aku dengan beberapa anggota yang lain ke tempat stand didirikan.

Hujan, Tenda Kosong, dan Halaman yang Sepi

Pagi berikutnya, hujan deras mengguyur halaman Gedung SBSN UIN Raden Mas Said Surakarta. Butiran air terus menetes dari langit, bersamaan dengannya awan tebal bergumul di atas kepala, hingga butiran airnya berhimpun menjadi genangan-genangan. Sementara itu, mataku tertuju pada deretan stand putih yang berdiri diam. Tak ada keramaian, tak ada riuh mahasiswa yang biasanya memenuhi lapangan setiap kali kampus menggelar acara besar. Yang ada hanya beberapa kawan UKM dan UKK yang bersiap mengisi stand milik mereka.

Bersiaplah aku, menjejerkan majalah, buletin, dan buku-buku lain. Kemudian aku mendengar celetuk salah seorang tak jauh dari tempatku bersiap, “acara opo ngene ki, terus bar ngedekne stand ameh ngopo?”. Dengan pribadiku yang sok kenal sok dekat ini, mendekatlah aku, ikut ngerumpiin rektorat bersama dia, panggil saja Gareng.

Hingga aku dapatkan kabar, bahwasannya acara ini tidak selesai di satu hari saja, tetapi masih ada hari esok. Dan Gareng bilang, tadi pagi, di tempat yang sama, di panggung yang sama, juga ada acara internasional. “Buset, internasional banget nih,” gumamku. Acara yang dimaksud adalah International Cultural Presentation atau ICP. Ternyata padat juga acara dadakan yang diinisiasi rektorat kali ini, “duitnya pasti banyak,” imbuhnya.

Namun dibalik agenda padat itu, muncul pertanyaan besar dari aku dan Gareng, benarkah ini peringatan Hari Santri, atau justru proyek kampus?

Hari Santri yang Kehilangan Identitas

Kalau dipikir, sebagai kampus Islam, UIN Surakarta tentu sudah semestinya membuat agenda tahunan peringatan Hari Santri. Namun, kali ini euforia Hari Santri dijejali oleh acara-acara yang justru nggak ada sangkut pautnya sama santri. Kampus malah memasukkan kegiatan internasional, festival organisasi internal, ibarat kata peringatan Hari Santri kali ini seperti makan martabak manis pakai nasi, nggak nyambung.

Peringatan Hari Santri jadi kehilangan identitasnya, sebab ia diapit oleh berbagai macam kegiatan. Peringatan ini jadi ambigu. Kalau tidak buang-buang uang, peringatan ini cuma naikin citra kampus.

Bicara soal citra, pikiranku jadi mengingat-ngingat feeds official instagram UIN Surakarta yang makin hari makin gacor. Feeds nya aja yang gacor. Sambil menjaga stand yang tidak ada pengunjungnya itu, inisiatif lah aku membuka instagram @uin.surakarta. Semakin aku stalking, semakin terlihat upaya bangun-membangun citra kampus internasional yang dilakukan UIN Surakarta akhir-akhir ini. Apalagi setelah menyabet Anugerah Penghargaan Rekor Muri Perguruan Tinggi Keagamaan dengan Pendaftar Mahasiswa Baru Terbanyak dari Mancanegara. Brandingan di instagram dan media sosial lainnya juga sangat kentara, semua diupayakan kampus untuk citra. Salah satunya ya ICP yang Gareng bilang itu.

Karena penasaran, aku beranjak dari duduk dan HP ku yang masih membuka akun instagram UIN. Mendekatlah lagi aku ke salah satu temanku yang kebetulan tahu betul tentang ICP, bertanyalah aku padanya, panggil temanku yang ini Petruk. Dengan penuh energi, berceritalah Petruk tentang asal muasal ICP.

ICP: Dari Mahasiswa untuk Kampus

Ternyata, ICP adalah kegiatan yang diadopsi dari mahasiswa prodi Sastra Inggris. Yang awalnya bertajuk “Infest”, kemudian direformasi oleh rektorat menjadi ICP. Dengan sendirinya, bagian Kemahasiswaan melaksanakan ICP tanpa partisipasi mahasiswa sastra inggris.

“Tiba-tiba eventnya diurus sama kemahasiswaan sendiri mereka bilang gitu, eventnya jadi event kemahasiswaan sendiri, sama PHI (Pusat Hubungan Internasional) gitu,” jelas Petruk yang juga merupakan mahasiswa sastra inggris. Ia juga mengungkap bahwa resep dan konsep kegiatan ICP telah matang, lalu dipungut dan direbut oleh kemahasiswaan.

Ironisnya, acara yang diambil alih itu pun berlangsung dengan terburu-buru, mendadak, dan tanpa persiapan yang matang. Buktinya, akun instagram UIN saja baru menyebarkan informasi kegiatan H-1, malam hari lagi. Tentunya ini buat satu pertanyaan muncul lagi di benakku, “mengapa rektorat tergopoh-gopoh menyelenggarakan event internasional dengan persiapan ala kadarnya ditengah peringatan Hari Santri?”

Koordinasi Kacau dan Agenda Tanpa Arah

Apa yang terjadi dilapangan sungguh tidak ideal untuk disebut menjadi sebuah kegiatan kampus. Pengumuman kegiatan yang mendadak, lokasi yang tidak strategis, ditambah musim penghujan. Alhasil, stand yang didirikan tidak ada yang mampir, penampilan tidak ada yang nonton. Lantas apa yang sebenarnya diburu oleh pihak kampus?

Karena ya pemetaan e kui wes ora masuk, dempetan karo parkiran, lalu lalang keramaian lah, gak masuk gak bisa mencari momen, jadi kesane alah iki dinggo LPJ-an ning kemenag, ya kesannya seperti itu,” kekecewaan yang diungkap salah satu anggota UKM dan UKK.

Kegiatan yang muncul atas inisiasi pihak tertinggi kampus seharusnya memiliki sasaran, tujuan, dan dampak yang jelas. Namun, ironisnya, sekelas bidang kemahasiswaan seolah belum bisa mewujudkan eksekusi event apik, yang terlahir justru event asal-asalan. Ibarat pepatah yang berbalik makna: bukan kegiatan penting, tapi yang penting ada kegiatan.

Semakin dipikir, semakin banyak hal hal yang nggak masuk akal disini. Dan ternyata, bukan hanya aku yang bingung. Momen ini memunculkan keresahan dan membuat jengkel rekan-rekan mahasiswa dan beberapa pengurus Organisasi Mahasiswa. 

“…untuk dari koordinasinya, konsepannya, ya memang kita masih abu abu banget dan kita baru tau konsepnya terkait gimana perjalanannya, teman-teman bisa membuat fiksasi rundown dll, itu emang baru tahu informasi lengkapnya itu di hari senin siang, kita bertemu dengan bagian kemahasiswaan, dan kita baru bisa buat rundown itu malam, jam 12 baru kita kirim,” keluh kesah Shaka selaku koordinator paguyuban UKM yang mau tidak mau juga menjadi koordinator pelaksana kegiatan Festival Organisasi Mahasiswa.

UKM dan UKK yang secara legalitas berada di bawah Kemahasiswaan, tidak bisa berkutik. Mereka bilang, mau tidak mau, bisa tidak bisa, harus menuruti apa yang diperintahkan oleh pihak kemahasiswaan. Tanpa memandang bulu, tanpa mendengar dulu, rektorat dengan tegas ingin UKM dan UKK berpartisipasi dalam kegiatan ini.

…kita sadar, tapi kita mulai (menolak) tidak bisa, kita tetap pentas karena kita ngregani paguyuban, atas nama paguyuban,” jelas Jamal (bukan nama asli), salah satu pengurus UKM dan UKK yang dengan gamblang menjelaskan keresahannya.

Pada akhirnya Festival Organisasi Mahasiswa tetap terlaksana dengan partisipasi UKM, UKK, dan Ormawa yang apa adanya.

Membuka Luka Lama

Belum cukup dengan kekacauan koordinasi, rekan-rekan UKM dan UKK seperti diajak kembali membuka luka lama. Rektorat meminta mereka untuk berpartisipasi pada kegiatan ini dengan tuntunan ‘seperti UKM Fire’. Padahal, pada kegiatan UKM Fire sebelumnya, rektorat mengimbaskan efisiensi 100% yang membuat rekan-rekan UKM dan UKK kalang kabut.

Katanya cuma seperti UKM FIRE aja, kita cuma tampil, tapi kan tampil juga butuh konsep, nah itu kan juga ga butuh waktu yang singkat,” ucap Shaka.

Bayangkan saja, setelah beberapa bulan yang lalu memendam kecewa dan luka, kini kami dituntut untuk unjuk diri atas nama kemahasiswaan. Ditambah dengan persiapan yang mendadak, sasaran yang tidak jelas, tentunya hal itu membuat kawan-kawan UKM dan UKK runyam. Hingga di detik-detik terakhir, kami menggunakan kepanitian UKM Fire beserta konsepnya untuk memenuhi hasrat kemahasiswaan.

Panggung Kosong yang Bersuara

Hujan sore itu perlahan reda. Namun di balik genangan air di halaman SBSN, tersisa pantulan cahaya dari panggung yang padam, seolah menjadi simbol dari semangat kemahasiswaan yang kian meredup. 

Dua hari penuh acara telah berlalu, tapi pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung di udara: 

Untuk siapa semua kegiatan ini sebenarnya diselenggarakan? Untuk mahasiswa, atau untuk citra?

 

Penulis: Muti

Reporter: Abril, Syifa, Shafira, Satria

Editor: Chandra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.