Foto dari : Unsplash.com
Saat membuka medsos, saya menonton video salah seorang content creator yang pergi ke gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Di video tersebut sang kreator merasa kagum dengan kegagahan dan arsitekturnya, sekaligus mengungkapkan kemirisannya; jomplang sekali dengan minat baca penduduk kita yang rendah. Memang, gedung yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 September 2017 lalu itu diklaim menjadi Gedung Perpustakaan tertinggi di dunia, mengalahkan tinggi gedung perpustakaan di Tiongkok.
Dilansir dari Kompas.com (3/9/2018), gedung ini memiliki ketinggian yang mencapai 126,3 meter. Total ada 27 lantai, dengan 3 lantai di bawah tanah. Bangunan yang dirancang dengan konsep green building ini berdiri di area seluas 11.975 meter persegi dan luas bangunannya 50.917 meter persegi, sangat luar biasa.
Perpustakaan yang terletak di jalan Medan Merdeka Selatan, kecamatan Gambir di Jakarta Pusat tersebut mempunyai koleksi buku yang sangat beragam, mulai dari buku-buku umum hingga jejeran buku langka. Selain ruang baca, di dalam gedung ada ruang teater, ruang koleksi Nusantara, juga ada ruang koleksi foto, peta, dan lukisan. Menariknya lagi, gedung perpustakaan dekat dengan bangunan-bangunan ikonik lainnya, seperti Monumen Nasional (Monas) dan Istana Negara.
Sayangnya, kefuturistikan dan ketinggian gedung perpustakaan ini berbanding terbalik dengan data dari UNESCO yang memaparkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, yang berarti dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang aktif dan suka membaca. Juga hasil survei dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2022, yang meski Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) menyatakan peringkat Indonesia naik dibandingkan tahun 2018 lalu, namun mengalami penurunan skor sebanyak 12 poin, dengan skor Internasional rata-rata turun 18 poin. Walau penurunannya tergolong lebih sedikt,i tetapi Indonesia masih saja tergolong 15 terendah di dunia.
Sungguh ironi sekaligus PR besar, baik bagi pemerintah maupun rakyat Indonesia itu sendiri. Perpustakaan nasional yang menjulang, prestisius, seolah meneriakkan tingkat literasi yang membumbung tinggi, malah terbanting oleh fakta dan kenyataan yang berbeda. Tingginya gedung justru menonjolkan jurang lebar antara fasilitas yang megah dengan minimnya gairah baca masyarakat untuk mengarungi lautan ilmu melalui buku.
Ada beragam faktor yang melandasi kurangnya antusiasme membaca pada masyarakat Indonesia. Baik dari orang dewasa hingga anak-anak. Salah tiganya adalah kultur yang kurang mendukung literasi, rendahnya daya beli dan akses terhadap buku, serta ketidakmerataan infrastruktur.
Pertama, budaya literasi yang lemah di kalangan masyarakat menjadi salah satu penyumbang. Dalam banyak keluarga, tradisi membaca belum menjadi hal yang umum dan dianggap penting. Meminjam pertanyaan mbak Nana (Najwa Shihab) yang pernah dilontarkan pada mas Gibran, seberapa sering aktivitas membaca itu ditunjukkan atau ditularkan oleh orang tua? Belum banyak rumah-rumah yang menjadikan kegiatan membaca sebagai prioritas. Padahal, kebiasaan membaca biasanya ditularkan melalui contoh yang diberikan oleh lingkungan, terutama keluarga.
Selain itu, ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa membaca adalah kegiatan yang “membuang waktu”. Pada masyarakat yang cenderung sukanya instan dan mengedepankan hal-hal praktis, aktivitas membaca dianggap kurang bernilai, karena tidak memberikan dampak secara langsung atau terlihat lebih nyata. Belum banyak yang menyadari, bahwa membaca adalah investasi jangka panjang yang membangun berbagai wawasan yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Kedua, rendahnya daya beli dan akses buku. Bagi beberapa lapisan masyarakat, buku atau bahan bacaan adalah barang mewah. Kebutuhan sekunder, atau bahkan tersier yang seringkali kalah oleh kebutuhan lain yang lebih pokok. Ditambah lagi dengan kurangnya kesadaran bahwa buku termasuk hal penting yang “seharusnya” tercantum dalam anggaran kebutuhan rumah tangga. Alhasil, banyak yang memilih untuk tidak membeli buku, yang tentu saja berdampak pada kebiasaan membaca. Saya sendiri kalau kedapatan beli buku sering ada keluarga yang menceletuk, “Ngopo ndadak tuku buku (Ngapain mesti beli buku).”
Di era digital ini, e-book atau buku elektronik seharusnya bisa menjadi solusi untuk menyediakan bacaan dengan lebih mudah dan harga yang lebih terjangkau. Namun di Indonesia, akses ke e-book masih terkendala oleh keterbatasan perangkat teknologi dan aksesibilitas internet yang belum merata. Banyak dari penduduk yang belum memiliki akses internet stabil atau perangkat digital yang memadai.
CNN Indonesia (21/05/2022) mengungkap bahwa sebanyak 850 desa di Sulteng belum bisa merasakan internet, yang diakui oleh kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat (PMD) Provinsi Sulawesi Tengah dan mengatakan akan mengatasinya secara bertahap mulai tahun 2022-2024. Selain itu, ada juga warga Merauke, Papua, yang akses internetnya sempat terputus, juga di tahun 2022, sehingga masyarakatnya terpaksa menumpang wifi hotel.
Ketiga, infrastruktur yang tidak merata. Jakarta memiliki perpustakaan yang luar biasa keren dan lengkap, tapi, kota lainnya? Meskipun perpusnas berdiri kokoh, akses ke perpustakaan ini hanya dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar ibu kota. Di banyak provinsi lain, fasilitas perpustakaan yang sepadan nyaris tidak ada. Masyarakat luar ibu kota, terutama kota-kota kecil dan daerah terpencil, masih kesulitan menemukan ruang baca yang memadai, apalagi yang nyaman dan beragam koleksinya. Padahal, rendahnya daya beli dan akses terhadap buku bisa teratasi dengan ketersediaan perpustakaan.
Di kota-kota besar, akses untuk ke perpustakaan, toko buku, dan teknologi untuk literasi relatif mudah. Sedangkan di desa-desa terpencil, sarana dan prasarana ini masih minim atau bahkan tidak ada. Membuat masyarakat daerah pedalaman kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan buku atau bahan bacaan lain yang bisa meningkatkan kemampuan dan hasrat membaca. Seolah literasi menjadi hak eksklusif penduduk perkotaan, membuat ketimpangan yang berkontribusi pada rendahnya minat baca.
Penting untuk direnungkan: apakah kebanggaan kita pada gedung perpusnas yang memiliki julukan tertinggi di dunia dapat benar-benar diimbangi dengan keberhasilan menciptakan masyarakat yang mencintai literasi di seluruh pelosok negeri? Setiap orang, tanpa memandang kondisi geografis ataupun ekonomi, memiliki hak yang sama untuk belajar dan tumbuh melalui literasi. Memang, banyak sekali tantangan dan rintangan yang harus dihadapi, baik oleh pemerintah maupun rakyat itu sendiri.
Namun, cita-cita-cita untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang gemar membaca dan mencintai literasi bukanlah sebuah hal yang mustahil, apalagi ilusi. Harapan ke depannya adalah kita semua, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Indonesia, untuk memperhatikan dan menyikapi hal ini dengan serius. Karena dengan fondasi literasi yang kuat, bangsa ini mampu berdiri tegak, berpikir kritis dan terus berkembang.
Penulis : Abril Nabila T.
Editor : Atik Ermawati