Mahasiswa, Medsos, Silaturahmi Sosial

  • By locus
  • Oktober 19, 2024
  • 0
  • 97 Views

 

Tulisan ini adalah klangenan saya pada masa awal-awal kuliah lalu. Memahami hubungan antara mahasiswa dengan media sosial, sebagai tangan panjang silaturahmi. Tentulah, kita perlu terlebih dahulu menyoal media sosial dan peran mahasiswa hubungannya dengan silaturahmi, sebelum nanti akan sampai menghubungkannya dengan soal-soal demokrasi. Marilah!

Apa yang paling dibutuhkan dalam kehidupan ini, adalah kedamaian. Sedangkan, ongkos untuk mencapai kedamaian ialah dengan terciptanya bebrayan silaturahmi yang saling mengerti, memahami, dan toleransi satu sama lain antar sesama manusia. Kalau silaturahmi, hubungan antar sesama manusia tidak berjalan sebagaimana semestinya. Banyak yang saling tidak mengerti, enggan saling memahami, dan menyepelekan perilaku toleransi, maka kehidupan sulit untuk menemui kedamaian.

Bahkan, untuk mencapai keadilan sebagai buah dari demokrasi pun dijamin sukar, kalau manusia tak benar-benar menerapkan kesadaran nilai silaturahmi dalam hidupnya. Bisa juga dibalik. Ketika manusia hanya mementingkan dirinya sendiri atau lebih suka menunjukkan sikap egosentrisme dalam hidup—sehingga ketidakadilan menjadi perilaku utama kehidupan. Otomatis kerekatan silaturahmi antar sesama umat manusia akan sedikit demi sedikit merenggang. Tidak lagi erat.

Mencari keadilan, menuju kedamaian

Termasuk budaya gotong-royong, sikap saling tolong-menolong di kalangan masyarakat. Itu sebenarnya adalah produk tatkala perilaku keadilan benar-benar diterapkan dalam kehidupan. Jadi, umpamanya, di suatu kumpulan masyarakat atau komunitas macam apapun terkesan seolah tak lagi punya semangat untuk bergotong-royong dan enggan saling bantu-membantu. Bisa jadi, ada hal ketidakadilan yang telah terjadi di dalamnya. Karena syarat utama orang mau bergotong-royong, saling mengasihi dan menghormati satu sama lain adalah terciptanya keadilan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan akan keadilan tersebut, seluruh manusia—terutama yang tergabung dalam kumpulan masyarakat, misalnya—harus punya hubungan silaturahmi yang baik sehingga suasana kedamaian benar-benar dapat dirasakan bersama.

Bagi peradaban kita, di Nusantara, khususnya di Jawa, sikap kekeluargaan sebagai upaya penerapan silaturahmi dalam hidup menjadi kebiasaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita. Tidak berlebihan, kalau dikatakan bahwa tidak ada yang mampu mengungguli kita dalam hal silaturahmi. Kita bisa melihat sendiri, sungguh mesranya hubungan sanak-saudara termasuk juga para tetangga yang bahu-membahu menciptakan suasana kekeluargaan demi terciptanya kedamaian hidup. Bebrayan kita sebagai manusia sangatlah unggul. Paugeran hidup kita sangatlah empan papan, tidak sembrono, dan mengerti mana yang elok dan tidak elok.

Hanya saja, hal-hal demikian itu lebih banyak terjadi, sebelum arus modernisasi dengan wacana-wacana globalisasi dan westernisasi masuk, yang kemudian menghanyutkan keluhuran filsafat dan budaya hidup kita. Mungkin hanya di zaman kakek-nenek kita yang masih banyak menggunakan pager mangkok sebagai batas agar maling tidak menjarah isi rumah. Sedangkan hari ini, apa yang menjadi trend sama sekali sudah lain. Orang lebih percaya pada tembok yang tinggi dan kokoh, ketimbang kepada sesamanya.

Budaya-budaya baru sebagai produk dari merebaknya gelombang modernitas benar-benar telah berhasil menjadikan manusia sukar untuk saling percaya satu sama lain. Bahkan, di kehidupan kota, kesibukan para penghuninya lebih banyak hanya berfokus pada apa yang harus ia kerjakan sesuai kepentingannya sendiri. Sehingga interaksi kemanusiaan tidak banyak terjadi. Dan lagi, sektor-sektor industri dengan paradigma profesi yang diwacanakan—tanpa disadari—ternyata telah menggiring mindset dan alam bawah sadar kita untuk menjalin hubungan tidak lagi sebagai sesama manusia. Namun lebih sebagai sosok yang punya gelar, status sosial mapan dan jabatan tinggi. Kini, manusia tidak lagi mampu melihat manusia sebagai manusia.

Tantangan silaturahmi sosial

Bencana silaturahmi terjadi, di saat modernitas dengan segala kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan hadir memenuhi jantung kehidupan setiap orang. Dari sebuah revolusi industri yang telah sampai pada tingkat mutakhir super-canggih. Orang menjadi tidak lagi perlu bertemu langsung untuk saling menyapa dan bersilaturahmi. Segalanya bisa divirtualisasi. Termasuk, adanya medsos yang sebenarnya di-set up sebagai tangan panjang untuk interaksi silaturahmi. Pada kenyataannya, justru menjadi blunder dalam hal hubungan sosial kemasyarakatan.

Dalam dunia media sosial (selanjutnya baca, medsos), para pengguna malah berlaku memutus silaturahmi. Bagaimana tidak, orang-orang bisa omong dan berpendapat seenak hati tanpa pertimbangan: apakah ini menyakiti atau tidak, menghina, mencela dan mencaci atau tidak. Segala omongan tumpah ruah di dalam wadah bernama medsos—tanpa reserve sama sekali. Tentu saja, ini menyebabkan destruksi tersendiri di wilayah silaturahmi.

Harapan-harapan

Generasi Z, mungkin juga generasi milenial, adalah generasi yang sangat identik dengan medsos. Mereka-mereka yang masih berusia sekolah, misalnya, merupakan mereka-mereka yang paling aksesibel dan kompatibel dengan arus dan cara main medsos. Termasuk para mahasiswa sebagai generasi emas yang rata-rata usianya 18-25 tahun, tidak bisa dipisahkan dari medsos. Platform-platform media sosial menjelma ruang alternatif baru bagi ruang gerak mahasiswa, entah dalam soal politik maupun yang lain.

Karena itu, seharusnya medsos menjadi sebuah medan tersendiri bagi mahasiswa untuk bergerak secara intelektual, khususnya. Karena mahasiswa adalah sosok-sosok yang berpendidikan, maka otomatis apa yang dilakukan mahasiswa terhadap medsos sedikit banyak harus mengambil arah yang berbeda dari kebanyakan pengguna awam. Umpamanya, dengan mengambil teori “Ruang Publik” milik Habermas, mahasiswa lantas mesti menjadikan medsos sebagai ruang diskusi sehat untuk membicarakan atau sekadar berbagi padangan kritis terkait adanya isu maupun fenomena sosial yang sedang terjadi.

Tujuannya tentu tidak lain, yakni untuk merawat kejernihan berpikir dan kesejahteraan demokrasi. Ini tidak berlebihan, sebab mahasiswa adalah agent of change sekaligus agent of control social yang diharapkan perannya bagi masyarakat—juga kehidupan bangsa. Tidak hanya soal menyemai silaturahmi yang santun dalam urusan sesama warga negara, tetapi juga dalam rangka membangun policy berkeadilan melalui kontrol sosial yang dilakukannya kepada pemerintah.

Hanya saja, memang itu sukar diimplementasikan. Kendati demikian, kalaupun tidak bisa turut menggerakkan dan menggunakan medsos sebagai “ruang publik”—sebagaimana teorinya Habermas. Setidaknya setiap mahasiswa punya kecenderungan dalam suatu bidang ilmu dan bisa menjadi content creator guna mengisi dunia medsos dengan konten-konten positif. Sederhananya, mahasiswa bisa dan berkenan mengisi konten di setiap akun medsos miliknya—mulai dari akun instagram, facebook, twitter dan termasuk TikTok—sesuai dengan passion masing-masing. Bisa konten olahraga, kuliner atau masak-memasak, musik, hal-hal yang berbau kesehatan, sastra dan apapun saja yang itu bersifat edukatif. Jangan hanya mengisi beranda akun sebagai ajang pamer foto diri dan aktivitas superfisial saja. Itu norak dan terkesan alay. Zamannya sekarang ini sudah bukan seperti waktu SMP-SMA dulu lagi, mahasiswa harus lebih kreatif dan bermanfaat.

Toh, interaksi pengetahuan bisa pula dilakukan dengan medsos. Kalau itu yang dilakukan, setidaknya kita telah menabung bekal kelak di akhirat, dengan cara membagikan “ilmu yang bermanfaat” sebagai amal yang tak pernah putus pahalanya. Jadi, kenapa tidak memanfaatkan medsos sebagai ajang yang kelak membuat kita surplus di akhirat? Jangan malah sebaliknya. Sangat disayangkan, kalau kita harus mengalami defisit di akhirat kelak dengan adanya medsos tersebut. Apalagi sebagai mahasiswa, yang setidaknya tahu sebuah ukuran-ukuran nilai dan bagaimana penerapannya.

Jadi, sebagai mahasiswa, kalau tidak bisa menjadikan medsos sebagai “ruang publik”. Setidaknya, Anda bisa menjadikan medsos sebagai ajang untuk berbagai wawasan ilmu dan pemahaman. Semua orang butuh yang namanya figur sebagai sosok teladan. Maka, jadilah figur tersebut. Dan, apabila itu tetap sulit dilakukan. Minimal, Anda berkenan memanfaatkan medsos sebagai tangan panjang silaturahmi sehingga silaturahmi menjadi lebih hidup—bukan malah mematikannya. Sebelum nanti kita menggunakannya sebagai media politik yang sehat dan beriorientasi ke keadilan rakyat. Bukan begitu? []

Penulis: Ahmad Miftahudin Thohari

Editor: Izza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.