Dilema Lulusan Filsafat UIN: Milih Jadi Modin KUA atau Filsuf Kabur Kanginan?

  • By locus
  • Desember 1, 2024
  • 0
  • 135 Views

Mati tak segan, hidup pun tak mau. Tak mudah hidup sebagai lulusan Filsafat, memilih mati pun ya mana berani. Menurut Filsafat UIN, bunuh diri itu dihukumi menyalahi akidah. Saya sendiri juga takut, bukan karena takut masuk neraka, tetapi takut kalau Gusti Allah tak ridho. Itu lebih susah perkaranya!

Saya lulusan Filsafat tahun 2023 kemarin, meskipun Filsafat UIN, tetapi tetap mengalami dan kini sedang merenungi kembali pertanyaan klise: “jurusan filsafat sok nek lulus dadi opo?” Sebenarnya sih, lulusan Filsafat UIN masih agak bisa berkompromi karena sekarang gelarnya Sarjana Agama, masih sangat bisa kalau mau ngenger urip di lingkup Kementerian Agama, minimal jadi pegawai KUA.

Sore kemarin, saya disarankan Pak Lik saya untuk kerja di KUA, kebetulan penghulunya sudah pada pensiun. Cuma saya kok sama sekali tidak ada kepikiran berlabuh ke situ. (Semoga Gusti Allah tidak menggoreskan garis takdir saya di lingkup itu. Berat!). Idealisme saya masih umup, tidak tau kapan dinginnya.

Saya masih ingat sekali, setelah gap year satu tahun karena gagal masuk jurusan Matematika di PTN tahun 2018. Saya lalu memutuskan banting setir kuliah jurusan Filsafat. Tentu agar tidak gagal lagi, saya memilih Filsafat UIN, selain karena terjangkau pasti juga sepi peminat. Saya akhirnya mulai berkuliah di tahun 2019.

Kenapa kok memilih Filsafat, tidak Matematika lagi? Rumit menjawabnya. Cuma yang jelas, waktu itu saya sedang patah hati, terus kok ketemu puisi-puisinya Cak Nun, dan malah candu untuk mengoleksi tulisan-tulisan beliau itu. Akhirnya, muncullah ketertarikan di benak saya ingin berkuliah di jurusan Filsafat. Dan, alhamdulillah kini sudah dapat gelar sarjana.
Sekarang, saya malah harap-harap cemas. Bagaimana tidak? Sebagai anak sulung, lahir dari keluarga yang sangat pas-pasan, Bapak sudah buru-buru pergi ke surga sejak saya kelas 1 SMP, dapat bapak baru juga tidak cukup membantu secara ekonomi. Kini, saya jadi harapan tinggi bagi orang tua. Sudah ada panggilan—baik secara langsung maupun tidak langsung—untuk sesegera mungkin mengangkat derajat ekonomi orang tua.

Seperti kata pepatah ada banyak jalan menuju Roma. Pasti ada banyak jalan juga untuk mengangkat derajat ekonomi orang tua. Akan tetapi, apakah salah satunya jalan Filsafat? Tidak tahu juga. Seandainya ada pun, jalan Filsafat sungguh sangat terjal. Mungkin lebih mulus kalau dulu saya ambil jurusan Ekonomi Bisnis, IT, Komunikasi, yang sangat jelas lebih banyak loker di bidang itu. Atau minimal kembali mengejar impian yang dulu gagal, masuk jurusan Matematika. Setidaknya, akan lebih mudah jadi guru.

Saya malah jadi teringat. Waktu silahturahmi ke TU Aliyah minta legalisasi ijazah guna keperluan pendaftaran bidikmisi, kenapa dulu tidak patuh saja sama saran guru kimia aliyah untuk ganti jurusan. Mungkin, saya sekarang sudah bisa sukwan. Minimal saya bisa memanfaatkan ijazah saya secara lebih proper dalam rangka mengangkat derajat ekonomi orang tua.

Lulusan Filsafat Cuma Bisa Mikir?

Hati dan pikiran saya jadi kian nggrantes setelah membaca tulisan Mas Abdul Manar, lulusan Magister Filsafat UGM, yang dimuat Mojok.co pada tahun 2018 lalu. Dia menerangkan kalau lulusan Filsafat paling jauh cuma dianggap bisa mikir. Ada benarnya sih karena memang “stereotipe” anak Filsafat itu kakean mikir. Dan, malah saya itu masih ada keinginan lanjut kuliah lagi di jurusan Filsafat kalau dapat beasiswa. Filsafat UGM juga jadi salah satu opsi saya.
Memangnya apa yang mesti dibanggakan sebagai lulusan Filsafat UIN? Saya sendiri masih mencari-cari itu. Pemahaman Filsafat juga sangat nanggung. Membayangkan diri bisa jadi lulusan Filsafat UIN paling tidak 1000 tingkat di bawah Pak Fahruddin Faiz saja sudah bikin kepala rasanya ingin meledak. Susah!
Keterampilan yang mungkin bisa dibanggakan bagi seorang lulusan Filsafat paling-paling: nulis. Itu pun kalau diasah betul-betul. Saya sebenarnya bisa nulis, tetapi keterampilan nulis saya pun juga nanggung. Dalam hati, pengen rasanya saya itu seminal-minimalnya KW 1000 bisa seperti Mas Puthut. Lulusan Filsafat (UGM) yang sangat produktif menulis. Bisa dapat royalti banyak dari menulis. Apalagi buku terakhirnya yang mengulas “jalan kesatria” Komandan Pacul beberapa waktu lalu “laku keras”.

Membayangkan diri bisa nulis seperti Mas Puthut saja sudah berdarah-darah rasanya. Apalagi membayangkan bisa jadi seperti Mas Martin, yang nulis buku-buku “setebal bantal” dengan tema-tema Filsafat yang rumitnya bisa melebihi hati perempuan. Apalagi membayang diri bisa menjadi Filsuf, yang goal-nya bisa bikin “sistem filsafat” sendiri untuk menafsir keadaan dunia.

Sebuah Harapan (?)

Sebenarnya, kata Mas Martin, kondisi sosiologis di Indonesia sangat mendukung tumbuhnya pemikiran untuk memproduksi sistem filsafat. Tinggal di Indonesia, seseorang yang ingin hidup sebagai filsuf di era ini sering kali harus menjadi “filsuf sementara”: kadang-kadang filsuf, kadang-kadang bukan. Terkadang menulis tentang realisme ‘in re’ dalam Filsafat Sains, terkadang menulis sastra, terkadang menjadi panitia pemilu, juru transkrip diskusi komunitas, komentator politik, dosen kontrak untuk mata kuliah ‘menulis kreatif’, sampai jadi joki tugas akhir (nangis!). Atau, bahkan jadi driver ojol.

Saya tegaskan lagi, di Indonesia, tulis Mas Martin, orang yang ingin menjadi filsuf dan bisa terus menyambung nafas kehidupan harus pandai-pandai mengatur subsidi silang: menulis artikel politik di koran, menjadi joki tugas akhir untuk mendanai penelitian filsafat, atau menjaga stand es teh jumbo untuk menutup bengkakan biaya fotokopi berjilid-jilid Cambridge History of Philosophy. Akan tetapi justru dari situ, wawasannya tentang keterkaitan antar berbagai aspek kenyataan hidup—cikal bakal konsepsi tentang sistem—terbentuk.

Kesadaran akan hubungan antar cabang ilmu dan kebudayaan justru tumbuh ketika sang filsuf dikondisikan dalam keadaan ekonomi semacam itu. Menariknya, kondisi ini mirip dengan Eropa abad ke-17. Spinoza, misalnya, bekerja sebagai tukang asah lensa kacamata untuk membiayai penulisan traktat Ethica, ordine geometrico demonstrata. Setiap jam lima pagi, Descartes harus bekerja sebagai guru les ratu Swedia tentang topik yang tidak disukainya, yaitu cinta—pekerjaan yang juga membuatnya mengidap pneumonia akut dan mati sesak nafas.

Singkatnya, kata Mas Martin, menjadi filsuf di Indonesia hari ini serupa dengan menjadi filsuf di Eropa abad ke-17. Keberkahannya justru tersembunyi di balik situasi semacam itu sebagai suatu prakondisi material bagi perumusan sistem filsafat agar tercapai di Indonesia. Jadi, filsuf harus belajar berpikir tentang keterhubungan antar berbagai aspek kenyataan untuk menyusun sistem filsafat jika tidak ingin hidup lapar atau menjadi birokrat lembaga pendidikan.

Saya jadi bingung, apakah hal yang disampaikan Mas Martin adalah angin segar atau justru angin topan? Apakah lulusan Filsafat UIN seperti saya ini mampu? Entahlah. Diri saya sendiri saja serba nanggung dan kabur kanginan, begini. Akan tetapi, saya jadi ingat perkataan Mas Sabrang, “jalan paling mudah dalam hidup ini adalah MATI, cuma kalau mati itu bukan pilihan, mau tidak mau, ya harus ber-ADAPTASI, sih.” []

Oleh: Ahmad Miftahudin Thohari

Editor: Izza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.