Seorang perempuan dengan wajah memancarkan kelelahan itu terduduk di depanku. Meski begitu, sebuah senyum manis masih dapat ia lukiskan di wajahnya. Seakan terpaan kesibukan tak membuatnya runtuh lagi. Dari cafe yang ditemani keramaian suasana malam minggu, Siska bercerita tentang pilihannya untuk menjadi wanita yang berpendidikan.
Dirinya yang baru saja memasuki usia dewasa awal itu tercatat sebagai mahasiswi semester 4 di Program Studi Manajemen Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Tak pernah ada gambaran yang terlintas dalam pikirnya untuk menggeluti dunia ekonomi, apalagi baginya yang seorang lulusan SMK dengan jurusan Rekayasa Perangkat Lunak.
Sejak SMP ia telah merancang masa depannya. Keputusannya untuk melanjutkan tingkat sekolah ke SMK telah bulat. Tujuannya adalah agar cepat mendapat pekerjaan setelah lulus dan membantu perekonomian keluarga. Selain itu, ia mengambil jurusan RPL karena lebih menyukai pembelajaran yang bersifat praktik dibanding teori. Sebetulnya sempat ada niatan untuk berkuliah, tapi itu berada direncana cadangan jikalau kelak ia membutuhkan gelar sarjana untuk kenaikan pangkat atau gaji di perusahaan.
“Waktu itu pemikiran gua pendek banget tentang kuliah. Mungkin karena dibutakan oleh realita kali yah. Pokoknya kerja, kerja, kerja aja,” jawabnya sambil tertawa kala mengenang rancangan masa depannya itu.
Sampai suatu hari, ayahnya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Beliau menitipkan pesan agar dirinya melanjutkan ke perguruan tinggi serta mengambil jurusan yang berhubungan dengan ekonomi dan bisnis. Hal itu dikarenakan ayahnya berkeinginan dirinya dapat memajukan usaha jasa kirim paket yang saat ini dikelola pamannya.
Bak tersengat sambaran petir dua kali rasanya. Ia harus ditinggal sosok yang dicintainya dan juga mengabulkan keinginan ayahnya yang tak sesuai minatnya. Ia terlanjur jatuh cinta dengan teknologi, maka akan sulit rasanya jika harus berpindah ke lain hati, namun batinnya akan merasa durhaka jika bersikap egois dengan pilihannya.
Statusnya sebagai anak perempuan pertama dengan ibu yang memasuki usia paruh baya, membuat tanggung jawabnya bertambah. Bayangkan, ia harus kuliah sekaligus menggantikan peran ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Kebimbangan mengiringi hari-harinya akan keputusan yang hendak dipilihnya, apalagi tenggat pendaftaran kampus-kampus semakin mepet.
Apa yang akhirnya dipilihnya?
“Waktu itu gua konsultasi sama mamah dan of course beliau pengennya lihat gua ngerasain kuliah. Sayang banget kalau gak ada cerita haru-seru di bangku perguruan tinggi yang bisa diceritain ke anak kamu, katanya. Dan mamah bilang, soal biaya bisa dibantu saudara kamu lah. Tapi disitu gua masih ngerasa egois. Gua mau membahagiakan mamah juga.” Siska terhenti sejenak dan mengatur nafas yang sedari tadi menggebu-gebu dikeluarkannya.
“Sampai gua berpikir, ini bukan persoalan mudah. Gua harus diskusi sama yang punya masa depan nih. Gua gak mau salah milih yang nantinya bikin kecewa. Yaudah, gua sholat istikharah dan minta petunjuk.”
Dari mimpi dan munculnya perasaan yakin dalam hatinya, ia memutuskan untuk mengambil ujian mandiri di UNSIKA dengan pilihan pertama jurusan manajemen. Rencana yang telah dipersiapkannya terpaksa perlu dirombak kembali. Dalam kesempatan yang singkat, Siska menyulap dirinya menjadi anak SMA dengan mempelajari teori-teori IPS.
Ia belajar dengan tekun tak mengenal waktu. Bahkan terkadang buku dan lembar latihan soal menjadi bantalnya untuk mengistirahatkan tubuh. Saat bangun pun ia langsung sigap mengulang materi kembali. Ia berjuang layaknya zombie yang tak kenal batasan antara hidup dan mati. Demi sebuah pesan wujud baktinya pada sang ayah.
Segala puji bagi-Nya. Beberapa minggu setelah ujian mandiri dilaksanakan, Siska dinyatakan masuk salah satu Unversitas Negeri favorit di Karawang. Mulutnya tiada henti mengucap syukur akan keajaiban itu.
Lalu bagaimana tentang keinginannya untuk membantu finansial keluarga?
“Gua pengennya itu kerja di perusahaan software. Yah tapi sekarang bukan waktunya mikirin ego, yang penting bisa kerja aja dulu. Halal dan lillahi ta’ala.” Ia pun melamar di perusahaan jasa kirim paket yang dikelola pamannya. Ia tetap mengikuti prosedur dan persyaratan meski berasal dari kalangan keluarga. Prinsipnya dalam bekerja adalah diakui karena kemampuannya. Hingga akhirnya ia diterima di bagian administrasi. Gajinya cukup untuk membiayai kehidupannya dan memberikan pada ibunya. Untuk biaya UKT sendiri, ia mendapatkan golongan yang rendah.
Awalnya sulit memang untuk membagi waktu antara kuliah dan karirnya. Tetapi ia berusaha menepiskan keluhan agar mulai terbiasa. Lama-kelamaan, ia mempunyai manajemen waktu yang baik, tentang waktu istirahat dan melakukan me-time.
“Sebetulnya kemudahan itu terjadi karena gua merubah niat sih,” ujarnya. Memang kali ini niatnya untuk berkuliah telah direvisi, bukan lagi untuk meraih jabatan atau gaji tinggi, melainkan untuk meraih ridho-Nya. Ilmu yang ia dapatkan di dunia perkuliahan dikombinasikan dengan bakatnya di bidang perangkat lunak pada kerjaannya. Sehingga ilmu yang didapatannya dapat bermanfaat. Ia tak kehilangan minatnya meski berjuang untuk lulus dari jurusan manajemen.
Sebagai penutup, ia menyimpulkan pandangannya tentang pendidikan bagi perempuan. “Mau jadi apapun kita kedepannya, pendidikan itu tetap nomor satu. Menurut gua dapur yang diurus sama wanita bergelar S1 akan beda dengan yang tidak. Apalagi kita akan menjadi seorang ibu yang mana sekolah pertama bagi anak. Dan niatnya emang harus lillahi ta’ala sih, karena kalau udah gitu semua kesulitan rasanya jadi mudah.”
Penulis : Meyyana
Editor : Elsa
Redpel : Nurul F