Sumber ilustrasi: Pinterest/ Boynona Maria
“Ibaratnya memang dari kemarin tuh aku dipaksa untuk diam, menghilang, dan terkubur lagi. Sekarang aku ingin setidaknya orang lain tahu kisah sebenarnya yang aku alami.”
Mahasiswi kampus negeri di Solo, Yara, bukan nama sebenarnya, malam itu akhirnya berani mengungkap kembali kisah kelamnya. Tarikan nafasnya mulai memutar kembali kejadian lima tahun lalu yang belakangan ini memenuhi pikirannya.
Saat berbincang dengan tim Locus beberapa waktu lalu, nada suaranya cukup berat dan tidak bersemangat. Mata sayunya mengarah ke bawah meja sembari bercerita.
Kisah ini bermula saat ia masih menjadi mahasiswa baru di Solo. Sore itu, Yara selesai melalui perkuliahan di kampusnya dan harus segera bertemu sesorang untuk transaksi barang.
Tak seperti hari-hari biasanya, kali ini ia kesulitan menemukan pengemudi di salah satu aplikasi ojek online. Sudah beberapa kali mencoba, tetapi tetap saja tidak ada yang menerima pesanan ojeknya.
Seketika, Yara teringat salah satu rekan yang sebelumnya juga sudah pernah ia gunakan jasa ojeknya. Tanpa pikir panjang, ia segera menghubungi rekannya itu.
Namun, ketika dihubungi, rekannya yang bernama AF yang juga berstatus mahasiswa senior itu ternyata sedang ingin mengantarkan pesanan makanan ke customer lain. Yara lantas bertanya di daerah mana rekannya itu akan mengantarkan pesanan.
Melihat daerah yang akan dituju jaraknya dekat dari kampus, Yara tak keberatan untuk ikut mengantarkan makanan terlebih dulu agar setelahnya bisa segera pulang. Selesai mengantarkan pesanan, mereka kemudian segera melaju ke tempat tujuan Yara.
Belum sampai di tempat tujuan, AF mengatakan badannya terasa lengket dan ingin mandi sebentar. Tak jauh dari lokasinya saat itu ada pom bensin, AF pun memberhentikan motornya di depan toilet pom bensin. Tanpa turun dari motor ia diam sejenak dan menoleh ke arah belakang.
Seketika ia membatalkan niatnya mandi di toilet pom bensin itu. Ia mengajak Yara ke salah satu tempat yang diakui sebagai kediaman rekannya untuk menumpang mandi. Di sanalah ia mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dan membuatnya tak nyaman.
Tanpa pikir panjang, AF membelokkan motornya dan melanjutkan perjalanan menuju “rumah teman” yang dimaksud.
AF masuk ke sebuah rumah besar dan bertemu dengan seorang bapak-bapak berpakaian kaos hijau. Ia mengatakan sesuatu kepada bapak itu, “tak sileh sik ya (kupinjam dulu ya),” kata Yara menirukan kalimat AF saat itu.
Setelah mendapatkan kunci, AF, melanjutkan laju motornya ke arah belakang rumah besar itu. Terlihat beberapa kamar berjajar seperti kos-kosan, dengan beberapa pintu tertutup. Ia memakirkan motornya di depan salah satu kamar tersebut.
Awalnya Yara tidak mau ikut masuk ke kamar. Namun, AF memaksanya untuk masuk, alhasil ia duduk di depan pintu kamar tersebut. AF tetap memaksanya untuk masuk dan sedikit mendorongnya ke dalam. Yara yang tadinya enggan masuk ke dalam berhasil dipaksa AF.
Selepas AF mandi, Yara berusaha untuk mengajak rekannya itu melanjutkan perjalanan. AF menolak dengan alasan ingin rehat sejenak. Ia berbaring menyandarkan kepala ke tembok belakang, tepat di sisi Yara. Ia berusaha membuka topik obrolan, Yara menjawabnya dengan singkat karena tidak nyaman berada di kamar dengan rekan yang belum jauh ia kenal itu.
Setelahnya, AF mulai memegang pergelangan kaki Yara sembari mengatakan sesuatu. Yara yang tak nyaman langsung menjawab dengan nada tinggi dan menggeser posisi duduknya.
AF tak menghiraukan keluhan Yara. Ia justru kembali mendekat ke arah Yara dan tetap mengelus-elus kaki Yara hingga mengarah ke bagian paha.
Mendapat perlakuan itu, seketika Yara merasa tubuhnya tak kuasa bergerak (freezing). Ia berusaha menghindar menjauh dan meminta AF segera melanjutkan ke tempat tujuannya.
Dengan bersusah payah, akhirnya Yara berhasil memaksa keluar kamar. Masih berboncengan dengan AF, Yara melanjutkan perjalanan, dengan memendam penuh amarah.
Tak ada perbincangan sepanjang perjalanan. Yara hanya ingin segera sampai dan lepas dari AF. Tak berselang lama, AF menurunkan Yara di lokasi yang dituju. AF beralasan ia ada keperluan lain dengan keluarga sehingga tidak bisa mengantar Yara pulang. Setelahnya, Yara kembali memesan ojek online lain untuk bisa kembali ke rumah.
Empat Tahun Kemudian
Empat tahun setelahnya, Yara tak sengaja berpapasan kembali dengan pelaku. Traumanya muncul kembali hingga menceritakan kejadian itu kepada pacarnya, SM yang juga kuliah di kampus yang sama.
Mendengar orang yang disayanginya diperlakukan demikian, SM tidak terima dan berujung pada pemukulan dan penganiayaan kepada AF. AF diminta datang ke kampus untuk mengakui perbuatan yang telah dilakukannya pada empat tahun silam.
AF diminta membuat video pengakuan, ditampar, dipukul menggunakan kertas karton gulungan, hingga diminumi air WC menggunakan sandal miliknya. Penganiayaan yang membabi buta di area kampus tersebut jelas tidak dibenarkan. Dan justru mengaburkan kasus awal soal pelecehan seksual pada Yara.
AF kemudian melaporkan kejadian itu ke Polsek terdekat. Penyelidikan dalam kasus ini dilakukan selama empat bulan sejak Agustus—Desember 2022. Pada penghujung tahun, Pengadilan Negeri Sukoharjo memvonis tiga pelaku penganiayaan dengan hukuman lima bulan. Semua pelaku adalah mahasiswa yang juga rekan sekampus Yara. Ketiganya yakni SM, ZV, dan JL.
Penetapan kasus tersebut berdasarkan beberapa barang bukti di antaranya satu gulungan kertas asturo, bambu dengan panjang 150 cm, satu pasang sandal selop, dan rekaman CCTV.
Penyintas Mencari Keadilan
Yara menghela nafas panjang.
Kasus penganiayaan pada AF di luar kuasanya. Penganiayaan pada pelaku pelecehan hingga berujung pada vonis hukuman lima bulan pada SM, ZV, dan JL membuatnya trauma untuk kali kedua. Belum juga sembuh dari kasus pelecehan, Yara, harus menanggung beban berat rasa bersalah.
“Yang pasti pascakejadian, setiap aku berada di kampus, sendirian, aku pasti selalu merasa enggak aman dan ada rasa was-was, takut kalau tiba-tiba enggak sengaja ketemu dia lagi (pelaku –red),” jelas Yara pada Rabu, (14/06/2023).
Setelah kasus pelecehan tersebut, Yara, menjadi bulan-bulanan. Sejumlah orang seolah tak peduli dengan posisinya sebagai korban pelecehan. Yara menjadi bahan cibiran di media sosial, ia juga mendapatkan spam chat dan spam telepon yang terus menghantuinya selama beberapa hari. Bahkan, Yara pernah ditampar oleh salah seorang yang tidak suka dengan cerita yang diungkapnya hingga menyebabkan ketiga rekannya itu dipenjara.
Namun, keterpurukan tersebut seolah jadi bahan bakar semangatnya. Pilu yang sudah dipendam lama dia buka kembali. Yara berupaya mencari keadilan. Ditemani sang ibu, ia melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya ke kepolisian.
Namun, pihak kepolisian menilai kasus Yara lemah hukum karena tidak ada satupun bukti. Tidak ada jejak digital yang tersisa karena ia sempat berganti gawai.
Yara kemudian menghubungi LBH Soratice, tetapi keterangan darinya hanya bisa untuk meringankan hukuman pelaku penganiayaan. Bukan untuk mendapatkan keadilan atas pelecehan yang dialami.
Yara juga sudah melaporkan kasusnya ke satgas kekerasan sekual yang ada di kampus. Lagi-lagi nihil, laporannya berhenti di tengah jalan.
Yara tak berjalan sendirian. Salah satu dosennya, Azzah, turut membantu melaporkan kasus tersebut ke pihak kampus. Azzah sebagai salah satu dosen di kampus Yara mengaku terpanggil untuk turut membantu korban mendapatkan haknya.
Namun ia tidak mendapatkan respons aktif dari Satgas KS. “Memang saat itu Satgas KS di kampus kita sedang ada penghargaan kelembagaan responsif gender terbaik.”
Hal itu yang diduga membuat para anggotanya sibuk dan terkesan mengenyampingkan laporan kasus Yara. “Ya sangat disayangkan sebenarnya, satgas KS itu idealnya melakukan pendampingan sampai tuntas ya, bukan hanya sekadar memenuhi administratif saja,” ujar Azzah (15/06/2023).
Saat ini Yara hanya menginginkan banyak orang tahu kisah sebenarnya yang ia alami. Ia tetap berupaya mencari haknya bersuara.
“Aku tidak berharap semua orang mau percaya kisahku, tetapi aku mau paling tidak orang-orang itu tahu ada cerita versiku yang selama ini tak tersampaikan.”
Butuh Dukungan Orang Terdekat
Upaya jatuh bangun pulih dari trauma pelecehan seksual juga dialami mahasiswi kampus negeri di Solo, Gayatri (nama samara). Senasib dengan Yara, Gayatri mendapatkan perlakuan yang tidak diinginkan oleh senior di tempat magangnya. Pada September—Oktober 2022, ia ditugaskan kampus untuk magang di Surabaya bersama kedua temannya.
Gayatri merasa dibedakan dengan mahasiswa lainnya. Ia yang tidak bisa berdandan kerap kali tidak dipedulikan kehadirannya saat berbincang. Selama magang di sana Gayatri juga sering kali menjadi sasaran emosional para senior.
“Paling sakit, tuh, aku dibilang gak bisa apa-apa. Kalau salah dikit langsung dibentak, sambil diomelin dan bentak-bentak dan melotot, kan gak wajar ya. Padahal yang salah siapa, tapi yang kena marah tuh aku,” ungkapnya (16/06/2023).
Sebagai mahasiswa magang, Gayatri merasa menjadi “pesuruh”, pembagian tugas yang timpang menuntut ia untuk bisa melakukan segala hal. Di samping lingkungan kerja yang tidak nyaman. Gayatri kembali mendapatkan musibah perlakuan kekerasan seksual terhadap dirinya.
“Senior aku tuh udah cukup berumur ya, tapi enggak tua-tua banget mungkin umur 50-an. Awalnya dia tuh kalau deket aku sukanya merangkul. Lama-kelamaan megangnya tuh makin ke bawah gitu.”
Mulanya ia menganggap itu hal yang wajar dilakukan layaknya orang tua kepada anaknya, tetapi tubuhnya merasakan ketidaknyamanan akan hal itu. “Aku tuh mau berusaha mindahin tangannya tapi enggak bisa, rasanya tuh kaya nge-freeze gitu. Pengin lari tapi enggak bisa, rasanya seaneh itu,” kata dia.
Tekanan yang didapatkan Gayatri selama magang kemudian semakin mengganggu psikisnya. Ditambah lagi ia belum lama kehilangan ayahnya.
Tak ada satu haripun dilewatinya tanpa menangis. Gayatri terus saja merutuk dan menyalahkan dirinya. Hingga akhirnya sang kakak membawanya periksa ke psikiater. Hasilnya, ia didiagnosa mengalami depresi.
Melihat anak terakhir dalam keluarganya itu mengidap gangguan mental, Gayatri merasakan dukungan positif dari keluarganya. Ibunya melaporkan apa yang didapatkan Gayatri semasa magang kepada pihak kampus. Alhasil, Gayatri dipindahtempatkan ke daerah Solo.
Meski sudah berada di tempat yang baru, ia belum sepenuhnya bisa sembuh dari rasa traumanya. Namun, Gayatri selalu berusaha untuk kembali ke dirinya yang dulu. Ia berupaya melupakan kesedihannya dengan menulis, membiasakan dirinya kembali mengikuti kegiatan-kegiatan yang ia suka, dan menyelesaikan skripsinya.
Menurut Gayatri, dukungan dari orang-orang terdekat memang perlu. Tetapi yang terpenting adalah penyembuhan dalam diri sendiri. “Aku yakin Tuhan itu sayang dengan memberikan kita kekuatan untuk melalui semuanya,” tegas dia.
Konselor psikologi Rifka Annisa, Ama, membenarkan sikap para korban pelesehan seksual yang mau speak up. Menurutnya, pengungkapan kasus kekerasan seksual sangat perlu dilakukan agar tidak berulang. Ia juga menegaskan pentingnya speak up untuk memperoleh keadilan.
“Untuk teman-teman perempuan, kita punya hal-hal untuk bisa mengantisipasi, misalnya membangun keberanian diri sendiri, tidak ada salahnya kita belajar self-defense supaya tubuh kita terbiasa bereaksi ketika ada sesuatu yang mengancam jadi kita bisa melawan,” kata Ama.
“Setidaknya berani lari atau berani teriak, untuk melawan seperti ini kita memang perlu speak up. Jangan diam!” tegasnya.
Baca selengkapnya: https://www.lpmlocus.com/bagaimana-idealnya-satgas-ppks-di-kampus/
Artikel ini merupakan bagian dari Workshop dan Fellowship Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan AJI Kota Surakarta
Reporter: Alfida, Denies, Nurul
Penulis: Alfida
Editor: Aqil