Kalau sumber sebagai tempat munculnya air jernih ditutup lubangnya, sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan air jernihnya, maka sampai kiamat pun seluruh air yang mengalir menghidupi kehidupan akan terus-menerus keruh. Kita tidak akan lagi bisa bertemu atau menemukan kejernihannya air dalam kehidupan ini.
Sehingga untuk sehat, yang harus dilakukan adalah membuka selebar-lebarnya sumber air itu supaya leluasa mengalir dan menyebarkan air-air jernihnya, yang menyehatkan. Dengan catatan, kita tetap harus pasang saringan yang bisa menyaring air tersebut dari kotoran berupa lumut-lumut hitam, pasir-pasir abu dan bakteri-bakteri nakal.
Kalau sumber yang menghasilkan air jernih ditutup begitu rapat, sehingga yang ada dan menyebar hanyalah air-air keruh, apalagi air keruh itu dipenuhi dengan lumut-lumut hitam, pasir-pasir abu dan bakteri-bakteri nakal, alih-alih bisa merasakan kehidupan yang sehat, yang ada hanyalah hidup yang serba menyakitkan.
Sama halnya, kalau manusia dimatikan geraknya untuk sekadar mengekspresikan ide, mencurahkan segenap gagasannya, ikut memberikan opininya terkait masalah-masalah sosial, termasuk kritiknya terhadap realita-realita absurd yang terjadi, berarti yang sebenarnya dilakukan adalah menutup suatu sumber yang notabenenya merupakan tempat munculnya “air-air jernih”. Padahal air tersebut sangat potensial untuk menghilangkan “air-air keruh” yang sudah lebih dulu mengalir dan berkelindan di dalam kesadaran hidup manusia.
Sudah bisa diprediksi apa yang akan terjadi nantinya, bukan? Adalah hidup yang serba menyakitkan. Dalam arti, dibunuh kebebasannya dalam berekspresi. Pastilah, beberapa model sakit jiwa akan terjadi dan dialami oleh kebanyakan manusia, mulai dari sakit jiwa sosial, sakit jiwa budaya sampai sakit jiwa demokrasi.
Jenis sakit jiwa yang saya sebutkan terakhir, adalah yang sedang mewabah dan menjangkiti kehidupan bernegara kita saat ini. Bersamaan dengan mewabahnya virus yang telah sampai pada kondisi pandemi.
Kita sedang mengalami sakit jiwa demokrasi—kalau tidak mau disebut demokrasi kita telah mati, setidaknya mati suri. Fakta, bahwa negara kita telah memilih sistem demokrasi sebagai prinsip nilai untuk menjalankan gerak roda pemerintahannya, termasuk untuk menyejahterakan rakyatnya. Sayangnya, di lain sisi, demokrasi yang seharusnya menjadi ruang publik sebagai ruang kebebasan berekspresi setiap entitas warga negara yang ada, telah melakukan blunder sangat konyol yang justru mem-penalty warga negaranya sendiri (baca: rakyat).
Kita tidak boleh menyampaikan gagasan-gagasan yang kontra terhadap absurd-nya birokrasi pemerintahan kita. Kita sangat dilarang untuk sering-sering melontarkan kritik, meskipun itu boleh dan sah-sah saja secara demokratis. Bahkan, pemimpin menyatakan kesediaan hatinya terhadap kritik-kritik yang hendak diberikan, demi hidup dan sehatnya sistem demokrasi bernegara kita. Tetapi, di saat yang sama, palu-palu represi betapa hebatnya menghantam seraya membungkam, menyekat dan mematikan kebebasan berekspresi kita. Sehingga sangat kontraproduktif dengan apa yang hendak dicita-citakan oleh sistem demokrasi bernegara kita.
Ideologi kita itu sebenarnya menganut apa, sih? Sosialis atau kapitalis? Pastilah, banyak orang akan menjawab: tidak, terhadap dua model ideologi besar itu. Lantaran kita punya model ideologi sendiri bernama Pancasila. Konsep ideologi yang sangat luhur dan begitu mengesankan nilai-nilai yang terkandung dan yang hendak dimaksudkan oleh Pancasila tersebut. Goal utamanya adalah supaya keadilan sosial dapat merata dan dinikmati oleh seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Sayangnya, maksud itu hanya sekadar maksud. Cita-cita itu hanya menjadi cita-cita. Sebab, para pemain yang berada di dalam lapangan sampai sekarang belum ada tanda-tanda hendak memasukkan bola-bola kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran ke dalam gawang. Mereka masih asyik bermain dan men-delay bola-bola itu di areanya sendiri, untuk dinikmatinya sendiri. Alih-alih sampai pada kotak penalti, sampai saat ini mereka masih berada di comfort zone, yakni areanya sendiri yang sungguh nyaman—yang sangat sayang apabila harus beranjak dari zona tersebut.
Alhasil, apa yang sebenarnya diinginkan oleh negara—khususnya terhadap rakyat—menjadi sangat tidak jelas game plan arah dan tujuannya. Kita seperti sedang hidup dalam lingkaran setan. Dalam keadaaan yang sangat kabur dan penuh absurditas.
Kalau di negara-negara sosalis sangat jelas, pokoknya Anda sebagai rakyat tak usah banyak cing-cong, karena segala kebutuhan hidup Anda akan banyak dipenuhi. Di negara-negara kapitalis lain lagi, tapi juga sangat jelas, silahkan kalau Anda mau mengkritik dan banyak cing-cong. Tapi harap Anda tahu, Anda harus mandiri dengan kebutuhan Anda sendiri.
Sedangkan di negeri kaya raya ini, sudah tidak banyak kebutuhan yang dipenuhi, sehingga harus cari makan sendiri, kerja di sana-sini dengan upah yang tidak pasti. Itu pun harus ucit-ucitan dengan bapak-bapak berseragam, belum lagi harus sedia hati disemproti air layaknya tanaman tak berharga, ada pula yang harus diangkut dan di“aman”kan secara sangat tidak aman. Sedang di lain sisi, protes pun bagaikan kita hendak “bunuh diri”. Karena selain direpresi, kalau kita ketahuan protes, siap-siap kita akan mendapat masalah baru, yang itu sangat menjemukan dan menderitakan. Padahal yang namanya protes itu ya harus diketahui. Kalau protes tidak ada yang tahu, sama halnya kita sedang berteriak dalam ruang kosong, tidak ada yang dengar. Sia-sia belaka, jadinya.
Problem besar bernegara kita di situ, terletak di dalam struktur psikologis demokrasi kita yang sedang mengalami sakit jiwa. Hal itu, pastilah lantaran dibiarkannya jenis-jenis air keruh bernama kepandiran kelompok, keegoisan politik serta eksklusivisme kebebasan mengaliri dan menggenangi kehidupan. Semua itu telah mengakibatkan demokrasi menjadi tidak sehat, sehingga kebebasan berekspresi hanya berlaku untuk kalangan-kalangan tertentu.
Padahal yang disebut kalangan-kalangan tertentu itu bisa jadi bukanlah sumber yang mampu memunculkan air jernih yang menyehatkan—setidaknya menyehatkan kembali tubuh demokrasi. Lantaran betapa pandir, egois dan elitisnya mereka. Justru sumber yang sangat potensial memunculkan air jernih yang menyehatkan—yang setidaknya mampu menjernihkan kembali nuansa demokrasi yang telah keruh—ditutup mulutnya rapat-rapat. Sehingga tetap saja, selalu hal-hal yang menjadikan kita lebih sakit, lagi dan lagi, yang mesti kita terima setiap waktunya.
Tentu ini adalah hal yang sungguh ironi. Suatu kondisi yang harus segera diperbaiki, kalau tidak ingin dentuman besar bakalan terjadi.
Kalau saja sumber-sumber air jernih yang menyehatkan itu terus-menerus ditutup, disumpali lubangnya secara paksa, sehingga tidak dapat memunculkan airnya ke permukaan, bukan tidak mungkin sumber-sumber itu dalam jangka waktu yang tidak lama, akan segera meletus. Air bah akan membanjiri kehidupan, layaknya zaman Nabi Nuh. Ngeri!
Penulis : Ahmad Miftahudin Tohari
Editor : Elsa L
Redpel : Nurul F