Sumber ilustrasi : https://pin.it/24gAKPY
Bagi beberapa orang bulan September adalah bulan kebahagiaan yang menjadi tanda penghujung tahun semakin dekat. Namun bagi sejarah negara kita, September adalah sebuah bulan penuh kesedihan dan nestapa. KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bahkan telah memberikan julukan kepada bulan ‘istimewa’ ini sebagai September Hitam. Seperti yang kita tahu bahwa hitam adalah sebuah warna yang selalu di identikan dengan kematian serta dukacita. Di dalam bahasa latin, warna hitam selalu dikaitkan dengan hal-hal yang brutal, kejam, serta sebuah kejahatan yang keji. Dalam sejarahnya Indonesia telah berhasil mencatatkan makna ‘hitam’ itu sendiri dengan berbagai macam tragedi-tragedi kelam dan keji sebagai sebuah bentuk perampasan HAM (Hak Asasi Manusia) secara paksa yang terjadi di bulan September. Daftar panjang tragedi-tragedi September Hitam tersebut antara lain adalah tragedi 1965—1966 sebagai bentuk pelanggaran HAM terhadap mereka yang dituduh memiliki keterikatan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), tragedi Tanjung Priok 12 September 1984, tragedi Semanggi II pada tanggal 24 September 1999, Reformasi Dikorupsi 24 September 2019, serta kasus pembunuhan Munir Said Talib pada tanggal 7 September 2004 yang hingga saat ini masih melekat dengan jelas di ingatan kita.
Munir Said Talib atau lebih kerap disapa dengan panggilan Munir adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak berhasil dilindungi hak hidupnya sebagai manusia oleh negaranya sendiri. Munir adalah seorang aktivis HAM sekaligus orang yang mengusung berdirinya KontraS sebagai salah satu wadah yang turut berusaha memberikan kepastian kepada keluarga 13 korban kasus penghilangan yang hingga saat ini masih belum menemukan kepastiannya. Banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang telah didampingi oleh Munir karena memang ia telah mengawali karirnya menjadi bagian sebuah LBH (Lembaga Bantuan Hukum) dan hal ini semakin didukung pula dengan pembentukan KontraS. Beberapa kasus tersebut antara lain adalah pembunuhan Marsinah (1940), peristiwa Sabtu Kelabu pada 27 Juli 1996, kasus Bumi Timor Timur , kasus pembunuhan massal di Talangsari Lampung, kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Tragedi Mei 1998 dan masih banyak lagi. Kasus-kasus ini dianggap sebuah kasus sensitif yang menyebabkan Munir selalu bersinggungan dengan militer. Karena kepeduliannya yang sangat besar mengenai bagaimana seharusnya sebuah negara harus memenuhi HAM warga negaranya, Munir memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 di Belanda. Tanpa ia pernah menduga, perjalanannya untuk menempuh pendidikan ini justru menjadi perjalanan terakhirnya menuju keabadian.
Munir menghembuskan nafas terkahirnya pada tanggal 7 September 2004 saat menempuh perjalanan udara menggunakan pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam, Belanda. Walaupun pada tanggal 20 Desember 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto telah divonis 14 tahun penjara sebagai tersangka pembunuhan. Namun, kasus pembunuhan Munir masih dipenuhi banyak sekali kejanggalan. TPF (Tim Pencarian Fakta) turut dibentuk untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Munir namun sayangnya justru dokumen TPF Munir justru hilang tak berjejak. Dari berbagai macam usaha yang telah dilakukan hingga saat ini, kasus pembunuhan Munir masih belum bisa dianggap selesai dan dilupakan begitu saja karena masih belum diketahui siapa aktor utama dari kasus pembunuhan ini. Pemerintah terlihat abai dalam penanganan kasus pembunuhan Munir, padahal kasus ini sudah dapat digolongkan sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat. Presiden Joko Widodo juga telah mengatakan secara tegas bahwa kasus pembunuhan Munir adalah kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang harus diselesaikan. Akan tetapi, hingga akhir masa jabatannya kasus ini masih belum menemukan titik terang. Perampasan hak hidup seseorang adalah sebuah hal yang tidak boleh kita abaikan begitu saja, perampasan dengan cara sengaja kepada hak seseorang untuk menjalankan sebuah kehidupan tanpa rasa bersalah dan menyangkalnya sambil berlindung dibawah ketiak kekuasaan juga menjadi hal yang tidak boleh kita abaikan. Dikutip dari kertas kerja yang disusun oleh Edwin Partogi dkk yang berjudul Bunuh Munir “Kita tidak mungkin terus mengulangi sejarah kelam bila kita memang ingin berhasil membangun bangsa.”
Penulis : Vanessa
Editor : Aqil