Memang hidup itu seperti halnya yang dianalogikan dengan filosofi cokro manggilingan, suatu yang tidak saja bulat tapi lebih ke melingkar. Yang berputar terus menerus. Namun untuk masalah percepatan putarannya mungkin hanya Sang Pemilik Kehidupan saja yang tahu, atau bisa saja diketahui oleh seorang “insan” yang hidupnya selalu berdekatan dengan pihak yang menggerakkan putarannya.
Maka hidup atau posisi hidup yang dijalani oleh manusia tidak bisa atau berada di posisi yang statis, di satu titik itu saja. Melainkan dinamis, bergerak dan bergetar terus menerus. Kalau dimaknai beberapa langkah ke depan, hidup adalah suatu “gerakan yang terus bergetar” atau “getaran yang selalu bergerak”. Yang bergerak dalam getaran. Bergetar dalam gerakan.
Bisa di posisi atas dan bisa di posisi bawah. Begitu pun siklus dari suatu data stastistik. Grafiknya bisa naik ke atas saat ini. Dan mungkin akan terus naik. Kemudian akan turun lagi ke bawah. Maka, akhirnya muncul suatu istilah titik puncak, nilai maksimum dan nilai minimum. Atau lebih melebar lagi lahir term titik kulminasi dan titik nadir. Itu bisa dikaitkan dengan suatu kejadian atau permasalahan.
“Perkembangan data korban coronavirus, terkhusus di Indonesia saat ini mengalami kenaikan” Jarkodil mulai berbicara, “mungkin memang data korban akan terus naik dan meningkat, mungkin juga akan sampai pada titik puncaknya. Sedangkan kenaikan data ini tidak hanya terjadi di Indonesia, negara-negara lainnya juga ada yang mengalami kenaikan. Meskipun ada juga yang mengalami penurunan.”
“Mungkin juga begitu lah perputaran roda kehidupan, berputar dan terus bergerak dinamis. Ada yang naik dan turun. Ada yang berada di atas dan sebagian ada yang di bawah.” Jarkasin menambahi.
“Ya, saya beberapa hari lalu membaca sebuah berita di salah satu sumber, angka kasus Covid-19 di dunia menurut data Universitas John Hopkins mencapai 382.644. sedangkan untuk angka kematiannya adalah 16.587. Sehingga persentase rata-rata kematiannya berkisar pada angka 4,3 persen. Itu di seluruh dunia.” Jarkembung juga ikut menambahi.
“Dan saat ini, Indonesia sudah mencapai data korban yang positif di angka 1.046 kasus. Yang bila dibandingkan dengan angka di hari sebelumnya lojakannya meningkat mencapai 153 kasus dalam sehari.” Jarkembloh tidak mau ketinggalan.
Di prediksi juga lonjakan itu akan terus naik dan ada yang mengatakan, tentunya adalah seorang ahli, bahwa puncak kasus ini akan terjadi dipertengahan bulan April. Tetapi kembali lagi, itu hanyalah sebuah prediksi, di mana kebenarannya bisa meleset bahkan mungkin juga tidak tepat.
“Kita mau tidak mau juga harus membantu pemerintah menghadapi wabah ini dengan cara yang bisa kita lakukan.” Jarkodil agak bersemangat.
“Apa yang harus kita perbuat?”
“Jelas upaya lockdown daerah tidak mungkin akan berani diambil secara mentah-mentah oleh pemerintah. Melihat banyaknya penduduk dan mungkin juga minimnya pasokan pangan atau masalah ekonomi kita. Membuat pemerintah berpikir dua sampai tiga kali kalau harus memutuskan formula lockdown.”
“Iya, banyak penduduk khususnya yang seperti kita ini yang upah gajinya diberikan pas pada hari itu juga, kemudian habis buat beli makan untuk anak-istri di rumah. Kemudian besok cari lagi.”
“Benar, sama seperti kita bekerja yang dengan sistem harian lepas, bahkan sekarang ini banyak sawah-sawah yang mulai panen. Maka tentu tidak akan mungkin putusan lockdown dijatuhkan, justru nanti malah akan menimbulkan masalah baru yang membuat kepala pemerintah kita semakin puyeng…”
“Kesadaran diri kita sendiri itu lah yang sebenarnya menjadi musuh terbesar kita. Lihat saja, himbauan tidak pernah diendahkan. Hla wong diperintah saja tidak mau.”
“Dihukum, ditilang polisi yang jelas-jelas salah saja, tambah marah-marah kok.”
“Apa perlu kita anggota KPMb ini, menyebar ke seluruh pelosok desa, mungkin. Untuk membantu mengkondisikan para warga. Atau setidaknya menepuk pundak para camat, kepala desa, kasun bahkan RT/RW dan juga tokoh-tokoh agama di desa yang di-ta’dzimi untuk menertibkan para warganya. Ya… dalam rangka menghadapi wabah ini.”
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak bahkan 4,5 kali lipatnya penduduk Italia. Apalagi dibandingkan dengan penduduk Singapura yang luas geogrfisnya hanya seluas kabupaten atau bahkan kecamatan yang ada di Indonesia. Di tambah perihal SDM atau kesadaran pengetahuan penduduk kita yang masih rendah membuat aparat kewalahan dalam menertibkannya.
“Kita dari kemarin sudah berdiskusi, membicarakan perihal wabah coroanvirus ini. Sedikit banyak pembahasannya, kita menghubungkannya dengan wilayah spiritual atau keagamaan kita, di mana di dalamnya banyak sekali membawa nama Tuhan, kehendak-Nya dan masalah manusia kita.” Jarkodil terlihat kaku.
“Mungkin banyak di sana, di antara mereka yang mungkin membodohkan sikap kita yang terlalu menghubungkan coronavirus yang jelas masalah sains-biologis, lebih tepatnya wilayah virologi yang begitu ilmiah, kok dihubungkan dengan wilayah keagamaan yang jelas jauh dari kata ilmiah.”
“Apalagi ditambah kesan diskusi kita itu malah mencari-cari letak kesalahan manusia. Dan hubungannya dengan Tuhan. Mungkin juga sebagian ada yang mengatakan, ‘bukannya membantu menyelesaikan covid-19 dengan penanganan yang realistis, malah menambahi pikiran untuk mencari kesalahan manusia dan menghubungkannya dengan mewabahnya coronavirus’. Manusia memang seperti itu kebanyakan…”
“Maksudnya?”
“Sudah-sudah, terlepas dari itu semua…” Jarkodil angkat bicara lagi, “mereka mau menanggapi bagaimana, ya terserah mereka. Kita tidak perlu mempersalahkan tanggapan mereka, apalagi sampai membenci mereka. Sekiranya memang mereka beranggapan demikian, ya biarlah. Tetap kita harus bersatu-padu dalam berperang melawan coronavirus ini. Niat kita ‘kan baik. Supaya kita sebagai manusia juga sadar bahwa kita banyak kesalahan dan sangat bergantung kepada Tuhan. Dengan kita membicarakan masalah coronavirus dengan sikap peribadahan dan perilaku kita sebagai makhluk Tuhan, tentu tujuan kita adalah untuk supaya kita lebih mau membenahi sikap hidup kita yang mungkin saja selama ini salah. Toh kita hanyalah kumpulan para Mbambung yang tidak expert sama sekali di bidang apa pun, lebih-lebih di bidang kesehatan, sains-biologi apalagi bab virus. Bisanya kita ya cuma begini ini. Kalau memang ada sisi baiknya ya diambil, kalau tidak ya tolonglah dimaafkan…”
Pemerintah dan Negara kiranya memang sudah bertindak dari awal. Dengan berbagai macam formulasi sudah banyak diterapkan. Sudah banyak pula para ahli, kaum akademisi, intelektual dan tokoh masyarakat yang ikut serta dalam penganggulangan adanya coronavirus ini. BNPB sudah sangat sigap kiranya, meskipun juga untuk dikatakan sempurna, ya nanti dulu.
Juga telah banyak pembukaan recruitment relawan. Berbagai macam bantuan donasi. Bahkan Eric Thohir pun siap pula menjadi orang terdepan untuk mendatangkan bantuan-bantuan semacam itu. Dan tidak akan lama lagi mungkin akan dibuat program sadaqoh dan infaq alat-alat medis.
Kalau memang virus ini menyerang dan lebih membahayakan orang yang memiliki sistem kebebalan tubuh yang lemah. Terutama yang berusia lanjut dan mempunyai riwayat penyakit, terkhusus paru-paru dan masalah pernafasan.
Apakah pemerintah ingin membuat semacam imun yang lebih besar dan luas. Atau yang diistilahkan dengan herd immunity itu. Di mana para usia-usia muda itu dijadikan currier virus melalui banyaknya para relawan muda yang masuk, karena jelas memiliki imunitas yang jauh lebih kuat ketimbang usia-usia mereka yang dalam masa lanjut, lansia. Seperti sebuah teori yang digambarkan dalam gerakan grafik sebuah kurva. Yang dengan upaya ini berarti kita sedang akan mengarah ke atau untuk melandaikan kurva.
Semua bisa kalian analisa sendiri untuk lebih jelasnya.
Menurut data, death rate kita kini menyentuh kisaran angka sekitar 8 persen, yang tentu jumlah angka tersebut di atas rata-rata death rate covid-19 dunia yang hanya menyentuh kisaran angka 4 persen.
“Sebentar… Kalau dipikir-pikir rapid test yang diterapkan apakah sudah menyeluruh, atau masih akan ada rencana mass rapid test. Yang mungkin bisa saja ada yang positif corona tetapi tanpa ada gejala sama sekali. Bukannya hal itu akan bisa juga mempengaruhi jumlah persentase CFR-nya. Mengingat juga penduduk kita sangat banyak sekali jumlahnya.”
“Saya juga tidak begitu tahu akan hal itu…”
“Yang penting media juga harusnya dihimbau jangan terlalu berlebihan dalam menyebar informasi, yang malah membuat masyarakat panik dan paranoid.”
“Ya betul itu, hilangkan budaya ‘a bad news is good news’ yang sangat meresahkan.”
Diskusi berakhir, lantaran masjid sudah mengumandangkan adzan, ternyata waktu sudah maghrib.[]
_Corona, 5
_Ahmad Miftahudin Thohari
.Ngawi, 27 Maret 2020