Sumber ilustrasi: Pinterest/Daily Bruin
Upaya memberikan perlindungan mahasiswa dari kasus pelecehan seksual di kampus sebenarnya ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dua tahun lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permen No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Hal ini didukung oleh Menteri Agama dengan menerbitkan Permenag RI No. 37 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementrian Agama.
Pada Februari 2023 ini, laman kemndikbud.go.id menyatakan 100 persen PTN (perguruan tinggi negeri) di Indonesia telah membentuk Satgas PPKS atau yang bertugas mencegah terjadinya kekerasan seksual serta menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Disusul dengan 20 PTS (perguruan tinggi swasta).
Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) sejak tahun 1998 turut andil dalam penanganan kasus kekerasan seksual khususnya di Soloraya. Manajer Divisi Penanganan Kasus SPEK-HAM, Fitri Haryani, mengungkapkan. Selama satu tahun ada 2-3 kasus laporan kekerasan seksual yang berada di ranah perguruan tinggi di Solo.
Ia menanggapi Satgas KS yang dibentuk oleh perguruan tinggi idealnya memiliki mekanisme tata laksana yang jelas dan juga jaminan kepada mahasiswa untuk menciptakan ruang aman dalam pendidikan.
“Kalau itu bisa diciptakan mesti banyak yang melakukan pengaduan. Karena sudah ada upaya penanganan yang jelas. Seperti bantuan layanan psikologi korban dan pemberian sanksi kepada pelaku,” imbuhnya (17/6).
Selain itu, Fitri menjelaskan proses pencegahan dan pengawasan ini perlu didukung oleh lembaga keorganisasian mahasiswa.
“Keorganisasian mahasiswa mesti berperan serta juga dalam melakukan pengawasan, karena mereka yang lebih dekat dengan mahasiswa. Dengan begitu akan ada dialog atau audiensi baik dengan Satgas setempat maupun rektor dalam upaya perbaikan kampus,” kata Fitri.
Jangan Dibalas dengan Kekerasan
Kendati mendukung pencegahan kekerasan seksual, Fitri sangat menolak dan tidak membenarkan balas dendam atas kekerasan seksual dengan kekerasan fisik. Apalagi, kekerasan fisik sangat tidak dibenarkan dalam hukum.
“Kerap kali nafsu menghukum kita itu lebih tinggi dibandingkan pemulihan hak-hak korban. Ini yang perlu dipahami bersama, agar kemudian penanganan yang dilakukan tidak hanya sebatas mencari siapa salah siapa yang benar. Kita perlu memberikan akses ke adilan khususnya bagi korban KS.”
Ketua Pusat Studi Gender dan Anak sekaligus ketua Satgas KS UIN Surakarta, Khasan Ubaid, menanggapi perlu adanya pemahaman perspektif pro penyintas kepada seluruh civitas akademika untuk upaya penanganan kekerasan seksual di kampus. “Satgas KS di kampus kami masih dalam taraf pencegahan dan sosialisasi saja, untuk tahap penindakan tetap rektorat yang memiliki kewenangan. Jadi kami lebih fokus pada korban, dalam hal ini upaya konseling yang dibutuhkan oleh korban,” ungkapnya saat diwawancarai Tim Locus pada (22/6/2023).
Setelah proses pelaporan, Satgas KS di UIN akan melakukan proses klarifikasi secukupnya kepada terduga pelaku. Setelah proses klarifikasi ini kemudian dibentuklah rekomendasi agar ditindaklanjuti oleh pimpinan untuk pembuatan tim adhoc dalam penyelesaian kasusnya.
“Pencegahan dan penanganan ini tidak bisa kita selesaikan di satu rumah, karena menghukum orang dalam satu rumah itu bukan urusan mudah. Ada ewuh pakewuh bahkan intimidasi penghambatan kepangkatan, di luar Solo terjadi seperti itu,” imbuhnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Workshop dan Fellowship Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan AJI Kota Surakarta
Reporter: Alfida, Denies, Nurul
Penulis: Alfida
Editor: Aqil