Dokumentasi oleh: Locus
Surakarta, 22 April 2025 — Suasana kebersamaan kembali dihidupkan oleh Rumah Banjarsari lewat gelaran nonton bareng (nonbar) ala layar tancap, pada Selasa malam mulai pukul 19.30 WIB . Acara kali ini mengangkat tema “Diskusi Film dan Teater” yang menghadirkan sutradara Iwan Burnani Toni sebagai narasumber utama.
Film yang diputar berjudul “Bunga Semerah Darah” yang diadaptasi dari naskah legendaris karya W.S. Rendra. Melalui layar sederhana yang dipasang di ruang terbuka, penonton diajak menyelami kisah perjuangan masyarakat dalam menghadapi tekanan ekonomi dan sosial tema yang masih relevan hingga hari ini.
Sutradara film Bunga Semerah Darah, Iwan Burnani Toni, menjelaskan bahwa film yang diputar malam itu merupakan adaptasi dari naskah W.S. Rendra dengan pendekatan yang lebih puitis.
Dalam proses kreatifnya, Iwan bersama tim merombak latar cerita dari era 1950–1960-an ke masa pandemi COVID-19. Pergeseran ini juga disesuaikan pada aspek tema kesehatan, di mana penyakit TBC (Tuberkulosis) dalam naskah asli diganti menjadi COVID-19, sebagai bentuk penyesuaian dengan realitas yang lebih dekat dengan masyarakat saat ini.
“Bunga Semerah Darah, bunga yang hanya tumbuh dengan air mata. Itu perumpamaan puitis yang menumbuhkan luka,” ujar Iwan dalam sesi diskusi yang berlangsung setelah pemutaran film.
Ia juga menyampaikan bahwa setiap penonton bebas menafsirkan makna film dari sudut pandangnya masing-masing.
Dalam sebuah wawancara singkat, Bu Nanik—seorang penonton dari Triyagan, Sukoharjo—berbagi pandangannya setelah menyaksikan pertunjukan Bunga Semerah Darah, yang menggabungkan unsur film dan teater.
Menurut Bu Nanik, pertunjukan tersebut menyajikan konsep menarik dengan menggabungkan film dan teater, namun eksekusinya belum sepenuhnya menyatu. Ia merasa bahwa adegan-adegan yang ditampilkan, khususnya antara karakter Ibu Mirah dan Ali terasa terpisah antara medium film dan panggung. “Sebetulnya agak nggak nyambung sih,” ujar Bu Nanik. Meskipun begitu, ia tetap bisa mengikuti ceritanya karena sudah menyimaknya sejak awal.
“Tapi karena dari awal saya mengikuti ceritanya jadi ya kita sambungkan saja.”tuturnya.
Ketika ditanya apakah ada adegan yang berkesan, Bu Nanik menyoroti bahwa adegan-adegan yang diambil dari isu sosial terasa seperti disajikan dalam dua dunia berbeda, satu di panggung teater dan satu lagi keadaan real di masyarakat. Hal ini membuatnya merasa alur cerita masih belum menyatu secara emosional atau belum memiliki chemistry yang kuat.
“yaa … saya menangkapnya seperti itu, jadi ini adegan di real masyarakat ini di panggung.” ucap perempuan berkacamata tersebut.
Bu Nanik juga menyinggung tentang pesan cerita yang berkaitan dengan masa pandemi COVID-19. Ia merasa bahwa nuansa mencekam dari masa itu tidak tergambarkan secara utuh dan hanya muncul sekilas lewat dialog dan kurang menyeluruh.
“Saya nangkepnya itu Covid hanya dari dialog ya, dari dialognya ada. Karena seperti saya
kan mengalami kita mengalami itu se mencekam apa, nah disitu nggak keliatan jadi biasa saja” terangnya.
Meski demikian, ia menilai bahwa pertunjukan ini masih layak ditonton oleh semua kalangan, baik generasi muda maupun yang lebih tua. Bu Nanik menutup komentarnya dengan pesan sederhana namun bermakna, “Yang paling penting itu jaga kesehatan, ya.”
Sementara itu Pak Anim, selaku peserta diskusi juga turut mengungkapkan bahwa suasana yang ia rasakan di studio film terasa lebih adem dan jauh dari penonton, sedangkan di teater kedekatannya dengan penonton memberi kesan yang lebih intens dan nyata. Meskipun kedua media ini memiliki perbedaan teknis, Pak Anim merasa bahwa keduanya memiliki substansi yang sangat mirip, terutama dalam hal karakter, teknik akting, dan setting yang digunakan.
Dia juga menyebutkan perhatian khusus pada konsep set yang digunakan dalam pertunjukan teater. Menurutnya, ruang teater yang sengaja “dibocorkan” untuk menunjukkan bahwa penonton benar-benar berada dalam gedung teater memberi kesan lebih hidup. Bagi Pak Anim, aspek sosiologis dalam penataan set sangat penting untuk menciptakan suasana yang mendalam.
Tak hanya itu, Pak Anim juga mengungkapkan pertanyaan mengenai bunga semerah darah yang muncul mendadak dalam cerita. Bagi dirinya, bunga ini bisa memiliki makna yang lebih dalam, mungkin terkait dengan kepercayaan batiniah yang menunjukkan kekuatan atau perjuangan dalam hidup, seperti yang dirasakan oleh karakter dalam cerita.
Diskusi yang berlangsung setelah pemutaran film memberikan berbagai perspektif menarik dari para penonton mengenai perbedaan antara film dan teater, serta bagaimana elemen simbolis dalam cerita dapat memberikan makna yang lebih dalam. Meskipun ada beragam penilaian tentang eksekusi pertunjukan, acara ini berhasil membuka ruang dialog tentang karya seni yang menggabungkan dua medium berbeda, serta relevansinya dengan situasi sosial dan pandemi saat ini.
Penulis: Alfida, Nayla, Innong
Reporter: Alfi, Ray, Innong, Nayla, Alfida
Editor: Abril