Dominasi: Tak Ramah Lingkungan Hidup

  • By locus
  • Mei 10, 2022
  • 0
  • 443 Views

Sesekali, menampilkan diri sebagai bagian dari upaya mendemonstrasikan eksistensi keberadaan kita dalam satu lingkup kerumunan massa merupakan sesuatu yang penting untuk proses lita’arafu. Akan tetapi, lebih dari itu apa yang kita sebut sebagai “pertunjukkan eksistensi” adalah satu bentuk arogansi yang menjemukan. Kita memang diberi ruang kebebasan guna mengekspresikan eksistensi kedirian kita, tetapi itu terbatas pada ruang-ruang kebebasan milik liyan.

Betapa pun melimpah air kebebasan yang dapat kita teguk, secara manusiawi, tentu kita tidaklah lantas menghabiskannya dengan serta merta tanpa menghiraukan nasib yang liyan. Ini prinsip silaturahmi dan merupakan landasan soal tentang masalah toleransi. Tidak boleh ada kooptasi kepemilikan penuh atas sesuatu hal, di mana sesuatu hal tersebut adalah milik bersama. Itu adalah satu bentuk analogi sederhana tentang eksistensi diri dan masalah kebebasan—alih-alih masalah demokrasi—. Termasuk kalau kita mau bersikap moderat, menampilkan diri seolah sebagai sosok yang paling berkuasa adalah tindakan yang tidak moderat.

Melebar sedikit. Seandainya demokrasi merupakan suatu jenis interaksi dialektis antar semua pihak yang terlibat dalam upaya memberikan kemaslahatan umat. Maka, ketika hanya ada satu pihak yang kemudian mendominasikan keberadaan dirinya secara “absolut”, di saat itulah roda demokrasi bisa dikatakan tidak lagi berputar. Bahkan, bukan tidak mungkin kemaslahatan umat yang menjadi tujuan penting diadakannya demokrasi sudah tidak bisa lagi diharapkan. Dalam banyak hal, kita harus mengakui bahwa tidak ada muatan yang benar-benar sehat dalam semangat dominasi. Dominasi itu tidak ramah lingkungan hidup. Dominasi selalu menyimpan tendensi-tendensi yang bukan untuk bersama.

Baiklah, kita memang tidak boleh lugu dalam melihat dan memahami politik, apalagi dalam bermain politik. Kalau kita tidak siap dan tidak sudi didominasi, maka kita harus mendominasi. Lebih ekstrim lagi, kalau kita tidak mau “dibunuh”, maka kita harus “membunuh”. Begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, apakah tujuan utama adanya politik adalah hanya sebatas untuk saling mendominasi dan bahkan untuk saling “membunuh”? Tidakkah ada tujuan yang lebih mendasar, misalnya tentang nasib umat (baca: warga, rakyat)?

Saya sebagai warga atau masyarakat umum begitu memimpikan jauhnya agenda-agenda perpolitikan yang “notabene” berorientasi pada kemaslahatan umat dari segala bentuk tendensi-tendensi politik yang penuh dengan kepentingan diri maupun golongan. Bahkan, saya membayangkan sungguh indahnya dunia kalau menjelang digelarnya pesta demokrasi itu tidak ada simbol-simbol partai berjejalan memenuhi pandangan mata. Alasan saya sederhana, betapa sudah suntuk dan jemu penglihatan sekaligus perasaan saya dengan aneka simbol-simbol dan jargon-jargon klise atas nasib rakyat.

Toh, secara ideal-esensial adanya partai atau apapun yang menjadi wadah seseorang untuk meng-”identitas”-kan dirinya adalah sebatas sebagai jembatan atau terminal yang seharusnya bisa menghantarkan seseorang tersebut bisa berpikir universal. Universalitas menjadi pusat atau bagian paling vital dalam cara seseorang tersebut berpikir. Tidak lagi terkotak dalam mode pikiran yang parsial-sentris. Artinya, bukan lagi partai yang menjadi orientasi pikiran dan tujuan politik seseorang tersebut, melainkan masalah kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. Partai atau apapun yang sejenis itu sesungguhnya hanyalah penghantar agar seseorang mampu menjadi agent of change dalam arti yang sebenarnya.

Tentu, dalam hal ini saya sangat layak untuk dibilang naif. Namun, bersikap naif dalam hal-hal tertentu adalah sesuatu yang amat penting untuk dilakukan agar pikiran kita tetap berada dalam kuda-kuda kejernihan nilai. Menaruh sikap naif dalam batas tertentu setidaknya merupakan salah satu bentuk dari upaya kita menjaga idealitas nilai. Tidak selamanya kita hanya harus memahami dan memaknai segala sesuatunya berdasarkan realita yang terjadi (das sein). Sesekali, kita juga harus memahami dan memaknai segala sesuatunya berdasarkan ekspektasi idealnya (das sollen). Ini sangat berlaku dalam soal perpolitikan, kapan dan di manapun itu.


Lebih jauh lagi, secara prinsip etik misalnya, dalam rangka proses kita mengabdi dengan berusaha agar keberadaan kita bermanfaat bagi masyarakat secara menyeluruh, sesungguhnya identitas bukanlah sesuatu yang harus ditonjol-ditonjolkan —alih-alih diarogansikan secara dominatif. Karena yang terpenting, yang harus utama kita tonjolan dalam sebuah pengabdian adalah tentang tindakan apa yang kita berikan untuk kemaslahatan masyarakat atau warga.

Seandainya pengabdian kita maknai secara suci sebagai bentuk “dharma” luhur kita untuk nasib kehidupan masyarakat, maka sebuah apresiasi dalam wujud pengakuan massa sama sekali bukan menjadi parameter keberhasilan kita dalam mengabdi. Bahkan, kita “dilarang” mengharapkannya. Dalam hal pengabdian, tugas kita adalah mengabdi dan tidak ada yang lebih penting ketika kita mengabdi selain menghilangkan segala simptom-simptom yang sifatnya arogan. Andaikan pun, kita membutuhkan adanya pengakuan, satu-satunya yang harus mengakui atau mengapresiasi itu adalah diri kita sendiri. Hal itu tidak perlu untuk kita umumkan ke khalayak ramai: bahwa diri kita adalah yang paling mengabdi. Esensi pengabdian adalah dalam teguhnya komitmen batin kita terhadap sesama, yang manifestasinya tampak dalam setiap tindak-perbuatan kita untuk sesama.

Sayangnya, kesadaran hidup kita lebih banyak memang sering mengalami insomnia komitmen dan ketabahan batin. Kita juga terlampau sering mengalami bocor-bocor psikologis dalam memaknai perjuangan. Jiwa perjuangan kita hari ini sangat sibuk dalam mengejar arti penting dari “eksistensi diri”. Dengan cara melupakan makna sejati dari apa yang disebut sebagai “esensi diri”. Kita sedang berada dalam satu kondisi surplus besar-besaran dalam sektor “eksistensi”. Sedangkan di lain sektor, “esensi” kita mengalami kondisi defisit yang bukan main memprihatinkannya.

Sebagai kaum terpelajar, problem yang akan terjadi ketika kita jauh lebih mementingkan perkara eksistensi (hal-hal yang bersifat wadag) ketimbang perkara esensi (hal-hal yang bersifat esensial). Hal ini berarti jiwa kita akan terjebak masuk ke dalam lubang arogansi sikap dan pengetahuan, sekaligus kaki kita akan terserimpung oleh tali-tali kesombongan intelektual. Kalau sudah demikian, sesungguhnya kenyataan hidup kita sudah seperti seorang anak bungsu yang berlaku durhaka kepada ibu sejarah yang telah melahirkan diri kita. Sikap kita begitu nranyak. Sesegera mungkin kita memang harus segera insyaf.

Penulis: Anonim

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.