
Foto Pribadi by Nyimas Syifa
Matahari pukul 1 siang menyengat kulit ketika Locus melaju menuju salah satu kelurahan di Jatinom, Klaten, yang menjadi irisan salah satu konsesi tambang terbesar di wilayah itu. Sebuah truk pengangkut pasir berwarna merah berjalan perlahan, memberi ruang bagi Locus untuk menyalip, sebelum melewati sebuah jembatan beton yang membawa mereka masuk ke Kayumas.
Sekilas, lanskap Kayumas tampak biasa saja. Ladang-ladang warga dihidupi ragam tanaman: cabai, singkong, padi, hingga kebun mahoni yang menghijaukan tanah mereka. Namun tak banyak yang tahu, hanya sekitar 200 meter dari Jogobayan, salah satu dukuh di sayap utara Kayumas, sebuah konsesi tambang pasir ilegal dengan luas lingkar sepanjang 3,3 kilometer, membelah Kayumas dan Sedayu. Di Jatinom, konsesi tambang ilegal di Kayumas-Sedayu ini bukan satu-satunya. Di Kelurahan Bandungan, terbentang konsesi lain seluas 35 kilometer, sementara di Mundu, area tambang mencapai 4 kilometer.

Tambang pasir di Kayumas-Sedayu dari citra satelit
Sekitar 450 meter dari SDN 02 Kayumas, Locus tiba di sebuah pos pemeriksaan pertambangan. Sebuah gubuk triplek berukuran 5 × 3 meter yang telah berjamur dan lapuk, masih bertahan disokong pondasi batu sederhana, alih-alih menancap kokoh di tanah. Di sebelahnya berdiri bangunan batako sederhana, diduga menjadi fasilitas sanitasi bagi para pekerja. Poster-poster keselamatan kerja, pudar warnanya dan mulai mengelupas, menempel rapuh di dinding triplek yang renta. Atap yang koyak dan berlubang mengisyaratkan tak banyak aktivitas manusia tersisa.
Dari pos tersebut, jalan setapak selebar 2 meter membentang. Kerikil kasar melapisi jalur masuk, diapit dinding batu bekas galian yang menjulang. Pakis-pakis liar selebar setengah meter tumbuh rimbun di sela bebatuan, sementara lumut-lumut muda melapisi dinding, menelan sisa-sisa daya cengkeram batu. Akar-akar jati dan mahoni mencuat dari atas, menjuntai 2 meter di atas kepala karena tak ada tanah yang menggenggamnya, sekuat tenaga menopang sisa struktur tanah tempatnya tumbuh yang tersisa.
Perjalanan terhenti ketika dahan-dahan pepohonan yang baru ditebas menghalangi jalan. Daun-daun yang baru layu dan potongan kayu segar berserakan di jalur masuk, menandakan masih adanya aktivitas di lokasi tambang. Sisa tahi gergaji yang masih berwarna kuning segar turut kami temukan di jalan masuk. Sekitar 300 meter dari pos masuk, Locus menemukan sebuah tebing kecil. Sebongkah tanah tampak merekah, rawan longsor kala hujan turun. Di hadapannya terbentang sisa liukan aliran sungai yang telah mengering, dipenuhi batuan berbagai ukuran. Alam di sini gersang dan tak lagi hidup. Di seberang, bibir tebing bekas tambang pasir menjulang, setinggi lima meter.
Locus kemudian menuruni tebing, merangkak menuruni jalur bebatuan curam sepanjang sepuluh meter hingga mencapai dasar sungai. Dari bawah, dinding-dinding batu tampak lebih megah dan kokoh dengan pepohonan yang berusaha menutupi luka-luka di tanah. Sampah plastik, sepatu sebelah, kartu tanda anggota Pramuka, hingga tas koyak tersebar mengisi perut sungai yang mengering. Perjalanan sebenarnya baru dimulai dari titik ini.


Dokumentasi situasi lapangan dari tebing dan Locus menuruni tebing
Dinding batu setinggi 15 meter memamerkan masifnya bisnis ekstraksi pasir yang terjadi. Permukaan dinding masih dihiasi pakis setengah meter dan lumut tipis, menandakan area ini lebih baru digarap. Kerikil-kerikil tajam menembus alas sandal karet Locus, kian membesar dan bertambah rapat. Herannya, tak setetes air pun terlihat, meski kawasan ini sebelumnya merupakan daerah aliran sungai.
Semakin jauh masuk, bentang alam berubah. Dinding-dinding batu yang semula membatasi di kiri-kanan menghilang; tanah dan batuan sudah habis dikeruk, meninggalkan lereng-lereng curam tanpa penahan akar pepohonan, rentan longsor saat hujan menghujam.
Dalam penyusuran ini, Locus berusaha mencapai pusat operasi tambang ilegal Kayumas-Sedayu. Lanskap yang semula sempit perlahan melebar. Di satu titik, Locus berhenti di sebuah tanah lapang seluas 500 meter, yang hanya menyisakan bekas-bekas pahatan alat berat di tanah yang tandus. Setelah melanjutkan perjalanan sekitar 300 meter, Locus menemukan ujung jalan: sebuah bentangan kosong 4 kali lebih luas dari area sebelumnya. Tak ada yang tersisa, bahkan batuan pun habis terkikis, hanya meninggalkan hamparan tanah kosong.

Dokumentasi sisa pernambangan pasir di tengah
Di kejauhan, sebuah motor tampak terparkir di tengah kerusakan lahan itu. Sebuah gubuk kecil bertahan di bawah bayang-bayang dinding batu. Locus hendak melanjutkan penyusuran, namun pesan dari seorang kawan menghentikan: Lurah setempat, mengkonfirmasi jejaring preman pengaman konsesi tengah berpatroli. Demi alasan keamanan, Locus memutuskan mengakhiri perjalanan pada pukul 4 sore.
Fenomena tambang di Desa Kayumas dekat perbatasan Desa Sedayu bermula dari upaya pemenuhan kepentingan pihak-pihak di balik layar, namun menimbulkan kerusakan yang berdampak besar bagi masyarakat sekitar. Aktivitas ini dimulai 2016, beberapa saat berhenti, lalu beroperasi kembali 2019, hingga akhirnya tutup permanen antara 2020 atau 2021.
Status tanah tempat beroperasinya tambang menjadi sorotan penting. Menurut penuturan Mulyono, selaku Kepala Desa Kayumas, lokasi pertambangan berada di atas tanah Hak Milik (HM) warga Bandungan, dengan akses distribusinya melalui Desa Kayumas. Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada persetujuan atau izin yang dikeluarkan warga setempat serta pemerintah desa terkait pemanfaatan tanah kas desa untuk keperluan tambang. Sayangnya, letak tambang yang lebih dekat ke pemukiman Kayumas daripada Desa Bandungan menyebabkan kekeringan sumber mata air di Desa tersebut.
Sebaliknya, hasil investigasi lapangan menunjukkan bahwa lokasi pertambangan ilegal justru berada di atas tanah Hak Milik (HM) warga Kayumas yang berbatasan dengan Desa Sedayu. Hal ini menunjukkan informasi dari Kepala Desa Kayumas yang tidak akurat dengan fakta di lapangan. Ketidakjelasan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah ada ketidaktahuan, pengabaian, atau kepentingan tertentu yang sengaja ditutupi demi melanggengkan aktivitas ilegal tersebut?

2022

2024
Potret kondisi tambang di daerah perbatasan Kayumas dan Sedayu yang ditemukan Locus melalui pencarian data di Google Earth (27/04/25)
Temuan ini menunjukkan adanya aktivitas yang masih berlangsung, berbanding terbalik dengan penuturan Mulyono yang menyebutkan bahwa tambang tersebut telah ditutup permanen pada tahun 2020 atau 2021. Temuan gambar satelit dari tahun 2022 dan 2024 memperlihatkan jejak-jejak aktivitas tambang yang masih jelas terlihat, bertentangan dengan klaim bahwa tambang telah berhenti beroperasi. Keberadaan struktur yang belum tercabut, serta perubahan bentuk tanah menunjukkan adanya pengerukan tanah lebih lanjut, mengindikasikan bahwa operasi tambang mungkin masih berlangsung atau telah dilakukan pada tahun-tahun setelah klaim penutupan. Ketidaksesuaian ini menambah kompleksitas kasus dan menimbulkan pertanyaan mengenai apakah penuturan tersebut merupakan upaya untuk menutupi fakta terkait kelanjutan aktivitas ilegal tersebut ataukah kekeliruan dalam pencatatan dan pengawasan.
Laporan Solopos (29/11/22) memperkuat temuan ini, dengan menyebutkan bahwa kegiatan penambangan yang dilakukan di tempat terbuka secara langsung berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dikutip dari detikjateng.com, ada sejumlah alat berat seperti satu unit eskavator dan truk yang digunakan dalam kegiatan tambang pasir di wilayah Klaten.
Operasi tambang ilegal ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Hasil investigasi lapangan menunjukkan kekeringan pada sumur bor air yang merugikan warga setempat. Kondisi ini diperkuat oleh keterangan Mulyono, dimana debit air yang berada di dalam sumur rumahnya perlahan-lahan berkurang hingga saat ini. Tidak hanya itu, warga juga sudah menyampaikan keresahan yang mereka rasakan kepada Mulyono terkait menurunnya pasokan air di rumah mereka. Ancaman akan bahaya longsor pun turut membayangi pikiran warga sekitar, karena tanah yang sering digali lama kelamaan akan mengalami pengikisan hingga akhirnya dapat menimbulkan bencana alam yang tidak dapat diprediksi.
Cara tambang ini beroperasi turut memperburuk kondisi lingkungan. Kegiatan pertambangan yang berlangsung saat siang sampai malam di area perbatasan antara Kayumas dan Sedayu secara langsung tidak mengganggu aktivitas warga. Namun, akses distribusi menggunakan tanah kas desa yang sebelumnya disewakan oleh Kepala Desa pada tahun 2014, hingga akhirnya dihentikan oleh Mulyono saat mulai menjabat pada tahun 2016. Selama aktivitas ini tetap berlangsung, dampak terhadap lingkungan dan potensi ancaman keselamatan pada warga sekitar terus menghantui. Menurut penuturan Mulyono, sekitar 80% warga menolak keberadaan tambang ilegal ini karena merusak ekosistem.
Meskipun Mulyono mengatakan jika aktivitas tambang telah berhenti pada tahun 2020 atau 2021 lalu. Namun, jejak kerusakan yang ditinggalkan masih tampak nyata di hadapan mata. Lahan bekas galian tambang kini berubah menjadi tanah tandus yang tak mampu lagi menopang kehidupan, bahkan sekedar untuk menumbuhkan pohon Sengon yang biasa dikenal sebagai tanaman cepat tumbuh.
Locus menemukan bekas lahan pengelolaan tambang yang terletak di Desa Kayumas, tepat di depan apotek. Tanah di area ini tampak padat dan retak-retak, susah menyerap air hujan, apalagi mendukung pertumbuhan tanaman. Bekas-bekas alat berat dan gundukan pohon hasil penebangan masih terlihat jelas, seolah menjadi monumen bisu atas kerusakan yang belum terselesaikan.
Sayangnya, tanpa kehadiran pihak yang bertanggung jawab dan keterlibatan pemerintah, upaya warga akan terus menemui jalan buntu. Warga berharap pihak perusahaan tambang yang sebelumnya beroperasi bisa bertanggung jawab dengan melakukan reklamasi atau rehabilitasi lingkungan.
Kerusakan lingkungan yang ditinggalkan oleh pihak pertambangan dipastikan tidak berhenti meski sudah tidak beroperasi. Jejak kerusakan yang ditinggalkan menunjukkan ancaman jangka panjang yang serius. Area pengerukan mengalami kepadatan tanah ekstrim yang menghambat resapan air dan degradasi kualitas tanah secara permanen, yang memperburuk ketidakstabilan lahan, meningkatkan resiko bencana alam seperti longsor, terutama ketika musim hujan. Dampak yang diberikan tidak hanya bersifat material tetapi juga mengancam nyawa. Jika kondisi ini dibiarkan, kerusakan diperkirakan akan terus berdampak 5 sampai 10 tahun kedepan, termasuk resiko menurunnya debit air dan rusaknya kualitas tanah.
“… 5 tahun ke sini saya rasa belum terasa dampaknya. Kalau ada kan paling sedikit lah, tapi kan dampaknya nanti 10 tahun sampe 15 tahun anak cucu yang merasakan. Itu jelas dampaknya keliatan,” Ujar Mulyono.
Kerusakan yang terjadi di Kayumas dan Sedayu meninggalkan luka yang tak terobati. Tanah yang terkoyak, sumber yang mengering, dan bencana yang mengancam secara meluas merupakan akibat pertambangan yang sembrono. Kondisi ini menciptakan ketegangan yang semakin tajam antara warga dan pihak yang bertanggung jawab, yang terus menghindar dari kewajibannya. Masyarakat yang terdampak, meski dengan segala keterbatasan, terus berjuang untuk menyuarakan keadilan bagi tanah mereka yang telah dirusak demi kepentingan sesaat.
Di tengah sunyi bekas galian, suara harapan warga masih menggema: meminta pertanggungjawaban, menuntut pemulihan. Namun, harapan itu sering kali terbentur pada ketidakpedulian dan kekuatan pihak-pihak yang terlindungi oleh kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar. Tanpa adanya pengawasan yang tegas dan tindakan yang jelas, kerusakan ini akan terus berlanjut tanpa ada upaya untuk memperbaikinya. Warga pun merasakan bahwa perjuangan mereka seringkali terabaikan dalam pergulatan politik yang lebih besar.
Jika kerusakan ini dibiarkan tanpa pemulihan yang serius, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh generasi sekarang, tetapi juga akan membebani anak cucu mereka. Tanah yang rusak akan semakin sulit untuk diperbaiki, sumber daya alam yang hilang akan mengurangi kualitas hidup, dan ancaman bencana alam seperti longsor akan menjadi kenyataan yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera melakukan tindakan korektif yang tidak hanya memulihkan, tetapi juga mencegah agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Warga Kayumas dan Sedayu pantas mendapatkan rasa aman dan keberlanjutan, serta upaya nyata untuk menjaga keseimbangan alam yang telah lama terganggu.
Penulis: Elsa, Shafira, Sekar, Syifa, Alfi
Editor: Fida



