RKUHP, Kebijakan atau Jebakan?

  • By locus
  • Desember 8, 2022
  • 0
  • 357 Views

 

Gambar: Pinterest/CNN Indonesia

Pasal-pasal bermasalah RKUHP memicu pergolakan massa. Pasalnya, banyak yang tidak sepakat dengan hal itu. Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga turut menjegal pasal-pasal yang berpotensi melanggar HAM dan merugikan masyarakat.

Diskusi daring yang dilakukan melalui Twitter Space pada, Jumat (25/11) ini menghadirkan Komite Keselamatan Jurnalis, SAFEnet, AJI Indonesia, Dewan Pers dan peneliti. Mereka sepakat untuk mendesak penghapusan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP.

“Motivasi buru-buru mengsahkannya ini apa ya? Kita setuju bahwa ada aturan, tapi aturan-aturan yang bagaimana? yang mengekang, yang bisa kita hormati bersama, atau yang bagaimana dulu?” ucap Nurina Safitri, Dewan Pers.

Anggota dari aliansi nasional tersebut sangat geram, karena setiap mereka berargumentasi kepada DPR mengenai RKUHP, mengapa RKUHP yang tadinya mati suri menjadi hidup lagi dan berketerbalikan dengan jangka waktu yang lama.

“Banyak undang-undang yang sudah masuk berjilid-jilid tapi engga jadi-jadi,” tandas Ravio, seorang peneliti dalam diskusi tersebut.

Saat tahun 2019, pernah terjadi desakan publik yang lumayan besar melalui demonstrasi dan sebagainya, para aliansi bekerja secara spartan dengan mula-mula mendatangi komisi-komisi dan tim perumus dari pemerintah hukum dan HAM. Mereka membuat sebuah reformasi atas rancangan undang-undang, karena jika hanya mendiskusikan persoalan hukumnya saja, maka itu tidak akan menemukan jalan keluar.

Mereka mereformasikan 22 pasal yang dianggap sebagai pemula permasalahan yang berpotensi mengekang kebebasan pers.

Contohnya pada pasal 219 soal penghinaan presiden yang isinya adalah “suatu oknum yang melakukan tindakan pencemaran nama baik, mau dari konteks perihal apapun yang menggunakan tata bahasa yang kurang baik/tidak relavan dengan mengiringi nama presiden akan dipidana dengan kurun waktu maksimal 3 tahun penjara”. Pada pasal ini menjuru kepada orang orang yang melakukan pelanggaran tersebut di luar konteks dunia pers adalah hal yang tidak bisa ditoleransi meski dengan alasan mengemukakan aspirasi.

Lalu ada juga pasal 263 mengenai berita bohong bisa dipidana. Secara prinsip dalam dunia pers, memang orang-orang yang membuat laporan atau berita dalam media sosial harus bertanggung jawab. Pengecualian jika perihal tersebut pelaksananya juga dari Dewan Pers. Hal ini sudah diatur dalam UU Pers No 40 Tahun 1999, beserta turunannya yaitu Kode Etik Jurnalistik.

Menurut Ravio, RKUHP yang hampir disahkan kemarin merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia, pembuatan rancangan undang-undang adalah untuk mengamandemenkan undang-undang sebelumnya dan tidak didahului dengan assessment terhadap perundang-undangan.

Ia juga menjelaskan peran dari kebebasan dan kemerdekaan pers bagi demokrasi adalah pers mempunyai ruang sepenuhnya dalam berdemokrasi untuk memenuhi hal kepentingan mereka yang disebut hak publik untuk tahu. Hak publik tidak bisa dicapai oleh publik sendiri, maka dari itu, pers yang mencarikan informasi kepada publik, agar terjalin saling keterbukaan dan saling tahu, warga negara berhak mendapatkan informasi.

Pada 2021 kemarin juga terdapat banyak pasal pasal-pasal yang bermasalah, sekitar 44 kasus terkait UU ITE dan pasal bermasalah di RKUHP 19 yang sangat berkaitan dengan kerja jurnalis.

“Jika pers-nya saja kemudian potensi di kriminalisasi nya cukup besar, maka dengan KUHP nya di masyarakat akan mengalami kemungkinan yang jauh lebih besar lagi, bahkan jika KUHP ini di sahkan,” ungkap Sasmito salah satu anggota dari AJI Indonesia dalam dialog terakhirnya.

Reporter: Lutfi, Satria, Hafidh
Editor: Alfida

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.