Siang itu, matahari tepat diatas kepala, namun hal ini tidak menghentikan Giani (bukan nama asli) untuk pergi. Dia berencana mengerjakan tugasnya di salah satu mall di kota Surakarta sepulang dari kost temannya. Gadis berkerudung cream dengan kemeja dan celana jeans yang dipadukan dengan sepatu putih itu mengendarai motor dalam kecepatan normal melewati jalan Wimboharsono.
Di lampu merah perempatan Kartasura, dia berhenti. Tepat di belakangnya terdapat mobil berwarna putih. Giani dengan santai menunggu lampu merah sampai berganti menjadi hijau. Selang beberapa saat datang dua pria paruh baya kisaran 30 tahunan dengan pakaian cukup rapi mengenakan sepatu pantofel berhenti disampingnya. Giani tidak memedulikan kedua pria tersebut sampai pria yang dibonceng mulai bersiul dan mengeluarkan beberapa kata.
“Cewe…”, “Mau kemana Dek sendirian?”, “Mau ditemenin, Dek?”.
Mendengar semua itu Giani hanya diam, dia merasa kesal tapi juga takut jika ingin menegur. Ia takut jika merespon nantinya akan diikuti oleh kedua pria tersebut.
Sampai lampu berwarna hijau, Giani yang harusnya mengambil jalan lurus justru memilih untuk belok ke kanan agar bisa berpisah dengan dua pria tersebut. Sepanjang perjalanan, dari Perempatan Kartasura sampai rumah dia tidak berhenti memberi sumpah serapah untuk mereka.
Kejadian catcalling tersebut juga dialami oleh salah satu siswa SMA di Karanganyar, Cindy (bukan nama asli). Menurutnya, guru adalah sosok yang digugu (dipatuhi) dan ditiru bagi remaja yang baru mengenal dunia. Suatu hari, pandangan Cindy berubah drastis. Salah satu sudut sekolah dengan papan nama kelas XI IPS 4 menjadi saksi bisu catcalling yang diterima Cindy dari seorang gurunya.
Siang hari, matahari bersinar terik, mendukung rasa malas untuk mengikuti pembelajaran. Namun, gejolak amarah dalam dada Cindy tak kalah panasnya. Tiba-tiba saja, Pak Ateng (bukan nama asli) melangkah menuju bangku Cindy dan tersenyum genit menggodanya, “Wah, Sin, hari ini cakep banget!”.
Cindy melirik sekelilingnya yang tertawa atas ujaran Pak Ateng. Beberapa siswa turut menambahkan kata-kata lain yang lantas ditertawakan bersama-sama. Gadis berusia 18 tahun itu tertunduk, lalu meremas rok abu-abu miliknya. Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan dan rasa tak nyaman.
Hal yang menyebabkan Catcalling
Pasal 1 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS), kekerasan seksual adalah segala bentuk perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang membuat seseorang tidak bisa memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Catcalling yang kerap terjadi di ruang publik dijelaskan sebagai bentuk kekerasan seksual verbal yang termasuk dalam delik aduan pada Pasal 11 Ayat 2.
YouGov, sebuah lembaga riset dan konsultasi pasar, pada 2014 mengungkapkan sebanyak 64% dari 38.766 perempuan mengalami pelecehan di ruang publik. Sedang, laki-laki sebanyak 11% dari 23.403 mengalami hal yang sama. Data yang sama menjelaskan Jakarta masuk dalam lima kota dengan rekor pelecahan verbal di dunia, bersama dengan Lima (Peru), Bogota (Colombia), Delhi (India), dan Mexico City (Mexico).
Pada 2014, Observatioro Cotra el Acoso Callejo (OCAC), sebuah lembaga bantuan hukum di Chili melaporkan sebanyak 40% perempuan di sana mengalami pelecehan setiap harinya. Bahkan 90% perempuan menyatakan dirinya pernah dilecehkan paling tidak sekali seumur hidup. Pada 2015, sebanyak 85% perempuan di Chili mengalami catcalling. Di berbagai kasus, laki-laki lebih banyak berperan sebagai pelaku dan wanita sebagai korban. 33,4% dari 258 laki-laki mengaku pernah melakukan catcalling sepanjang tahun 2021. (Walton & Pedersen, 2021)
Arivia (2018) menegaskan bahwa secara garis besar ada dua faktor yang menjadi latar belakang terjadinya catcalling, yakni faktor biologis dan faktor sosial budaya. Faktor biologis atau natural ditunjukan ketika laki-laki memiliki dorongan seksual lebih besar daripada perempuan sehingga sebagian besar pelaku adalah laki-laki. Faktor sosial budaya menunjukkan bahwa catcalling adalah wujud dari sistem patriarki. Anggapan ini sudah membudaya dan tertanam dalam pikiran masyarakat. Selain karena catcalling dianggap budaya patriarki, penyebab utama ketertindasan perempuan adalah seksualitas dan sistem gender.
Penyebab dari tindakan catcalling sering kali datang dari pelaku sendiri. Menurut indeks di Komunitas Pukaps, kebanyakan korban yang melapor adalah perempuan yang menggunakan pakaian tertutup, tapi tetap mendapatkan pelecehan seksual verbal. “Salah satunya, model catcalling ga cuma berasal dari fisik, tapi dari karakteristik apa yang menonjol dari korban. Memang, banyaknya dari situ (korban –red) karena cantik. Padahal cantik itu relatif, ganteng juga relatif. Memang dasarnya si pelaku aja iseng, jadi ga tentu ejekan itu karena ganteng atau cantik. Kadang kita enggak kenal juga di-bully,” ungkap Deanna Sari, Manager Advokasi dan Eksternal Pusat Kajian Perempuan Solo.
Dampak Catcalling
Semua bentuk pelecehan seksual berdampak pada mentalitas seorang korban. “Dampaknya bisa beragam dan relatif, yang paling jelas itu akan berdampak pada karir dan pendidikannya. Bagaimana dia akan bersosialisasi nantinya karena munculnya trauma dan rasa takut untuk berada di tempat umum, secara tidak langsung pelaku telah memutus rantai kehidupan korban,” tambah Deanna Sari.
Pasal 91 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur hukuman untuk para pelaku pelecehan seksual non-fisik adalah dipidana rehabilitasi khusus paling lama satu bulan. Hukuman tergolong ringan ini juga menjadi salah satu faktor mengapa korban enggan melaporkan tindakan pelecehan yang dia alami. Masyarakat juga masih sering beranggapan catcalling hanya sebuah lelucon. Tekanan mental yang ditujukan pada korban jauh lebih berat dibandingkan pelaku. Maka dari itu, hanya sedikit dari pelaku yang akhirnya mampu dilaporkan.
Upaya Mengatasi Trauma Korban
Pasal 23 – 26 UU No. 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) sejatinya telah mengatur hak-hak korban; hak penanganan, perlindungan dan pemulihan. Penanganan kasus didampingi oleh lembaga bantuan hukum resmi sehingga korban merasa terlindungi hingga mendapatkan pemulihan dari aspek psikologis, fisik, ekonomi, sosial dan budaya, serta kerugian yang dialami.
Salah satu kebutuhan dari korban pelecehan seksual adalah dengan mendatangi psikolog atau konselor. “Langkah awal upaya menanggulangi trauma adalah korban harus meyakinkan diri untuk speak up. Korban dapat mencari pendamping yang dapat dipercaya dan bercerita kepadanya. Korban butuh dukungan, didengarkan, dan tidak untuk di-judge. Selain itu, pendamping juga memastikan apa yang dibutuhkan korban, ke mana dia akan membawa (kasus –red) ini,” ujar Deanna. Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa lembaga konseling yang legal, non-governmental organization atau NGO.
Dean memberikan pesan untuk generasi muda, “Waspada ke orang terdekat dan lingkungan sekitar, karena kita nggak pernah tahu ke depannya bakal ada orang-orang yang berniat buruk sama kita sendiri. Belum tentu orang yang melakukan (pelecehan –red) dapat bertanggung jawab penuh. Edukasi ke temen-temen sekitar biar kita bisa memberhentikan generasi yang mengintimidasi harta dan martabat kemanusiaan. Pokoknya, kalau kita merasakan, stop di generasi kita,” tutupnya.
Penulis: Avi, Nafas, Hasbi (LPM Pabelan)
Editor: Elsa