By pinterest
Kebebasan berekspresi adalah jiwa dari demokrasi sebuah negara, hak fundamental yang
dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Seharusnya, hak ini tidak
dapat dikekang oleh kepentingan siapa pun.
Namun, belakangan ini, eksistensinya terasa semakin nihil, karena dipasung oleh tangan
tangan kelompok yang apatis terhadap tanggung jawabnya dalam merealisasi kata adil.
Statusnya sebagai ‘ancaman’ kerap dialamatkan pada seniman, aktivis, dan jurnalis yang
berani mengkritisi berbagai kebijakan tidak manusiawi. Suara, tulisan, bahkan apapun bentuk
karya mereka, semata untuk membuat masyarakat lebih open minded terhadap situasi dan
kondisi sosial entah kenapa terus saja disensor, dibungkam, bahkan dijegal pasal-pasal hukum
tak masuk akal. Tagar #IndonesiaGelap yang akhir-akhir ini dipopulerkan demonstran, jelas
bukan klaim emosional tanpa dasar. Lantas, apakah jiwa demokrasi benar-benar masih ada?
Atau, justru sudah lama dipenggal oleh kediktatoran?
Pembungkaman yang Semakin Brutal
Dalam laporan The Global State of Democracy 2019, International IDEA menegaskan bahwa
partisipasi sosial dan politik warga negara—termasuk kebebasan berpendapat dan mengkritik
pemerintah—merupakan fondasi dari demokrasi yang berfungsi dan tahan uji. Namun di
Indonesia, hal itu masih rentan ditanggapi secara represif. Menurut laporan SAFEnet
(Southeast Asia Freedom of Expression Network) 2023, setidaknya terdapat 43 kasus
pelanggaran kebebasan berekspresi di Indonesia, yang sebagian besar menyasar aktivis,
seniman, dan jurnalis. Ini terbukti dari film dokumenter tentang ketimpangan sosial yang
mendadak ditarik dari peredaran, seperti kasus film The Act of Killing (2012) dan The Look of
Silence (2014) karya Joshua Oppenheimer yang membahas kekerasan pasca 1965. Meski
mendapat penghargaan internasional, menurut BBC Indonesia 2014, sang sutradara justru
menerima tekanan agar karyanya tidak ditayangkan secara masal di dalam negeri.
Kasus serupa juga terjadi pada kegiatan seni lainnya. Jadwal pameran mural kritis dipaksa batal
tanpa kejelasan, sementara intimidasi diterima oleh sutradara pertunjukan seni yang berani
mengangkat isu Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini bisa ditemukan pada kasus pameran
bertema ‘Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan’ serta pementasan ‘Musuh Bebuyutan’
karya Teater Tanah Air. Kita tentu bertanya-tanya: apa yang dikhawatirkan para penguasa?
Sayangnya, alih-alih menjawab dengan diskusi secara terbuka, mereka justru menganggap
karya-karya tersebut subversif dan memilih jalan represif. Lalu asumsi yang telah lama
membulat kian menguat: Sebenarnya, apa yang mereka takutkan?
Wajah Berbeda, Kebiasaan Sama
Pembungkaman ekspresi sebenarnya merupakan fenomena urban yang masih terus terulang.
Represi seolah menjadi sarapan ketika kritik terhadap sistem pemerintahan disuarakan. Pada
masa Orde Baru, penyair seperti Widji Thukul terpaksa hidup dalam bayang-bayang intimidasi
karena puisinya yang lantang membela Hak Asasi Manusia (HAM), serta dianggap
mengganggu stabilitas kekuasaan. Hari ini, meski pola represi telah berubah, sayangnya
esensinya masih tetap sama: bungkam atau terima konsekuensinya.
Bedanya, sekarang pembungkaman terstruktur lebih “halus’” dan rapi. Pola ini dapat dilihat
dari penggunaan regulasi karet untuk menjerat ekspresi. Seperti yang dikutip dari Kompas.com
pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sering dipakai untuk membungkam kritik terhadap pejabat;
menciptakan tekanan sosial agar pendapat kritis dipandang tidak etis. Misalnya dengan
melabeli pengkritik sebagai perusak citra bangsa serta memanfaatkan buzzer dan propaganda
di media sosial, yang menggiring opini publik melalui tagar-tagar tandingan dan narasi
manipulatif demi melanggengkan citra positif penguasa.
Negara Sensor, HAM Error
Kita harus ingat satu hal: Kebebasan berekspresi adalah jiwa demokrasi suatu negara dan
bagian dari HAM paling mendasar. Ketika pembungkaman semakin brutal dan menanamkan
ketakutan kuat di benak masyarakat, itu jelas bukan sekedar kebijakan biasa. Namun, itu
merupakan bentuk penjajahan aktif terhadap pikiran secara masif.
Ironisnya, tidak terdapat pada pembungkaman, tetapi efek jangka panjang yang ditimbulkan,
yaitu rasa takut. Ketika satu orang ditangkap karena berpendapat, maka seribu orang ikut
senyap tanpa syarat.
Ini bukan kebetulan, melainkan strategi yang bersifat diktator. Dalam sektor lebih luas,
ketakutan menjadi alat kontrol. Seperti yang dikatakan Widji Thukul, “Ketika mereka
membungkam satu suara, sebenarnya mereka sedang membangun tembok sunyi yang lebih
besar.”
Lawan atau Bungkam?
Sekarang, kita harus memilih: Tetap diam dan membiarkan pengekangan ini tumbuh subur,
atau melawan dengan suara, karya, dan aksi nyata? Jika seniman, aktivis, dan jurnalis dilarang
berbicara, lalu siapa lagi yang akan menyuarakan kenyataan? Jika kebebasan berekspresi terus
dipersempit, apakah kita masih bisa menyebut diri kita hidup dalam demokrasi?
Masing-masing dari kita harus saling mengingatkan, bahwa diam bukan lagi pilihan yang
netral. Diam justru memperpanjang napas penindasan. Maka, pertanyaannya bukan lagi
sekadar “siapa yang berani bicara?”, tapi “siapa yang masih mau merdeka?” Jika seniman,
aktivis, dan jurnalis dilarang bersuara keras, siapa yang akan menjadi penyalur realitas? Jika
masyarakat terus dibiarkan terpasung dalam propaganda dan rasa takut tak berujung, maka
demokrasi hanya tinggal nama tanpa jiwa.
Melawan bisa dimulai dari hal sederhana: Mempertahankan ruang-ruang kritis, menulis,
berkarya, dan berbicara dengan jujur. Perlawanan tidak harus selalu besar, tapi harus nyata
walau jarang berakhir mujur. Karena setiap suara adalah bukti bahwa kita masih hidup sebagai
manusia merdeka. Maka, saat HAM hendak dihabisi penguasa negeri ini, ekspresi disensor
tangan-tangan diktator, kita justru harus berani bersuara lebih lantang—bukan karena kita tidak
takut pada konsekuensi, tetapi karena kita tahu: Suara adalah senjata terakhir yang kita miliki.
Penulis: Shafira
Editor: Abril