source by : astra-agro.co.id
Sebuah ringkasan singkat:
Dari sebuah buku ‘Kehampaan Hak’ menyoroti bilur-bilur konflik perkebunan sawit, menambahkan referensi untuk memahami konflik antara masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit. Buku ini merupakan hasil penelitian sejak tahun 2018 yang memiliki tujuan penelusuran pola umum insiden konflik sawit di Indonesia yang menunjukkan adanya 150 insiden konflik sawit di empat provinsi, antara lain Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan Riau. Dalam 20 tahun terakhir, tercatat 544 konflik di empat provinsi tersebut. Singkatnya, tujuan penulis buku ini adalah menemukan cara menyelesaikan konflik dengan lebih efektif di masa depan.
Penulis buku tersebut menyiratkan banyaknya perusahaan kelapa sawit yang acapkali berjaya mengambil alih tanah masyarakat dikarenakan adanya peraturan formal juga hubungan informal mengakibatkan masyarakat perdesaan kehilangan atas haknya terhadap tanah miliknya. Kolusi besar-besaran antara dunia usaha dan politik telah melemahkan banyaknya hak masyarakat. Alhasil masyarakat melakukan perlawanan tanpa adanya hak yang nyata bukan lagi mengandalkan hukum ataupun hak sipil formal melainkan, masyarakat fokus kepada peningkatan posisi masyarakat terhadap dunia usaha dan memvalidasi tuntutan mereka biasanya berdasarkan pada praktik sosial dan norma yang ada. Sebagian besar upaya yang telah dilakukan masyarakat berujung tidak efektif karena banyak kegagalan yang dilalui untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Menurut Ward, minimnya hak dapat dipahami dalam arti bahwa meskipun secara hukum masyarakat mempunyai hak-hak sipil, namun pada kenyataannya hak-hak tersebut tidak ditegakkan. Dalam kekosongan hak ini, masyarakat merasa hukum tidak ada artinya. Perintah tertulis formal seringkali tidak dilaksanakan dengan benar. Perusahaan sering kali mengabaikan tanggung jawabnya. Pengalaman tersebut menyadarkan warga akan kurangnya hak, sehingga memberikan strategi bagi masyarakat untuk tidak menuntut haknya berdasarkan undang-undang atau kebijakan yang ada, namun melalui negosiasi informal. Masyarakat meningkatkan strateginya untuk mendapatkan dukungan dari perusahaan dan pemerintah kota yang berjuang dalam posisi negosiasi, sehingga perusahaan pada akhirnya siap untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan mengenai isu-isu pragmatis.
Ward mengatakan buku tentang hak asasi manusia perkebunan kelapa sawit menawarkan beberapa solusi praktis bagi pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang ada, seperti perlunya membentuk badan mediasi baru untuk menyelesaikan konflik dan agar pemerintah lebih tegas terhadap perusahaan yang melanggarnya terkhusus pada kebijakan peraturan, sementara itu perlu adanya debat politik dan diskusi publik mengenai peran pemerintah Indonesia dalam sektor kelapa sawit, karena sekitar 63 persen wilayah negara ini berada di bawah kendali pemerintah karena warisan buruk pemerintahan kolonial Belanda yang disebut transfer domain. Domaineinverklating bukanlah sebuah pasal untuk mensejahterakan bangsa Indonesia saat itu. Warga negara Indonesia masih belum bisa memiliki tanah di kawasan hutan dan tidak ada hak disini, ironisnya pemerintah Indonesia kemudian menggunakan pendaftaran domain untuk memberikan izin usaha kepada perusahaan, padahal sudah ada warga yang sudah tinggal atau bekerja di negara tersebut secara turun-temurun.
Memahami isi buku dengan memberikan sebuah cara pandang:
Saya sangat apresiasi dan setuju kepada penulis mampu memotret dengan detail permasalahan yang secara tipikal dialami oleh masyarakat agraris. Bagaimana menyoroti aspek ekonomi politik menjadi bahasan penting dalam buku ini. Aspek-aspek transaksional bekerja meregulasi hubungan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Kemudian juga memberikan penekanan terhadap pentingnya transparansi Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pemerintah kepada perusahaan sawit. Menurutnya, ketidaktransparansi HGU inilah yang menjadi sumber produksi kehampaan hak yang dialami warga desa.
Buku ‘Kehampaan Hak’, berisikan sebuah kajian menarik yang memberikan perpektif baru tentang karakterter kewarganegaraan dan hak-hak warna negara di Indonesia. Buku kehampaan hak ini menyebutkan bahwa korporasi kelapa sawit hanya peduli pada keegoisan mereka sendiri dan lebih menekankan pada orang-orang yang biasanya menderita. Hal ini benar adanya namun, dalam menyelesaikan konflik yang belum terselesaikan juga tampaknya tidak tepat, meskipun terdapat penghitungan data yang sistematis. Sebab penyelesaian sengketa di luar pengadilan memakan banyak waktu bagi perusahaan sawit yang bersengketa. Selain itu, di dalam buku juga memaparkan proses strategis dimana masyarakat berhasil memenangkan haknya di pengadilan, namun tidak pernah mencapai penyelesaian atau hasil yang layak. Terkait dengan kritik buku, timbul pertanyaan, bagaimana hubungan Otto Hospen dan Ward Berendschot dengan sudut pandang pemerintahan saat ini?
Mereka mencoba untuk percaya bahwa pemerintah saat ini adalah oligarki, namun mereka meminta pemerintah untuk bertindak terhadap perusahaan-perusahaan yang curang. Jika menganut cara berpikir awal, maka disarankan untuk meyakinkan masyarakat kelas bawah mereka yang selamat dari konflik harus melakukan tindakan pemberontakan agar suaranya didengar oleh pemerintah. Artinya Otto Hospen dan Ward Berendschot sependapat dengan pemikiran teoritis filsuf Karl Marx yang menganjurkan perubahan intrakelas pada masyarakat proletar melawan masyarakat borjuis, dengan begitu keinginan masyarakat yang terkena dampak permasalahan sengketa lahan bisa membuahkan hasil yang sesuai harapan dan keinginan.
Beberapa provinsi di Indonesia banyak sektor perkebunan perusanaan terbesar ada di perkebunan kelapa sawit, bahkan banyak perusahaan kelapa sawit yang illegal belum memiliki ijin, perusahaan beroperasi menggarap terlebih dahulu kemudian baru mengusulkan perijinannya kepada pemerintah, jadi istilahnya ada faktor keterlanjuran bahwa hutan ataupun lahan tersebut sudah terlebih dahulu di kerjakan. Kemudian aktifitas yang perusahaan lakukan juga banyak dilakukan di wilayah-wilayah ruang hidup masyarakat adat, di wilayah masyarakat adat, hutan-hutan yang dimiliki masyarakat adat, yang merupakan sumber kehidupan dari masyarakat adat.
Pada prosesnya kemudian menempatkan masyarakat adat semakin terpinggirkan, bahkan tidak jarang terjadi adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat sebagai pemilik dari wilayah adat tersebut. Kasus ini terjadi sangat luas dan sering dialami oleh masyarakat yang terdampak dari adanya perusahaan kelapa sawit. Banyak cara yang perusahaan lakukan untuk bisa masuk kemudian mengambil, merampas ruang hidup masyarakat adat, mereka bisa mempengaruhi orang- warga kampung, komunitas, interpensi terhadap pemerintah baik itu pemerintah kabupaten, provinsi maupun pusat. Jadi kebanyakan perusahaan kelapa sawit di Indonesia ini bukan masuk beroperasi atas kesukarelaan dari masyarakat tetapi karena adanya paksaan menerima, ini yang dianggap tidak baik dan sangat merugikan masyarakat adat maupun terhadap lingkungan.
Kehampaan hak, ini sesuatu yang sangat menyedihkan ketika masyarakat di Eropa menggunakan hasil dari sawit entah itu digunakan sebagai bahan bakar minyak transportasi atau kebutuhan kosmetik maupun obat dan lainnya, sementara yang terjadi di Indonesia sebagai pemilik atau produksi minyak sawit banyak yang terampas haknya, bahkan banyak yang menderita, ada korban jiwa dalam kasus ini atas proses-proses menghasilkan minyak sawit maupun produk-produk yang berasal dari sawit yang kemudian dinikmati oleh masyarakat atau warga di Eropa.
Apa yang terjadi pada seluruh kasus perkebunan kelapa sawit yang dibahas dalam buku ini menunjukkan lemahnya negara dari sudut pandang administrasi publik. Faktanya, negara tampaknya tidak berniat menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Dalam administrasi publik nampaknya terdapat kebijakan publik. Seiring dengan perkembangan daerah, bisa bersifat lokal. Meskipun UUD 1945 menetapkan bahwa seluruh harta benda di Indonesia dikuasai negara, namun sebenarnya dikuasai oleh swasta atau dunia usaha. Secara politik, Indonesia saat ini dikuasai oleh oligarki yang sangat kuat dibandingkan pada masa Presiden SBY dan Presiden Soeharto. Kolonisasi akan berlanjut hingga tahun 2045, dengan sistem politik yang masih sama, dan oligarki semakin kuat seiring berjalannya waktu. Jika oligarki masih sangat kuat di tahun 2045, maka pengusaha akan semakin kuat, dan rakyat akan semakin tidak bahagia. Jadi bahwa tahun 2045 bukanlah masa kejayaan atau digadang-gadang sebagai Indonesia emas melainkan masa kehancuran.
Pada akhirnya dalam penyelesaikan konflik, banyak perkebunan kelawa sawit yang telah didirikan di atas tanah masyarakat tanpa menghormati hak adat dan hak hukum mereka atas tanah tanpa adanya persetujuan bebas yang lebih dahulu dan memberikan informasi kepada masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu sebab musabab adanya konflik lahan yang secara terus menerus antara perusahaan kelapa sawit dengan komunitas lokal maupun masyarakat adat. Konflik lahan yang tidak menghormati dan menghargai keputusan bebas masyarakat atas tanah. Bagaimana hal ini dapat diselesaikan?
Referensi:
Afrizal. (2007). The Nagari community, Business and State: the origin and process of contemporary agrarian protest in West Sumatera Indonesia. Bogor: Universitas of Andalas and Sawit watch.
Berendschot, Hospen, & Dkk. (2023). Kehampaan Hak. Yayasan Obor Indonesia.
Mackey, & Fergus. (2004). Hak Masyarakat Adat atas Kebebasan, Prioritas dan Informasi Persetujuan dan Tinjauan Industri Ekstraktif Bank Dunia. Berkelanjutan Hukum dan Kebijakan Pembangunan, 43-65.
Penulis: Bidiyah Siska Fiyana, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta