Kehidupan tidak akan bermakna apapun, jika bukan diri kita yang memaknai adanya kehidupan tersebut. Justru, kehidupan akan menjadi hantu paling menakutkan dalam benak kesadaran hidup yang kita jalani, apabila kita tidak mau dan berusaha memahami ritmenya. Ketiadaan pemaknaan terhadap hidup yang kita jalani—dengan segala atribut-atribut yang menghiasinya—adalah seni (cara) paling gampang untuk membuat kehidupan yang kita jalani penuh sesak dengan tekanan-tekanan yang malah akan membunuh hidup kita secara perlahan dan estetik.
Mengapa kita sering merasa stress (tertekan), sering merasa paling tidak bahagia, paling rendah, paling susah sendiri? Saya mengatakan, karena jauhnya kita dari apa yang disebut oleh Dilthey dengan istilah, lebenphiloshopie, filsafat kehidupan. Seringnya kita terdistraksi ke dalam jurang kegamangan pikiran dan lembah kebimbangan hati, adalah akibat dari gagalnya kita dalam memahami dan memaknai kehidupan secara tepat. Betapapun memang banjir virus-virus pembodohan, dan upaya memanipulasi kesadaran yang dilakukan para cecunguk elite kuasa menjadi faktor yang tidak bisa dinafikan dalam kancah realita yang berjalan (dijalankan). Soal itu, justru di sisi lain, adalah menjadi tantangan kita bersama baik secara politis, intelektual, juga kebudayaan. Tetapi, secara sikap diri, soal stress tidaknya kita nantinya, segala sesuatunya kembali ke dalam diri masing-masing kita dalam bersikap.
Saya tidak akan membawa persoalan tersebut secara jauh dan detail dalam tulisan ini. Sebab, kita masih perlu banyak belajar untuk setidaknya mampu menggebrak gedung kenyamanan kuasa yang sungguh-sungguh mesti “dirobohkan” (disadarkan). Tetapi, kembali pada persoalan sikap diri, sebagai pribadi, kita mesti punya kepekaan utamanya terhadap diri kita sendiri, dan lingkungan yang mengitari kita. Tujuannya, agar kita mampu mengendalikan diri kita sendiri, sehingga mampu memahami diri dan kehidupan yang kita jalani. Seandainya, tahap ini tidak bisa sukses kita lalui, saya kira kita akan sangat kesulitan untuk membangun sebuah gerakan yang progresif di wilayah yang sifatnya makro, masif.
Memahami—dan menyelesaikan problem—diri sendiri dalam posisi ini menjadi sangat penting dilakukan untuk kemudian bisa direfleksikan ke dalam wilayah kehidupan yang lebih bersifat sosial. Melewati tekanan, menyelesaikan masalah dalam diri sendiri adalah modal awal seseorang bisa berhasil dalam hidupnya—dalam konteks yang lebih besar. Sebagai contoh masalah misalnya, yang dalam masa dewasa ini biasa disebut dengan masa milenial pada akhirnya menjadi masa yang “memunculkan” istilah baru dalam siklus kehidupan, yakni istilah Quarter-Life Crisis (QLC). Quarter-Life Crisis seolah menjadi wacana (diskursus) “baru” dalam dunia psikologi, khususnya bagi kalangan remaja menuju dewasa—lebih-lebih menjadi ”momok” amat menakutkan bagi mereka.
Quarter-Life Crisis sendiri dalam definisi umumnya merupakan siklus atau periode kehidupan yang penuh ketidakpastian dalam proses pencarian jati diri individu pada saat mencapai usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun. Dalam siklus ini, individu yang dalam rentang usia antara 20 sampai 30 tahun tersebut boleh dikatakan dihantui perasaan cemas, khawatir dan takut atas masa depannya—dalam hal karier, relasi, dan kehidupan sosial (Aristawati, dkk, 2021). Sedangkan, mengutip Afnan, dkk (2020), Quarter-Life Crisis diartikan sebagai reaksi individu terhadap fenomena ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, dan saking banyaknya pilihan-pilihan dengan disertai munculnya kepanikan dalam diri dan rasa tidak berdaya.
Pada intinya, dalam hemat saya, Quarter-Life Crisis ini adalah fase dimana kaum muda seolah tertekan oleh diri dan keadaan sekitarnya. Ditambah dalam era digital sekarang ini, media justru menjadi instrumen yang membikin kondisi tertekan tersebut semakin terasa dan banyak terjadi. Dalam channel-nya, Satu Persen, Akbar menyebut kurang lebih sekitar 86% kaum milenial terdampak Quarter-Life Crisis. Sehingga, boleh dikatakan Quarter-Life Crisis adalah suatu kondisi psikis yang sangat identik dengan kaum milenial.
Sering merasa insecure, sulit mengambil keputusan, sering depresi, merasa kehilangan arah, muncul rasa keputusasaan terhadap masa depan, bahkan sampai merasa kehilangan makna atas kehidupan yang dijalaninya, menjadi gejala-gejala yang sering muncul dan dialami pada masa Quarter-Life Crisis. Hal inilah yang rasa-rasanya menjadi sesuatu yang bagi saya memang mengkhawatirkan, tetapi sekaligus juga menggelikan, ketika kondisi semacam itu kemudian dijadikan sebagai masalah yang dilebih-lebihkan. Tidak ada hidup yang tidak muncul problem di dalamnya. Bahkan, apakah ketika usia sudah lewat lebih dari usia 30 tahun lantas tidak akan muncul krisis (masalah) lagi?
Maka, saya ulangi lagi, hidup tidak akan bermakna apapun, jika bukan kita yang berkenan memaknainya. Dan, hidup justru akan menjadi pelik ketika kita gagal memahami ritmenya. Ketiadaan pemaknaan atas hidup adalah seni termudah untuk membuat hidup yang kita jalani menjadi penuh sesak oleh tekanan demi tekanan. Oleh karenanya, lebenphiloshopie, menjadi satu semesta wacana yang mesti dan penting untuk dipelajari. Yakni, memahami kehidupan sebagai sebuah aliran perubahan terus-menerus, sebuah gerakan—atau dalam rumusan (bahasa) metafisis—sebuah proses menjadi (Werden).
Memahami Ritme Kehidupan ala Hermeneutik Dilthey
Bagi Dilthey, kehidupan (seseorang) sesungguhnya dipengaruhi dua faktor. Pertama, faktor eksternal (lingkungan sosial). Kedua, faktor internal (psikologis). Kedua unsur tersebut mempunyai dan memainkan peranan penting dalam memahami ritme kehidupan yang dijalani oleh individu. Menurut Dilthey, lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal individu mesti dilihat dan dipahami secara saksama sebagai upaya untuk memahami maksud perilakunya. Oleh karenanya, Dilthey pertama-tama, melakukan apa yang disebut sebagai deskripsi, untuk kemudian dilakukan sebuah interpretasi (Sumaryono, 1993: 46). Bahwa kita, sebagai manusia, harus terlebih dahulu memahami (membuat semacam penggambaran) atas kehidupan yang kita jalani, baru kemudian kita melakukan bukan hanya sekadar introspeksi, tetapi interpretasi terhadapnya.
Sebagaimana juga tokoh-tokoh hermeneutik lain yang menganjurkan segala hal harus pula dilihat utuh dari konteks kesejarahan yang melandasi sekaligus melingkupinya. Maka, Dilthey menyebut bahwa manusia adalah “makhluk historis” (ein geschichtliches wesen). Manusia adalah ia yang berkelindan dengan waktu yang terus-menerus berproses. Sehingga, manusia dalam ritme kehidupan yang dijalaninya harus melihat (sekaligus dilihat) dari dua sudut kacamata pandang. Pertama, manusia yang memahami dirinya tidak sekadar melalui introspeksi, tetapi melalui objektifikasi hidup juga yang melakukan interpretasi terhadap hidup. Kedua, hakikat manusia bukanlah sebuah esensi yang baku (statis). Bagi Dilthey, manusia adalah “makhluk yang belum pasti, makhluk yang belum ditemukan apa sebenarnya dirinya.” (Palmer, 2003: 132).
Historisitas individu (seseorang) menunjukkan fakta (entitas kenyataan) bahwa individu mustahil berhenti dan selalu tetap berada pada satu titik tertentu (statis), dimana totalitas pemahaman terhadapnya mencapai titik selesai (final). Tidak demikian. Sehingga untuk memahami kehidupan yang kita jalani, sudah semestinya pasang surut kehidupan yang berlangsung dalam setiap fragmen-fragmen kesejarahannya (baca: perjalanannya) juga harus kita libatkan. Tidak semata-mata dengan gelap melihat hidup sebagai hanya sesuatu yang satu potongan segmen belaka. Inilah alasan Dilthey menyebut bahwa interpretasi adalah suatu seni memahami perwujudan kehidupan sebagai sesuatu yang bersifat vital dan ditampilkan pada kebiasaan yang langgeng (Sumaryono, 1993: 51).
Oleh karenanya, hermeneutika mesti dipahami bukan sebagai sesuatu yang berada di luar garis sejarah. Sebab bagian-bagian dari arti hidup (totalitas) manusia membutuhkan pertimbangan konteks masa lalu dan harapan-harapan tentang masa yang akan datang, dimana secara intrinsik segala sesuatunya bersifat temporal dan terbatas, dan mesti dipahami dalam terminologi historisitasnya (Palmer, 2003: 113). Sehingga, keseluruhan dari segmen-segmen kehidupan yang kita jalani mesti kita kumpul dan korelasikan sebagai sambungan historisitas nilai hidup yang harus sungguh-sungguh kita hayati dan maknai.
Lagi, bagi Dilthey secara eksistensial manusia adalah yang memaknai hidupnya berdasarkan kegiatan-kegiatan atau faktor-faktor eksternal, seperti lingkungan, struktur kemasyarakatan, situasi sosial, agama, dan hal-hal lainnya. Manusia, menurut Dilthey, senantiasa dan secara sungguh-sungguh menempatkan hidupnya pada situasi konkret dalam pengalaman hidupnya yang menyejarah. Ini jugalah yang menjadi alasan Dilthey menyebut bahwa pemahaman dan interpretasi atas kegiatan individu akan dengan sendirinya disituasikan ke dalam sistem-sistem eksternal dari organisasi-organisasi sosial, politik dan ekonomi, beserta dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan (Sumaryono, 1993 :46).
Pada prinsipnya, manusia dalam hidupnya selalu dilengkapi pengalaman-pengalaman yang unik, entah itu secara individu maupun relasional—yang bagi Dilthey, bukan sesuatu yang sifatnya statis (final). Manusia dan pengalamannya selalu berada dalam ruang yang dinamis, yang tetap terus terkait. Oleh karena itu, pengalaman hidup yang dialami manusia akan senantiasa berada dalam kesatuan maknanya yang nantinya akan menjangkau dan merekoleksi hal-hal di masa lalu, serta dapat menjadi sumber bagi antisipasi masa depan dalam konteks keseluruhan makna kehidupan yang dijalaninya.
Singkatnya, dalam konteks Quarter-Life Crisis, mestilah dilihat (dihayati dan dipahami) pula sebagai satu bagian dari benang merah historisitas kehidupan manusia yang menyimpan kekayaan akan makna hidup. Quarter-Life Crisis hanyalah satu scene adegan dalam keseluruhan keindahan alur sebuah film kehidupan. Kehidupan yang kita jalani sangat disayangkan apabila terus-menerus dikeluhkan. Karena kehidupan adalah sesuatu yang bersifat menyejarah, terhubung dan berkaitan dalam setiap ritme perjalanan serta persentuhannya. Maka, sikap yang lebih harus dan penting untuk dilakukan terhadap kehidupan adalah menghayati, mengungkapkan, lalu kemudian memahaminya. Sebagaimana yang dikatakan Dilthey, “kehidupan”, lanjutnya, adalah “hubungan timbal balik dari penghayatan (Erleben), pengungkapan (Ausdruck), dan pemahaman (Verstehen).” []
Daftar Rujukan:
Afnan, Fauzia, R., & Utami Tanau, M. (2020). Hubungan Efikasi Diri Dengan Stress Pada Mahasiswa Yang Berada Dalam Fase Quarter Life Crisis. Jurnal Kognisia, 3(1), 23–29.
Aristawati, A. R., Meiyuntariningsih, T., Cahya, F. D., & Putri, A. (2021). Emotional Intelligence Dan Stres Pada Mahasiswa Yang Mengalami Quarter-Life Crisis. Psikologi Konseling, 19(2), 1035-1046.
Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
Palmer, Richard E. (2003). Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Penulis: Ahmad Miftahul Thohari