Menelan Ludah Sendiri

  • By locus
  • Desember 29, 2024
  • 0
  • 56 Views

Hiruk-pikuk pesta demokrasi di kampus X telah usai diberlangsungkan. Di berbagai platform media sosial telah pula diumumkan bahwa Mas Bram sudah sah dilantik menjadi presiden mahasiswa di kampus X tersebut. Sumpah jabatan dan segala ikrar baiat juga telah selesai digemakan. Suasana gembira tentu saja terjadi bagi yang merayakan. Foto-foto serah jabatan sambil berjabat tangan dengan senyum sumringah menyusul, menghiasi akun-akun media sosial warga kampus X, khususnya milik mahasiswa.

“Loh, ini temanmu itu, ya?” Rofli menunjukkan postingan Instagram BEM Kampus ke teman kelasnya, Faqih.

“Iya, benar.”

“Gilaaa ….”

“Tapi semenjak aku berbeda pandangan dengannya. Sekarang aku sudah tidak lagi dekat dengannya. Sebenarnya aku tidak setuju dia terpilih jadi Ketua BEM.” Faqih menjelaskan dengan nada menyesal. “Menurutku demokrasi kampus sudah tidak bisa lagi diberlangsungkan dengan sistem semacam itu. Ada banyak hal yang mesti direvisi dalam tata sistem pemilihan ketua Ormawa. Tidak bisa seperti itu.”

Rofli manggut-manggut. Wajahnya serius mendengarkan kata-kata Faqih. Ia memang terkenal sebagai orang yang kritis dan berpandangan progresif dalam segala hal. Sangat vokal di kelas. Bahkan, dosen pun banyak kewalahan menghadapi laju pemikirannya. Alasan itu pula yang membuat Rofli merasa bersyukur bisa berteman dengan Faqih. Apalagi ketika ia tahu kalau Faqih beberapa bulan lalu telah mendaftarkan diri menjadi anggota pers kampus.

“Aku setuju dengan pendapatmu.” Rofli memuji temannya itu. “Menurutku, pemilihan ketua ormawa, lebih-lebih ketua BEM, seharusnya tidak dilakukan dengan cara tertutup seperti itu. Masa’ iya yang berhak menentukan suara pemilih ditentukan siapa-siapanya. Seharusnya, kan, seluruh mahasiswa diberi hak yang sama untuk memilih, to?”

“Nah, itu, Rof.” Sambil mengeluarkan buku saku ayat-ayat kirinya dari dalam tas dan memberikan ke Rofli. “Makanya, aku tidak bisa tinggal diam. Aku sudah memutuskan untuk menjadi oposisinya si Bram. Dan tujuanku ikut pers kampus sebenarnya juga untuk itu. Supaya kritik yang nanti aku gencarkan lebih terakomodasi secara masif.”

Rofli tersenyum ceria. Wajahnya cerah, secerah bayangan pikirannya akan apa yang nantinya dilakukan Faqih, menjadi seorang oposisi yang kritis. Ia menepuk pundak Faqih, sebelum memasukkan buku pemberian Faqih itu ke dalam tasnya. “Aku tunggu tulisan-tulisan kritismu. Aku pamit balik dulu. Mau mengantar Ibu ke PKU jam 11.”

“Oke, hati-hati, Rof. Cepat sembuh buat ibumu.” Sambil menepuk balik pundak Rafli.
Setelah saling bersalaman, saat Rofli sudah tak lagi dapat dijangkau mata, Faqih tiba-tiba termenung dalam duduknya. Tatapannya kosong, tapi pikirannya mengelana ke antah berantah. Dalam pikirannya berkecamuk renungan tentang cara-cara yang mesti dilakukan agar tetap bisa menjadi teman yang baik bukan bagi Rofli, tapi si Bram, ketua BEM yang baru dilantik itu. ‘Oke, Bram. Tugas kita mungkin berbeda jalan. Karena kamu memilih masuk sistem, maka aku akan bekerja di luar sistem. Aku akan menjadi oposisimu. Siap-siap saja!’ Begitulah kira-kira kalimat yang berkemelut di kepalanya.
Faqih kemudian bangkit dari duduknya, dan bergegas memantapkan langkahnya menuruni tangga. Dia teringat bahwa hari ini harus menghadiri diskusi film dokumenter tentang isu agraria.


Hari-hari kemudian berlalu. Bagai angin yang selalu sibuk menyisir daun-daun kelapa di setiap harinya, Faqih kini juga sangat sibuk menempa pikiran-pikiran kritisnya di tiap-tiap acara diskusi yang ia ikuti. Sebab itu kini Rofli mulai jarang mengobrol-ngobrol lagi dengannya. Setiap selesai kelas berlangsung, Faqih selalu berpamitan lebih dulu untuk pergi ke acara ini dan itu, mengikuti diskusi ini dan itu. Faqih benar-benar menjadi aktivis yang sibuk. Tak jarang ia pun sering tak hadir di kelas. Tentu saja Rofli sangat memaklumi, dan tahu bahwa itulah jalan yang dipilih oleh sohibnya.

Sudah setengah periode kepemimpinan setiap Ormawa di kampus X berjalan. Akan tetapi, tak ada perubahan signifikan yang terjadi di kampus. Memang, Ormawa kampus tidak memiliki tugas untuk membangun kampus—misalnya, yang dulunya hanya punya satu gedung perpustakaan kemudian menjadi berjumlah lima gedung perpustakaan, atau menyulap parkiran yang dulunya hanya punya satu tempat parkir menjadi lima tempat pangkir bertingkat tiga.

Ormawa bukan pemborong proyek maupun tukang kuli bangunan yang proker-prokernya kebak proyek pembangunan. Tapi setidaknya, Ormawa bisa benar-benar menjadi corong panjang yang bisa menyampaikan aspirasi warga mahasiwa kampus X dengan segala keresahan-keresahannya. Atau, setidaknya ada gebrakan baru yang dilakukan, yang sifatnya produktif bagi kehidupan intelektualitas di lingkungan kampus.

Rofli sebagaimana kebanyakan mahasiswa lain ingin sekali fasilitas-fasilitas di lingkungan kampus, terutama dalam ruang-ruang kelas kembali diperbaiki, bahkan diperbagus, sepadan dengan jumlah UKT yang tiap tahunnya naik. Tapi, entahlah, mengapa Si Bram seperti hanya diam-diam saja. Rofli sendiri tak tahu. Ia selalu bingung dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Apakah menjadi ketua BEM yang berada langsung di bawah pimpinan rektorat sama dengan tidak boleh kritis terhadap pimpinan rektorat—layaknya seorang karyawan yang mesti tunduk dan patuh, tidak boleh menentang; sekadar mengkritisi tidak memadainya fasilitas-fasilitas yang disediakan kampus? Seandainya BEM dan para jajarannya membuka bilik aspirasi bagi warga mahasiswa, sejauh mana aspirasi itu sungguh-sungguh diperjuangkan? Atau itu hanya gimmick saja agar mereka terlihat ada dan bekerja?

Setiap sore selesai kelas, Rofli selalu bertanya-tanya sendiri, sebab kini ia tak lagi dapat bertukar pikiran dengan Faqih. Kesibukan Faqih benar-benar membuat Rofli rindu. Ada banyak pertanyaan dan pikiran-pikiran yang butuh diadukan. Tapi Faqih kini sudah sibuk menatar diri, menjadi oposisi. Sebenarnya Rofli sangat ingin menghubunginya, tetapi ia segan. Takut mengganggu. Apalagi, akhir-akhir ia sering melihatnya menjadi pemantik diskusi terkait isu-isu yang sedang marak terjadi.

Rofli sendiri sebenarnya ingin sekali mengikuti diskusi-diskusi yang memang sering diinisiasi oleh Faqih. Namun, saat ini, ibunya lebih penting. Setahun setelah ia masuk di kampus X, ibunya terdiagnosa mengidap penyakit jantung koroner. Usia ibunya memang sudah renta, dan Rofli hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Bapaknya sudah lebih dulu mangkat akibat kecelakaan di bulan pertama Rofli kuliah. Semenjak kepergian bapaknya itulah, overthinking sering menghampiri kepala ibunya, dan membuat sakit asmanya sering kambuh. Bagi Rofli menemani Ibu jauh lebih penting ketimbang mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra di kampus, meskipun ia ingin sekali ikut. Karenanya, ia harus berada di rumah maksimal sebelum Maghrib menjelang.

Pikiran-pikirannya yang selalu rewel itu membuat malam akhir-akhir ini terasa suntuk. Dalam kesuntukannya itu, di depan teras rumahnya, Rofli mencoba mengatasinya dengan membuka-buka akun Instagram pers kampusnya, tempat Faqih menasbihkan diri. Ia berhenti di satu postingan yang melegakan hatinya. Ternyata di 34 menit yang lalu, ada tulisan Faqih yang diterbitkan oleh pers kampusnya tersebut.

Politik Menelan Ludah Sendiri: Antara Harapan dan Dusta”, itulah headline yang tertera di postingan Instagram yang di-stalking oleh Rofli. Ia lalu mencari tubuh tulisan tersebut di website resmi milik pers kampusnya. Ternyata benar, tulisan tersebut baru di-upload sekitar setengah jam yang lalu. Ia membaca dengan tangkas tapi seksama. Menikmati isi tulisan milik Faqih tersebut, tak bisa membendung hatinya untuk merasa sumringah, bahkan beberapa kali ia tersenyum cerah setiap kali mendapati kalimat-kalimat yang sangat kritis di tulisan itu. Keresahan hatinya seperti tertuang seluruhnya tanpa sisa berkat tulisan tersebut.

Usai menikmati tulisan itu, cepat-cepat Rafli mengecek story WA-nya. Ia berpikiran bahwa Faqih pasti membagikan tautan tulisan tersebut di Story WA-nya. Ternyata benar. Tak menunggu lama, cepat-cepat ia memberikan reply Story WA itu, “Kereeennnn…” sambil menambahkan tiga emot api berjejeran rapi. Tak terduga, dengan kilatnya Faqih membalas balik komentar Rofli tersebut.

“Hei, Rof. Apa kabar? Besok habis kelas kita ke burjo biasa, ya. Lama udah nggak ngobrol-ngobrol kita.”

Dengan antusiasnya, Rofli membalas di menit yang sama. “Baik-baik. Oke, siap, dengan senang hati.”


Kelas telah usai. Rofli dan Faqih berjalan beriringan ke burjo. Menuju kursi yang kosong, lalu duduk saling berhadap-hadapan. Setelah memesan mendoan dan kopi, Faqih memulai obrolan dengan bertanya soal kabar Rofli, kondisi terkini ibunya, dan tak lupa bercerita mengenai kesibukannya akhir-akhir ini, terutama dalam mengawal isu-isu yang sedang beredar di lingkungan kampus X.

Panjang lebar Faqih menceritakan kegiatannya sebagai seorang aktivis, baik di dalam maupun di luar kampus. Mendengar cerita tersebut, hati Rofli bertambah kagum. Matanya yang berbinar-binar seolah menunjukkan bahwa memang tak salah berteman dengan Faqih, seorang aktivis yang cerdas, kritis, dan berwibawa. Kebanggaan semakin bertumbuh di dalam hati Rofli setelah melihat ID card persnya dikeluarkan dari tasnya. Sambil tetap dengan sangat khidmat mendengarkan cerita-cerita Faqih.

“Ada isu penting di kampus kita, Rof. Ini aku dan teman-teman sedang berusaha untuk terus mengawal isu tersebut. Belum banyak yang tahu.” ucap Faqih dengan nada lirih tapi penuh keyakinan. “Memang isu ini belum begitu muncul ke permukaan. Tapi, lusa akan kupastikan isu ini viral dan bisa langsung menindak tegas pelakunya.”

“Memangnya ada isu apa?”

“KS. Ada korban. Memang korban sendiri tidak berani speak-up, tapi ia sudah curhat ke salah seorang temannya. Kebetulan temannya itu adalah orang pers kampus juga. Setelah penuh pertimbangan, dengan persetujuan si korban, pers kampus akan mengawal isu ini dan menuntut keadilan ke pihak kampus.”

Belum sempat ditanggapi Rofli, Faqih melanjutkan informasinya. “Sudah lama terjadi, dan sering dilakukan. Sudah sebanyak 11 kali. Korban satu tingkat di bawah angkatan kita. Dan kau tau siapa yang melakukan?”

“Siapa memangnya?” Rofli dengan mata yang kebingungan.

“Orang-orang BEM.”

“Bram?” Rofli spontan.

“Bisa jadi. Korban masih belum berani mengatakan identitas pelaku siapa tepatnya. Masih takut. Tapi yang jelas adalah orang-orang BEM. Karena itu, aku dan teman-teman masih terus menggali data untuk mengawal isu ini. Sambil memberikan pendampingan kepada korban, berusaha memberinya keyakinan bahwa dirinya akan aman, meskipun dia berani mengungkapkan identitas pelaku.”

“Sungguh memalukan sekali. Biadab. Kasus ini harus segera diungkap, Faq.” Tegas Rofli sambil bersungut-sungut dengan suara kesal tapi tertahan. “Semoga kamu dan teman-temanmu berhasil.”

Faqih hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil. Pandangannya mengawang-awang. Perang seperti sedang berkecamuk di dalam hatinya. Keringat dingin pun tiba-tiba menyembul sedikit demi sedikit di dahinya yang memang lumayan lebar. Raut wajahnya bak mencerminkan seorang panglima perang yang sedang mengatur strategi.


Kampus geger. Demo telah berlangsung, tepat setelah dua hari pertemuan Faqih dan Rofli di burjo itu. Pers kampus telah berhasil mendapat informasi identitas pelaku berkat kecerdikan Faqih. Mengagumkan! Tak heran memang, karena Faqih memiliki banyak relasi di lingkungan kampus X tersebut. Sebagai aktivis yang juga pernah satu geng dengan si Bram Ketua BEM, tentu mudah saja bagi Faqih untuk melacak informasi dan menggali data sebanyak mungkin yang berkaitan dengan pelaku.

Jurnalisme investigasi yang dipelajarinya tiga bulan lalu seakan fasih ia terapkan dalam liputan bersifat sensitif dan susah ini, begitulah kira-kira asumsi dari teman-teman persnya. Bagaimana tidak, setelah beberapa kali didesak yang membuat si korban akhirnya juga luluh, mau memberitahukan identitas pelaku. Ternyata pelaku yang diinfokannya tertuju pada satu identitas sama dengan investigasi yang dilakukan Faqih. Pelaku tersebut adalah: wakil BEM.

Duarrrr! Pecahlah kemudian suara massa di depan rektorat kampus. Konsolidasi yang diinisiasi oleh pers kampus berhasil menggaet seluruh komunitas di lingkungan kampus X untuk ikut turun aksi. Tak hanya itu, banyak korban-korban yang dulunya dipaksa bungkam akhirnya pun ikut bersuara. Spanduk-spanduk berisi tuntutan dan ungkapan keresahan bertebaran memenuhi area kampus.

Sorak-sorai orasi dan teriakan mahasiswa benar-benar menjadi lautan api di depan kampus X tersebut. Untunglah tak ada kericuhan berarti dan aksi berjalan dengan situasi kondusif. Aksi selesai dalam rentang waktu dua jam, setelah jajaran rektorat dan Ketua BEM memberikan pernyataan sikap akan menindak tegas wakil BEM atas tindakannya yang telah merusak citra baik kampus X. Mengutuk dan menghukum pelaku seadil-adilnya yang telah menyebabkan trauma dan ruang tidak nyaman bagi para perempuan di lingkungan kampus tersebut.

Tak menunggu lama, lusa wakil BEM dikabarkan telah di-drop out dari kampus dan akan mendapatkan penanganan lebih lanjut dari pihak berwajib. Platform-platform media sosial yang terkait dengan kampus X segera penuh dengan postingan-postingan berisi informasi mengenai dikeluarkannya Wakil si Bram itu. Wakil BEM Biadab!!! Begitulah cuitan yang muncul di berbagai kolom komentar akun-akun media sosial, khususnya Instagram.

Rofli yang ikut mengamati perkembangan kasus itu akhirnya merasa lega. Tapi, kelegaan itu seperti tertunda di tenggorokan. Tepatnya setelah ia dengan sengaja melakukan stalking akun instagram si Wakil BEM—yang cukup ramai diberikan tag oleh para warga mahasiswa kampus X. Menjelajahi profil si Wakil BEM, Rofli merasa tak percaya bahwa orang yang sangat aktif berkegiatan di luar kampus sebagai delegasi bisa melakukan tindakan keji sebanyak 11 kali. Alangkah terkejutnya Rofli, bahwa mahasiswa berprestasi berani melakukan tindakan semacam itu. Sesuatu yang tak wajar, kontradiksi, dan menimbulkan tanda tanya. Dan Rofli semakin terkejut setelah mendapati bahwa si Wakil BEM ternyata bertempat tinggal tak jauh dari tempat kontrakannya, bahkan satu kelurahan.

Rofli merasa janggal. Ia curiga bahwa ada yang tidak beres dalam kasus itu. Semua warga kampus, termasuk Faqih, tahu bahwa si Wakil BEM adalah mahasiswa yang jarang berada di kampus X karena kesibukannya menjadi delegasi kemana-mana. Satu hal yang membuat curiga Rofli adalah ketika tahu kalau si Wakil BEM ternyata bukan orang yang satu rumpun geng dengan si Bram. Dia justru mahasiswa yang netral. Dia bisa masuk jajaran BEM karena memang prestasinya yang dibutuhkan untuk menginspirasi mahasiswa-mahasiswa lain. Pihak kampus pun sangat menghormatinya.

Mungkinkah seorang mahasiswa berkelas semacam itu mengkhianati kepercayaan kampus? Rofli penasaran dan ingin tahu. Rasa penasaran didorong pula dengan kecurigaannya tersebut, mendesak batin Rofli untuk bertemu dengan si Wakil BEM.


Setelah tiga hari berkeliling di sepanjang lingkungan kelurahannya, Rofli akhirnya menemukan tempat tinggal si Wakil BEM. Hanya saja, ia tidak di rumah, dan tidak tahu kapan akan pulang.

“Dia sedang mengurusi gugatan, Mas.” kata tetangganya.

“Gugatan?”

“Ya soal kasus di kampus kemarin yang membuatnya di-DO itu. Masnya orang kampus juga, kan?”

“Iya.”

“Sebenarnya Andi, wakil BEM itu, korban, Mas.”
“Maksudnya?”

“Panjang ceritanya, Mas, tapi yang jelas pelaku yang sebenarnya itu ketua BEM-nya. Bahkan, ramai-ramai katanya, dan enggak satu korban saja. Cuma karena kecerdikan temannya yang ikut pers kampus itu, katanya si Andi, segalanya diskenariokan menjadi begini. Pintar dia, Mas, mainnya halus.”

“Pers kampus?” Dadanya serasa ditonjok.

“Katanya begitu. Dalangnya, katanya, ya dua orang itu. Kalau dari ceritanya Andi tempo hari, mereka berdua itu sebenarnya saudara sepupu. Satu di BEM, satu di pers kampus. Itu katanya memang strategi mereka.” Sambungnya, “Andi itu dikambinghitamkan karena khawatir dia akan membongkar rencana busuk geng mereka soal dana kampus.”

“Tapi kenapa Andi tidak membantah waktu kemarin?”

“Isu kemarin, kan, berlangsung sangat cepat, Mas. Ditambah mereka sudah menyiapkan skenarionya jauh-jauh hari. Sedangkan Andi sendiri tidak menyangka akan secepat itu. Opini massa juga sudah terlanjur matang. Makanya, ia baru mau mengumpulkan bukti untuk menggugat balik. Ya, semoga aja bisa dan berhasil.”
Rofli tertegun cukup lama. Tak mengerti perasaan apa yang sedang menjalar di sekujur tubuhnya. Pikirannya hanya tertuju ke pers kampus dan bayang-bayang mengenai temannya, Faqih. Sorot matanya yang sayu seakan mengabarkan bahwa kekaguman dan harapannya seolah telah dilecehkan oleh temannya sendiri. Dia merasa dikhianati, tapi dia ragu akan kebenaran yang dihadapinya ini. Mungkinkah tipu muslihat Faqih sekeji itu.
Di tengah denting kebingungan yang semakin bising di dalamnya batinnya, tiba-tiba ada notif pesan WA yang masuk di handphone Rofli. Nomor baru, berfoto profil logo pers kampus. ‘Salam. Kami dari kawan-kawan pers kampus ingin menanyakan perihal Faqih. Menurut informasi yang kami dapat, Anda katanya temannya Faqih. Boleh informasikan sekarang dia ada dimana? Atau mungkin kami bisa bertemu dengan Anda.


Malam hari, saat purnama tak menginginkan wajahnya nampak. Dua orang pers kampus, perempuan dan laki-laki, serta satu perempuan lagi dengan rambut terurai, berpipi tirus, berkacamata datang menghampiri Rofli di ujung kampus X.

“Ada apa dengan Faqih?” Rofli bertanya dengan nada berat.

Dua orang pers kampus itu saling berpandangan. Sedangkan perempuan berkacamata hanya menundukkan kepalanya. “Dimana Faqih sekarang?” tanya pers laki-laki.

Rofli menggelengkan kepalanya.“Kalau kamu tahu keberadaannya, tolong beri tahu kami dimana dia sekarang. Supaya segalanya lebih cepat diselesaikan.” Pers perempuan menguatkan maksud temannya.

“Tidak tahu saya. Saya tidak tahu keberadaan Faqih.” Rofli menjawab lirih dengan wajah bingung.

Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Seorang pers perempuan lalu menatap wajah perempuan berkacamata yang duduk di sebelahnya, ia lantas menganggukkan kepala. “Pelaku sebenarnya bukan si Wakil BEM. Faqih sendiri pelakunya. Mbak ini adalah korbannya.”

Sontak saja, Rofli langsung memandangi wajah perempuan berkacamata itu.

“Dua hari sebelum demo terjadi. Tepatnya di malam hari. Faqih mendatangi korban, melecehkannya lagi untuk yang kesekian kali.” Pers perempuan itu mencoba menjelaskan kepada Rofli dengan geram. “Dia lalu mengancam, dan memaksa korban untuk mengaku kepada kami bahwa pelakunya adalah Wakil BEM.” Nadanya terdengar parau.

Mendengar itu, Rofli mencoba mengangkat tubuhnya sendiri. Dadanya tiba-tiba sesak. Sekujur badannya pun merinding seketika. Pikirannya kacau. Perasaannya campur aduk antara marah, heran, dan bingung.

“Jadi, benar?” ucapnya linglung.

Dua orang pers itu secara bersamaan menganggukkan kepala. Sedangkan perempuan berkacamata tetap dengan wajah menunduk.

“Begini ya ‘Politik Menelan Ludah Sendiri’ itu.” Kakinya tiba-tiba kehilangan daya untuk menopang kerumitan badannya yang semakin berat. Rofli tersungkur.

Penulis: A.M.T

Editor: Abril

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.